"Sebaik-baiknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun mencintaimu, kamu menghormati mereka dan mereka pun menghormati kamu. Pun sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun benci kepada kamu. Kamu melaknat mereka dan mereka pun melaknatmu." (HR Muslim)
Oleh. Ersa Rachmawati
(Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Sebuah mural bertuliskan "Menolak RKUHP, Bukan Menunda" terpampang pada dinding di Jalan Pemuda, Rawamangun Jakarta pada hari selasa, 1 Oktober 2019. Mural tersebut merupakan respon dari seniman Jakarta terhadap RUU KUHP yang dinilai mencederai tatanan demokrasi.
RKUHP yang seharusnya disahkan 2019 itu hingga kini masih menuai polemik karena banyaknya pasal-pasal kontroversial. Dan kini, RKUHP kembali direncanakan untuk masuk program legislasi nasional 2021. Pasal-pasal yang menuai kontroversi di antaranya tentang kebebasan berpendapat yang dianggap bertentangan dengan demokrasi.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengkritisi beberapa pasal pada Rancangan KUHP. Ada empat pasal yang dituding warisan kolonial yang bertujuan mengekang iklim demokrasi di Indonesia. Pertama, terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP.
Kedua, terkait Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah yang diatur dalam pasal 240-241 RKUHP.
Ketiga, terkait Tindak Pidana Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi Tanpa izin yang diatur dalam pasal 273 RKUHP.
Keempat, terkait Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan yang diatur dalam pasal 281 RKUHP. Pasal-pasal tersebut dianggap akan membunuh dan mengekang iklim demokrasi di Indonesia.
(Liputan6. com,10/06/21).
Jargon demokrasi yang menyatakan kebebasan dalam berpendapat nyatanya dapat dikebiri oleh negara melalui undang-undang. Jika begini adanya lalu apa bedanya dengan negara otoriter?
Demokrasi yang Tak Demokratis
Negeri ini sedang dirundung banyak masalah, di antaranya wabah Covid-19 yang tak kunjung usai, ekonomi melemah, utang menggunung, BUMN nyaris kolaps karena terhimpit utang dan masih banyak problem lainnya.
Di sisi lain para politisi sibuk mengamankan kekuasaannya. Ada yang ingin memperpanjang masa jabatan. Ada pula yang sudah ancang-ancang menuju pemilu 2024. Rakyat dipaksa mandiri mempertahankan hidupnya.
Dalam situasi demikian, wajar jika rakyat menjerit protes dan keluarkan uneg-unegnya. Kekayaan alam yang melimpah tak hasilkan sejahtera justru tertawan utang menggila. Pajak pun menjadi jurus andalan pemasukan negara. Sebuah solusi menyengsarakan dan tidak kreatif bagai berburu di kebun binatang.
Alih-alih mengharapkan masukan dari masyarakat demi perbaikan keadaan, pemerintah malah memperbanyak regulasi untuk membungkam sikap kritis. Di era digital saat ini, sosial media menjadi sarana untuk menyampaikan pendapat bahkan rasa kecewa pada penguasa. Muncul banyak meme yang terkesan menghina pemerintah bahkan presiden dan wapres. Wibawa penguasa runtuh.
Seharusnya pemerintah introspeksi mengapa cacian dan bullyan dilayangkan pada mereka. Namun yang ada adalah penggunaan hukum untuk mengamankan kekuasaan. Jeruji besi menanti bagi para pembully. Jika RKUHP ini disahkan, jelaslah demokrasi hanyalah jargon semata. Rakyat dipaksa bungkam dengan ketidakadilan dan penyelewengan. Lalu dengan cara apalagi rakyat menyampaikan aspirasinya? Apakah harus menunggu kemarahan memuncak dan hasilkan pemberontakan, bagai air bah yang menghantam bendungan?
Inilah cacat bawaan demokrasi, sistem yang katanya demokratis namun menyimpan potensi represif. Represif konstitusional dengan cara membuat undang-undang sesuai kepentingan penguasa. Melalui undang-undang, pembungkaman publik menjadi sah dilakukan. Penguasa pun seakan berada di jalur yang benar.
Harmoni Rakyat dan Penguasa
Jika demokrasi memisahkan rakyat dan penguasa, sistem politik Islam justru menciptakan harmoni di antara keduanya. Saling mencintai karena Allah Swt.
Rasulullah Saw. bersabda;
"Sebaik-baiknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun mencintaimu, kamu menghormati mereka dan mereka pun menghormati kamu. Pun sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun benci kepada kamu. Kamu melaknat mereka dan mereka pun melaknatmu." (HR Muslim)
Dari hadis tersebut dapat kita ketahui di antara kriteria pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya, pun sebaliknya. Pemimpin yang luhur akhlaknya dan adil sifatnya pastilah akan dicintai rakyatnya. Adil di sini bermakna menjalankan roda kepemimpinan sesuai koridor syariah. Jika seorang pemimpin dicintai rakyatnya tentu rakyatnya tidak akan menghinanya, yang ada justru akan memuliakan. Tak perlu bersusah payah membuat undang-undang larangan menghina penguasa.
Namun demikian, muhasabah lil hukkam atau aktivitas mengoreksi penguasa harus tetap ditegakkan. Jika penguasa melakukan kekeliruan tentu harus diingatkan sebagai bentuk cinta kepada pemimpin agar dia tidak berlaku zalim. Di sisi lain penguasa pun harus legowo menerima ktitikan sepanjang sesuai koridor syariah. Lalu bagaimana jika terjadi perselisihan antara rakyat dan penguasa? Dalam sistem Islam terdapat Mahkamah Madzalim yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa. Rakyat yang merasa terzalimi dapat mengadukannya pada lembaga tersebut. Hakim pada lembaga ini bahkan berwenang mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum yang berlaku agar senantiasa sesuai dengan syariah tanpa ada penindasan pada rakyat.
Dari paparan di atas jelaslah bahwa demokrasi memberi jalan kepada penguasa untuk bertindak represif dengan cara membuat undang-undang sesuai kepentingannya. Karena memang tidak ada standar pembuatan aturan pada sistem ini. Semua sesuai kesepakatan dan kepentingan pembuat hukum.
Berbeda dengan sistem politik Islam. Seorang khalifah harus menyandarkan ketetapannya berdasarkan syariah. Syariah akan menjaganya agar berlaku adil.
Maka, hukum manakah yang lebih baik daripada hukum Allah Swt, Sang Penguasa alam semesta? Saatnya kita kembali pada hukum syariah untuk kehidupan yang terbaik.
Wallahu 'alam[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]