Kursi Komisaris untuk Balas Budi?

"Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya. " (HR. Bukhari).


Oleh. Deny Setyoko Wati, S.H
(Pegiat Opini Islam, Member LISMA Peduli Negeri)

NarasiPost.Com-Abdee Slank menjadi sorotan publik setelah dirinya diangkat menjadi Komisaris PT.Telkom pada hari Jumat (28/5) lalu. Pasalnya, publik menilai penunjukannya sebagai komisaris erat kaitannya dengan kontribusinya dalam mendukung Jokowi saat Pilpres 2014 maupun 2019. Tak hanya Abdee Slank, jika menyoroti komisaris-komisaris BUMN lainnya, ternyata diangkat karena memiliki peran dalam pilpres. Sebagaimana yang dirangkum oleh CNN Indonesia, terdapat 13 orang dalam lingkaran istana yang diangkat menjadi Komisaris BUMN, yang sebelumnya ternyata merupakan tim sukses Jokowi saat Pilpres. (CNNIndonesia.com, 29/5/2021)

Hal tersebut menunjukkan pengangkatan komisaris BUMN bukan berdasarkan kapabilitas melainkan karena balas budi. Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu, juga mengatakan bahwa pengangkatan sederet komisaris BUMN tidak lagi berbasis kompetensi. Ditambah adanya pernyataan dari Menteri BUMN, Erick Thohir terkait akan memberi pelatihan kepada komisaris dan direksi, seolah mengonfirmasi hal tersebut. (IG: korantempodigital, 11/06/2021)

Tak ada makan siang gratis. Ya, adagium tersebut sangat menggambarkan realitas perpolitikan hari ini. Memang hal yang lumrah, politik balas budi terjadi di era kapitalistik-sekuler hari ini. Sebab asas perpolitikan saat ini adalah saling meraih manfaat. Seseorang yang berhasil memenangkan perhelatan akbar pemilu tidak serta merta karena usaha sendiri, melainkan juga melibatkan banyak pihak. Nah, pihak-pihak yang terlibat memberikan dukungan tersebut tidaklah sukarela, ada feedback yang harus dibayarkan kepada mereka. Oleh karena itu, wajar, bagi siapa pun yang berkontribusi menjadikan seseorang meraih jabatan, maka ia berhak mendapatkan bagian kue kekuasaan. Tanpa meninjau apakah memiliki kompetensi ataukah tidak.

Penempatan komisaris BUMN tersebut juga menunjukkan perpanjangan tangan penguasa untuk memanfaatkan BUMN demi kepentingan pihak tertentu. Bukan demi kemaslahatan rakyat. Padahal BUMN adalah milik negara yang mengelola berbagai kebutuhan rakyat, semestinya dikelola untuk mengabdi kepada rakyat. Inilah realitas pahit politik di era kapitalisme. Kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah lips service untuk mengundang simpati rakyat. Tapi nyatanya, penguasa selalu mengabdi pada segelintir orang yang berada di lingkarannya.

Berbeda dengan pengaturan dalam Islam. Rasulullah Saw pernah bersabda, "Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya. " (HR. Bukhari).

Hadis tersebut patut menjadi nasihat dan pijakan terkait mengelola suatu urusan, bahkan demi maslahat umum, harus diberikan kepada yang kompeten. Terlebih lagi Islam memandang seorang pejabat adalah pelayan bagi rakyatnya, bukan sekadar penguasa. Belajar dari Rasulullah Saw ketika Abu Dzar Al Ghifari bertanya pada beliau,
"Ya Rasulullah, mengapa kau tak memberi jabatan apa-apa kepadaku?" Sambil menepuk bahu sahabatnya yang zuhud itu, Nabi menjawab, "Hai Abu Dzar, kau seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah."

Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar'iyyah menjelaskan kekuasaan ditopang oleh dua pilar utama, yaitu kekuatan (Al-Quwwah) dan amanah (Al-Amanah). Kekuatan (Al-Quwwah) bermakna memiliki kapabilitas dalam semua urusan. Kuat dalam urusan pemerintahan terlihat dari kapasitas ilmu, keadilan dan kemampuan untuk menerapkan syariat Islam. Adapun amanah (Al-Amanah) terwujud pada rasa takut kepada Allah Ta'ala.

Begitu pula dengan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan seorang pejabat semestinya memiliki tiga kriteria penting, pertama kekuatan (Al-Quwwah), yaitu kuat secara akal dan jiwa. Kuat akal dibutuhkan seorang pemimpin untuk mampu memutuskan kebijakan yang sesuai dengan syariat Islam. Sedangkan kuat jiwa berarti sabar, tidak tergesa-gesa dan memiliki kecerdasan emosional lainnya.

Kedua adalah ketakwaan (At-Taqwa) bahwasanya seorang pejabat harus menjadikan aturan Allah sebagai pedoman dalam menjalankan tugas pemerintahan. Lalu ketiga, lemah lembut (Ar-Rifq) yaitu tatkala bergaul atau mengurusi urusan rakyat diiringi dengan sikap yang lemah lembut.

Inilah kriteria dalam mengangkat pejabat untuk mengurusi urusan umat. Kriteria ini hanya bisa diterapkan dalam sistem politik yang tidak menerapkan balas budi yakni dalam sistem pemerintahan yang berasaskan akidah Islam. Wallahu A'lam bishowwab.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Sejenak Menepi
Next
Menerka Realitas Palestina, Perlukah Peran Negara?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram