Rasulullah Saw. bersabda: "Sesungguhnya pemungut pajak (diazab) di neraka."
(HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7)
Oleh. Rosmita
NarasiPost.Com-Sudah jatuh tertimpa tangga.
Begitulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat di negeri ini. Saat ini rakyat Indonesia sedang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi yang tak kunjung usai. Bukannya berempati dengan penderitaan rakyat, pemerintah justru menambah beban rakyat. Pemerintah berencana untuk menarik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, di antaranya sembako dan sekolah.
Pelayanan jasa pun tak luput dari pajak, seperti jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial dan masih banyak lagi. Rencana kebijakan ini tercantum dalam revisi undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). (Cnnindonesia, 12/6/2021)
Kebijakan ini pun menuai kritikan dari berbagai pihak, di antaranya dari anggota komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar (IKAPPI) Abdullah Mansuri, dan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Mereka menilai bahwa rencana kebijakan tersebut tidak tepat dan berpotensi memberatkan kehidupan rakyat. Mereka meminta pemerintah untuk membatalkan rencana kebijakan tersebut.
Meskipun pemerintah beralasan bahwa rencana kebijakan menambah variasi dan jumlah pajak adalah untuk menaikkan target penerimaan pajak yang belum tercapai, tetapi kebijakan ini tetap tidak bisa diterima karena sangat melukai hati rakyat. Bagaimana bisa menaikkan taraf hidup rakyat, kalau rakyat justru dipalak dengan berbagai jenis pajak?
Saat ini saja rakyat sudah kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya karena sulit mendapat kerja atau menjadi korban PHK. Apalagi jika nanti sembako juga dipungut pajak, makin banyak rakyat yang kelaparan. Belum lagi ditambah pajak sekolah, pajak kesehatan, dan lain-lain, akan semakin berat beban hidup rakyat.
Seharusnya pemerintah lebih peka terhadap kondisi rakyat. Jangan hanya demi meraup keuntungan materi, rakyat dijadikan tumbal keserakahan para punggawa negeri.
Masih banyak cara menaikkan pendapatan negara tanpa harus memberatkan rakyat, misalnya dengan memaksimalkan potensi pajak yang sudah ada dan mengejar para pengemplang pajak. Karena hingga akhir April 2021, penerimaan pajak baru mencapai Rp374, 9 triliun atau sekitar 30,94 persen dari target total yang mencapai Rp1.229,6 triliun. Artinya, pendapatan negara masih bisa bertambah tanpa harus memungut pajak baru.
Namun anehnya, keinginan pemerintah menaikkan pendapatan negara justru berseberangan dengan kebijakan tax amnesty yang dikeluarkan. Kebijakan ini bertujuan menunjukkan bahwa pemerintah berpihak kepada rakyat kecil, tetapi faktanya tidak tepat sasaran. Yang wajib pajak diberikan pengampunan, sedangkan rakyat kecil dibebani dengan berbagai pajak baru.
Selain tax amnesty, pemerintah juga memberikan insentif pajak untuk membantu wajib pajak dengan dalih Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Tidak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan untuk insentif pajak sebesar Rp627, 96 triliun.
Dari sini kita bisa melihat ke mana pemerintah ini berpihak. Di saat rakyat kecil digenjot dengan pajak, para kapitalis malah dibela setengah mati. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seolah hanya slogan belaka. Ketimpangan semakin nyata, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin menderita.
Semua ini terjadi akibat sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, pajak dan utang adalah sumber pendapatan utama negara. Sehingga semakin kapitalis suatu negara, maka semakin tinggi pajak yang dipungut dan semakin hilang subsidi yang diberikan kepada rakyat.
Sistem kapitalisme juga menjadikan untung dan rugi sebagai standar dalam mengurus rakyat. Suatu kebijakan hanya akan diterapkan apabila menguntungkan para penguasa dan pengusaha. Namun, apabila suatu kebijakan dinilai merugikan, maka tidak akan diterapkan. Dengan demikian selama sistem kapitalisme diterapkan di negeri ini, hidup sejahtera hanya tinggal mimpi.
Jauh berbeda dengan sistem Islam, sistem yang berasal dari Sang Pemilik kehidupan sudah pasti akan mendatangkan kemaslahatan dan keberkahan. Dalam sistem Islam, telah dijelaskan pajak dan Utang Luar Negeri (ULN) berbasis riba adalah haram, maka tidak boleh dijadikan sebagai sumber pendapatan negara.
Rasulullah Saw. bersabda: "Sesungguhnya pemungut pajak (diazab) di neraka."
(HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7)
Adapun surat Al-Baqarah ayat 275 dan surat An-Nisa ayat 141 adalah dalil haramnya utang ribawi.
Adapun sumber pendapatan negara dalam Islam ialah zakat, harta warisan yang tidak habis terbagi, jizyah, ghanimah dan fai, kharaj, shadaqah tathawwu, dan hasil sumber daya alam yang dimiliki. Kemudian dana tersebut akan masuk ke Baitul Mal dan digunakan oleh negara untuk membiayai negara dan rakyat. Sehingga di dalam negara khilafah tidak ada pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak jual-beli, dan lain sebagainya. Selain itu, negara khilafah juga tidak akan menetapkan biaya pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Bahkan negara khilafah juga tidak akan memungut biaya administrasi, seperti pembuatan SIM, KTP, KK dan yang lainnya. Semuanya diberikan secara gratis sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
Oleh karena itu, jika ingin negeri ini berubah dan rakyat dapat hidup sejahtera, tidak ada cara lain kecuali mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem Islam. Wallahu a'lam bishshawwab.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]