Murah Hati Memberi Sanksi, Koruptor Menjelma bak Priayi

"Hadiah yang diberikan kepada para penguasa suht adalah haram dan suap yang diberikan kepada hakim adalah kekufuran." (HR Ahmad)


Oleh : Sartinah
(Pemerhati Masalah Publik)

NarasaiPost.Com-"Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi nggak? Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal." Sujiwo Tejo

Kutipan di atas kiranya bisa menggambarkan bagaimana parodi perpolitikan dalam sistem demokrasi. Korupsi sudah menjadi budaya, bahkan warisan termahal yang akan terus ada dari waktu ke waktu. Bicara tentang budaya korupsi, tentu berkaitan erat dengan keadilan hukum. Kini, koruptor tak lagi dianggap 'maling', tetapi lebih seperti 'priayi agung' yang diberi perlakuan khusus.

Fakta tersebut juga terjadi pada kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pinangki yang merupakan aparat penegak hukum dan menjadi makelar kasus (markus), telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan permufakatan jahat. Atas tindakannya tersebut, Pengadilan Tipikor Jakarta memutuskan menghukum Pinangki sepuluh tahun penjara.

Sayangnya saat di tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta 'menyunat' hukuman tersebut dari sepuluh tahun menjadi empat tahun penjara. Penyunatan tersebut diberikan karena Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Hakim juga menilai, Pinangki adalah ibu dari seorang anaknya yang masih balita yang layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang dalam masa pertumbuhannya. (detiknews.com, 20/6/2021)

Sudah bisa diduga, penyunatan tersebut memantik protes di kalangan masyarakat hingga beramai-ramai membuat petisi online. Dikutip dari website change.org (20/6/2021), sebanyak 16.542 orang mendesak jaksa untuk mengajukan kasasi atas vonis majelis tingkat banding yang memangkas vonis Pinangki. Petisi online tersebut diprakarsai oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).

Obral Hukuman Murah di Sistem Demokrasi

Kasus Jaksa Pinangki benar-benar mencederai rasa keadilan. Bagaimana tidak, koruptor yang seharusnya dihukum berat, justru mendapat angin segar di pengadilan. Fakta tersebut kian menegaskan bahwa keadilan bukan lagi menjadi milik yang benar, tetapi menjadi milik yang berkuasa dan berharta. Tebang pilih hukuman yang marak terjadi juga mengindikasikan kuatnya mafia peradilan di negeri ini.

Mafia peradilan muncul karena adanya kedekatan antara para pencari keadilan dan aparat penegak hukum. Kedekatan yang memang sengaja diciptakan tersebut nantinya akan berdampak saat persidangan. Karena itu, mereka yang memiliki kedekatan dengan para penegak hukum akan mendapati hakim sangat murah hati dalam menjatuhkan vonis.

Pada akhirnya, sunat-menyunat hukuman pun menjadi lumrah terjadi. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi pilar untuk menegakkan keadilan, kini menjadi lembaga yang sarat kepentingan. Fakta tersebut akhirnya semakin memupus kepercayaan publik terhadap penegak hukum. Terlebih bagi rakyat jelata, keadilan menjadi barang mahal yang sulit diwujudkan dalam realita.

Namun demikianlah realita hukum dalam sistem demokrasi. Sistem hukum buatan manusia tersebut justru menunjukkan banyak kelemahan, rentan dipermainkan, dan selalu digunakan sesuai kepentingan. Melihat kecacatan sistem hukum buatan manusia, rasanya sulit mengharapkan lembaga peradilan akan mampu mencegah kejahatan, termasuk mustahilnya menciptakan rasa keadilan. Hal ini tak lepas dari penerapan sistem demokrasi yang justru melanggengkan budaya korup di negeri ini.

Tebang pilih hukuman dan krisis keadilan yang ada saat ini ternyata bertolak belakang dengan prinsip keadilan hukum dalam Islam. Sepanjang perjalanan sejarahnya, Islam telah membuktikan bagaimana semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, baik muslim maupun kafir. Hal ini pun meniscayakan bahwa keadilan menjadi milik semua orang. Mengapa demikian?

Sistem Islam Solusi Hakiki Mencegah Korupsi

Islam adalah agama yang diturunkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Syariat yang lahir darinya menjadi pedoman bagi manusia dalam melakukan perbuatan. Jika syariat langit yang dijadikan pedoman dalam mengatur manusia, maka sudah dipastikan bahwa penguasanya pun berkarakter mulia, termasuk para aparatur negara yang menduduki lembaga peradilan.

Para hakim melaksanakan tugas berdasarkan ketakwaannya, bukan dilandasi faktor kepentingan. Kondisi ini meniscayakan para pelaku kejahatan, termasuk koruptor akan mendapatkan hukuman yang sesuai dengan kejahatannya. Hukum tidak akan diobral murah terhadap pelaku, meskipun pada orang terdekat.

Terhadap para koruptor, Islam telah menyiapkan seperangkat sanksi pidana yang dijamin membuat jera. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta'zir berupa tasyhir atau pewartaan, penyitaan harta, hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Selain sanksi tegas, syariat Islam juga memiliki langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya korupsi.

Pertama, perekrutan SDM aparatur negara hanya berasaskan profesionalitas dan integritas. Hal ini meniscayakan bahwa jabatan tidak akan diberikan hanya karena faktor kedekatan maupun kekeluargaan. Tak kalah penting, aparatur negara harus memiliki kepribadian Islam.

Dalam hadis sahih yang diriwayatkan Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dari sahabat Abdullah ibn Abbas, disebutkan: "Barang siapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena didasarkan atas pertimbangan keluarga, padahal di antara mereka ada orang yang lebih berhak daripada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah Swt., Rasulullah, dan orang-orang yang beriman."

Kedua, pembinaan kepada seluruh aparatur negara wajib dilakukan. Hal ini pernah dicontohkan oleh Umar bin Khattab yang selalu memberi nasihat kepada bawahannya.

Ketiga, sistem penggajian yang layak. Negara wajib memberi gaji yang layak kepada aparatur negara agar mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup dan keluarganya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)." (HR Abu Dawud)

Keempat, Islam melarang aparat negara menerima suap atau hadiah atau sering dikenal dengan gratifikasi. Rasulullah Saw. bersabda: "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa suht adalah haram dan suap yang diberikan kepada hakim adalah kekufuran." (HR Ahmad)

Kelima, perhitungan kekayaan aparat negara dari awal hingga akhir masa jabatannya. Jika terdapat selisih harta yang tidak wajar dan pejabat tersebut tidak mampu membuktikan bahwa hartanya diperoleh secara halal, maka negara akan menyita harta tersebut dan memasukkan ke baitulmal.

Keenam, adanya keteladanan dari pemimpin. Pemimpin memiliki peran besar dalam upaya mencegah kejahatan. Sebab, rakyat cenderung mengikuti tingkah laku para pemimpinnya. Karena itu, pemimpin harus terlebih dahulu bersih dari perilaku buruk termasuk perilaku korupsi agar memberi contoh kepada bawahan dan rakyatnya.

Demi mewujudkan langkah-langkah tersebut, dibutuhkan sebuah institusi negara untuk menegakkannya. Dan satu-satunya institusi yang mampu menerapkan langkah tersebut hanyalah khilafah. Di bawah naungan Islam, perilaku korup dan mafia peradilan tidak memiliki ruang untuk berkembang biak. Sebab, sanksi dalam Islam bersifat tegas dan memberi efek jera, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus) dosa.
Wallahu 'alam bishshawab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Menyoal Sistem Kesehatan Agar Pandemi Dapat Terkendali
Next
RUU Marital Rape: Ilusi Bebas dari Delik Kekerasan terhadap Perempuan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram