Pajak Jadi Pendapatan Utama: Rakyat Membiayai Negara, Bukan Sebaliknya

"Ketika anggaran belanja mengalami defisit, maka pemerintah akan melakukan berbagai opsi di antaranya: memaksimalkan penarikan pajak, mengurangi subsidi dan menambah utang luar negeri."


Oleh: Merli Ummu Khila
(Pemerhati Kebijakan Publik)

NarasiPost.Com-"Di antara tanda sebuah negara akan hancur, semakin besar dan beragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya. (Ibnu Khaldun 732-808H/1332-1406M)"

Ibarat hendak tenggelam, negara ini sedang megap-megap dan berusaha meraih apa saja demi menyelamatkan diri. Utang yang sudah menggunung, justru ditambah dengan utang baru. Belum cukup dari utang, pemerintah makin gencar memalak rakyat dengan beragam pajak dan pungutan.

Seperti diketahui, seantero nusantara dibuat heboh oleh rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi bahan-bahan pokok atau sembako dan pendidikan.

Rencana pengenaan tarif PPN untuk sembako tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Draf PPN sembako dan pendidikan ini bocor ke publik dan bergulir tak terkendali bak bola salju. Situasi makin memanas dan pemerintah terlihat kikuk untuk mengklarifikasi.

Negara Dibiayai Rakyat Bukan Rakyat Dibiayai Negara

Adalah sebuah kenyataan jika dalam setiap apa yang dipakai, dikonsumsi, dan dimiliki oleh rakyat tidak ada yang luput dari pungutan pajak. Setiap produk yang dikonsumsi sehari-hari, kendaraan yang dimiliki, rumah dan tanah yang ditinggali pun kena pajak. Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa saat ini faktanya negara yang dibiayai rakyat, bukan rakyat yang dibiayai negara.

Belum lagi kebutuhan pokok yang selalu mengalami kenaikan karena mekanisme pasar dikendalikan oleh pemilik modal. Beban pajak dari setiap produk memberikan dampak domino yang berimbas pada tingginya harga suatu barang. Sayangnya, pemerintah hanya menjadi regulator dan tidak bisa menentukan kebijakan pasar. Celah ini pun akhirnya dimanfaatkan para kartel mengendalikan harga untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Pajak sebagai Pendapatan Utama

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadikan pajak sebagai pendapatan utama. Seperti dalam APBN 2020, Pendapatan negara sebesar Rp2.233,2 triliun. Dari situ, penerimaan dari sektor perpajakan sebesar Rp1.865.7 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp367 triliun. Sisanya yaitu penerimaan hibah sebesar 0,5 triliun.

Sedangkan, anggaran belanja negara lebih besar yaitu Rp2.540,4 triliun. Belanja pemerintah pusat Rp1.683,5 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp856,9 triliun sehingga APBN defisit anggaran sebesar Rp307,2 triliun. (https://www.kemenkeu.go.id/apbn2020).

Sehingga untuk menekan defisit anggaran yang semakin membengkak, pemerintah akan terus mengoptimalkan penerimaan pajak. Pajak dalam APBN berfungsi sebagai budgeter. Wajar saja jika pemerintah begitu ngotot memburu hingga pajak receh. Namun sayangnya, ada ketidakadilan dalam kebijakan pajak ini. Di satu sisi, pemerintah mengoptimalkan pajak tanpa terkecuali bagi masyarakat menengah ke bawah. Misal sebelumnya pemerintah kenakan cukai pada minuman berpemanis.

Seperti dikutip dari kontan.id, (27/01/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali mencetuskan wacana pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis. Usulan ini sejak setahun yang lalu disinggung dengan alasan banyak masyarakat yang terkena penyakit diabetes malitus. Sebuah alasan yang terkesan memaksakan. Potensi penerimaan cukai sebesar Rp6,2 triliun inilah yang disinyalir menjadi alasan.

Hal ini diperkuat oleh pendapat WaKetum Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPPMI), Rachmat Hidayat, mengatakan pihaknya menolak rencana penerapan cukai untuk minuman berpemanis. Rahmat menilai, kebijakan itu hanya beralasan untuk mendongkrak penerimaan negara, bukan pengendalian konsumsi.

Di sisi lain pemerintah justru memberikan tax amnesti atau pengampunan pajak bagi pengusaha dan konglomerat. Kebijakan ini dalam rangka membujuk pengusaha dan konglomerat untuk melaporkan kekayaannya yang disimpan di luar negeri. Bahkan pemerintah berencana memberikan tax amnesty jilid II yang sebelumnya memberikan pengampunan pajak jilid I, yaitu tanggal 1 Januari sampai 30 Maret 2017.

Menjadikan pajak sebagai pendapatan utama negara adalah ciri khas ekonomi kapitalis. Begitu juga yang diadopsi oleh pemerintah saat ini. Ketika anggaran belanja mengalami defisit, maka pemerintah akan melakukan berbagai opsi di antaranya: memaksimalkan penarikan pajak, mengurangi subsidi dan menambah utang luar negeri. Dari ketiga opsi tersebut justru menambah kesengsaraan bagi rakyat.

Defisit anggaran tidak sepenuhnya pembelanjaan negara untuk kesejahteraan rakyat. Perampokan uang rakyat yang terstruktur, sistemik dan masif membuat kas negara bocor. Baragam motif korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintah secara kolektif, dari jajaran atas hingga kelas pegawai.

Praktik korupsi ini menjangkiti seluruh lembaga negara terutama pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang mendapatkan anggaran infrastruktur lebih besar dibanding kesehatan dan pendidikan.

Berdasarkan Laporan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, sejak tahun 2020 hingga Maret 2021 terdapat 36 kasus korupsi infrastruktur. "Korupsi infrastruktur sejumlah 36 kasus sepanjang 2020 hingga Maret 2021." kata Ghufron kepada Kompas.com (16/3/2021).

Pajak dijadikan sebagai sumber pendapatan negara adalah sebuah kesalahan sistem bernegara. Seandainya seluruh aspek dikenai pajak sekalipun tentu tidak akan mampu menutupi defisit anggaran, sehingga karut-marut kas negara tidak bisa diatasi hanya dengan berganti rezim. Apalagi hanya berganti kebijakan. Harus ada perubahan yang fundamental untuk mengakhiri kesengsaraan dalam sistem kapitalis.

Wallahu a'lam bishshawaab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Hukum Romawi Terlahir Kembali
Next
Pinangki, Keadilan Hukum Hanya Sebatas Teori
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram