"Ketimpangan hukum bagi konglomerat dan rakyat begitu terasa di negeri ini. Kapitalisme tidak hanya mengebiri hukum itu sendiri, para penegaknya pun telah memiliki track record yang tak kalah culas terhadap hukum yang mereka tegakkan."
Oleh. Ummu Syaakir
NarasiPost.Com-Kasus mantan jaksa Pinangki yang terbukti menjadi makelar khusus kasus Djoko Tjandra telah membelalakan mata masyarakat akan bobroknya hukum di negeri ini. Bagaimana tidak? Pinangki yang telah terbukti menguasai suap sebesar USD 450 ribu dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung, serta terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan mudahnya mendapatkan sunat vonis hukuman yang semula 10 tahun masa tahanan menjadi 4 tahun.
Terlebih alasan yang diberikan oleh hakim penyunat hukuman tersebut terasa sangat tidak adil bagi masyarakat. Alasan pemotongan vonis karena Pinangki memiliki anak balita berusia 4 tahun yang masih membutuhkan kasih sayang ibunya. Terdakwa juga seorang perempuan yang harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Padahal, berapa banyak kasus di negeri ini yang pelakunya juga perempuan, yang statusnya juga seorang ibu namun tidak ada keringanan bagi jelata hanya dengan alasan tersebut. Sebagai pembanding, kasus empat orang ibu di Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) dilaporkan karena melempari atap sebuah pabrik tembakau pada 26 Desember 2020 lalu. (Kompas.com, 22/2/21)
Keempat ibu tersebut masih memiliki balita sehingga membawa balitanya ke dalam tahanan. Padahal, pelanggaran yang mereka lakukan karena selama ini suara mereka tentang gangguan pernapasan yang disebabkan oleh asap pabrik tidak digubris.
Ketimpangan hukum bagi konglomerat dan rakyat begitu terasa di negeri ini. Kapitalisme tidak hanya mengebiri hukum itu sendiri, para penegaknya pun telah memiliki track record yang tak kalah culas terhadap hukum yang mereka tegakkan. Berdasarkan catatan detikcom, Minggu (20/6/2021), nama-nama hakim tinggi dalam kasus Pinangki tercatat kerap menyunat hukuman para terdakwa korupsi. Mulai dari kasus jiwasraya Joko Hartono Tirto, kasus mantan direktur keuangan Hary Prasetyo, kasus korupsi bansos Ramlan Comel dan Djodjo Kohari.
Inilah potret gelap hukum buatan manusia. Hukum dengan mudahnya diputuskan sesuai permintaan pelanggar hukum, asalkan ada uang ataupun gratifikasi sebagai jaminannya. Sedangkan bagi rakyat jelata hukum bagai tajamnya mata pisau yang tidak memberi ampun ataupun sekadar keringanan bagi mereka. Korupsi yang menjadi biang kerusakan justru mendapat perlindungan paripurna dalam sistem saat ini. Padahal, yang paling merasakan derita korupsi adalah rakyat. Namun, para penjahat korupsi justru mendapatkan posisi apik dan terjamin oleh sistem yang rusak ini. Tiada lagi harapan penegakan hukum yang adil dalam sistem kapitalisme. Justru kapitalismelah biang kerok yang menjadi penyebab rusaknya hukum, serta para penegaknya. Maka, solusi mendasar yang harus diambil adalah dengan mengambil sistem kehidupan yang dapat menjamin penegakan hukum secara adil tanpa pandang bulu.
Islam adalah sebuah sistem yang mengatur seluruh lini kehidupan sesuai aturan Allah. Sistem Islam yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah telah terbukti mampu menghadirkan sistem hukum yang adil tanpa memandang siapa pelaku pelanggaran hukum. Bahkan Rasulullah Saw pun akan memotong sendiri tangan putrinya jika putri beliau Saw mencuri.
"Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya".
(HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)
Selain tegas dan tidak pandang bulu, Islam akan menerapkan sistem hukum yang mampu memberikan efek jera dan berfungsi sebagai penebus dosa bagi para pelaku kejahatan. Hukuman yang memberikan efek jera berfungsi untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama. Sedangkan hukuman dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa bagi para pelakunya disertai taubatan nasuha.
Islam juga akan menyaring secara ketat siapa saja yang layak menjadi hakim bagi peradilan Islam. Bagi siapa saja yang berbuat kecurangan, maka ia mendapatkan ancaman langsung dari Allah ta'ala.
Rasulullah Saw bersabda, “Biasakanlah berkata benar, karena benar itu menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu menuntun ke syurga. Hendaknya seseorang itu selalu berkata benar dan berusaha agar selalu tetap benar, sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang shiddiq (amat benar). Dan berhati-hatilah dari dusta, karena dusta akan menuntun kita berbuat curang, dan kecurangan itu menuntun ke neraka. Seseorang yang selalu berlaku curang akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Bukhari Muslim)
Keimanan menjadi pondasi utama sebelum seseorang memegang amanah. Seorang hakim haruslah memiliki keimanan kepada Allah yang akan memberikan rasa takut dalam dirinya, jika ia melanggar aturan Allah. Karena dalam kehidupan Islam, melanggar aturan hukum berarti melanggar syariat Allah. Dengan demikian, akan tercipta para penegak hukum yang amanah, diiringi sistem hukum yang tegas, serta kehidupan yang berjalan sesuai syariat Allah. Maka, hanya sistem Islamlah yang menjadi harapan bagi umat agar tercipta penegakan hukum yang adil.
Wallaahu a'lam[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]