‘Gurilaps' Pariwisata Jawa Barat, Desain Asing Rasa Lokal

"Inilah makna sebenarnya menguatkan ekonomi kreatif, membuka keran investasi asing, sementara pribumi menjadi kacung di rumahnya sendiri. Menghalalkan segala cara demi meraup untung banyak, itulah tabiat ekonomi liberal-kapitalis."


Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Apa yang ada di benak anda jika mendengar orang menyebut Jawa Barat? Pasti yang terbayang pesona tanah Pasundan yang tiada tara. Keindahan alam nan eksotik bak surga dunia, potensi mutiara wisata yang terpendam dari pantai hingga puncak gunung, keragaman budaya, keramahan dan keelokan penduduk pribumi, serta kuliner khasnya yang membuat lidah bergoyang. Sebagai provinsi wisata, Jawa Barat memiliki ribuan destinasi wisata yang sangat memesona. Sektor wisata menjadi tumpuan pemulihan ekonomi nasional dan daerah di tengah pandemi Covid-19 yang berkepanjangan ini. Sayangnya, pengelolaan wisata ini tak bisa lepas dari dominasi asing pengemban kapitalisme.

Dilansir dari www.kompas.com, (17/11/2018) bahwa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT.Jasa Pariwisata (Jaswita), Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah meluncurkan aplikasi digital paket petualangan bernama Gurilaps di Festival Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat pada Sabtu (17/11/2018). Program ini merupakan salah satu realisasi program 100 hari kerja pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat.

Apa itu Gurilaps?
Gurilaps merupakan singkatan dari gunung, rimba, laut, pantai, dan sungai. Gurilaps digagas sebagai sebuah upaya meningkatkan potensi pariwisata di Jawa Barat. Gurilap dalam bahasa Sunda bermakna bercahaya, cahaya kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestarikan. Ditandai dengan perilaku mensyukuri keindahan alam sebagai sumber kehidupan dan menampilkan ritual upacara adat seperti nadran, ronggeng, ngarot, dondang, dan masih banyak lagi.
Nadran merupakan ritual adat para nelayan di pesisir pantai utara Jawa, seperti Subang, Indramayu, dan Cirebon untuk mensyukuri hasil tangkapan ikan.

Sedangkan ronggeng gunung adalah jenis tarian dengan iringan gamelan Sunda. Sementara itu, ngarot adalah tradisi arak-arakan menyongsong datangnya musim tanam padi dan dongdang merupakan hantaran berisi makanan hasil bumi para petani.

Melalui aplikasi Gurilaps ini, wisatawan domestik maupun internasional dapat memesan paket wisata petualangan di Jawa Barat. Ditargetkan program ini dapat memberikan pemasukan bagi kas pusat dan provinsi serta membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil di Jawa Barat, seperti membuka warung, menjadi tukang parkir, tukang pijat, transportasi umum, dan lain sebagainya. Slogannya “Jangan panik perbanyak piknik, lupakan mantan mari pergi liburan.

Gurilaps Tak Lepas dari Kapitalisasi Wisata

Gurilaps merupakan mimpi Jawa Barat menuju pariwisata kelas dunia. Walaupun program ini sempat tersendat di awal pandemi ketika diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serentak di berbagai wilayah di Indonesia. Akan tetapi, pemerintah berkomitmen bahwa pariwisata akan menjadi tumpuan pemulihan ekonomi nasional, dan Gurilaps ini menjadi andalan Provinsi Jawa Barat. Inilah mengapa pemerintah enggan menutup tempat-tempat wisata walaupun dalam kondisi lonjakan kasus Covid-19 yang semakin meroket.

Keindahan alam dan keragaman budaya menjadi daya tarik wisata di Jawa Barat. Ini tertuang dalam Perda No. 15 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Jabar 2016-2025. Program pengembangan pariwisata meliputi: pertama, membangun akses ke destinasi yang sudah ada dengan cara peningkatan akses infrastruktur; pembinaan, off taker, promosi usaha kreatif; pengembangan MICE (meeting, incentive, convention, exhibition) di 5 pusat destinasi wisata yaitu Kabupaten Cirebon, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Bogor, dan Kabupaten Pangandaran; serta pengembangan ekonomi kreatif.

Kedua, membangun destinasi baru berupa pembangunan dan revitalisasi tujuan wisata; pembangunan 12 desa wisata; dan pengembangan 5 geopark di Jabar. Ketiga, membuat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berbasis pariwisata berupa pengembangan SDM pariwisata melalui sekolah vokasi; promosi wisata Jabar; pengembangan 7 KEK pariwisata; dan pengembangan 5 pusat destinasi pariwisata provinsi.

Semua ini jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tentu saja, semua pembiayaan ini tidak akan ditanggung sendiri oleh pemerintah. Karena banyak lembaga internasional yang siap menggelontorkan utang atau berinvestasi seperti UNWTO (United Nations World Tourism Organization), UNDP, ILO ( International Labour Organization) dan USAID (United Stated Agency for International Development). Hal itu demi tercapainya target Sustainable Tourism yang dirancang di Indonesia, Jawa Barat khususnya.

Kemudahan menggelontorkan utang pada bisnis ini terjadi, karena pariwisata dianggap sebagai sektor yang diunggulkan dalam strategi pasar bebas. Pariwisata menjadi sektor andalan agar terjadi arus modal dan investasi dari berbagai negara, baik korporasi maupun personal ke suatu negeri. Hal inilah yang menjadikan pariwisata didaulat menjadi tumpuan pemulihan ekonomi. Sayangnya, itu hanya isapan jempol semata, sektor pariwisata tidak mampu menyejahterakan negeri dan rakyat. Karena keuntungan sektor pariwisata hanya berlari kepada pemilik modal.
Pariwisata dinilai memberi pemasukan terbesar keempat setelah minyak dan gas bumi, batu bara, dan minyak kelapa sawit. Pariwisata dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Jika diasumsikan PDBR Jabar tahun 2025 mencapai Rp2.680,44 triliun, maka PDRB dalam lapangan usaha Akomodasi dan Makan Minum (yang merekomendasikan sektor pariwisata) pendapatan diharapkan Rp93,82 triliun (3,5% terhadap PDRB). (www.bappeda.jabarprov.go.id)

Sebenarnya angka 3,5% termasuk kecil jika dibandingkan dengan potensi pemasukan kas negara dan daerah dari sektor pertambangan minyak, gas, batu bara, dan lain sebagainya. Namun, kenapa justru yang digenjot malah yang nilai pemasukannya lebih kecil? Sementara yang besar dibiarkan raib digondol asing dan hanya menyisakan pajak yang tak seberapa. Ibarat kata, buang gepokan, pungut recehan. Pembiayaan negara justru bertumpu pada sektor recehan. Itu pun masih bergantung pada para kapitalis dalam pembangunannya dengan dalih investasi. Walhasil yang diuntungkan tetap saja korporasi raksasa. Rakyat setempat ekonominya tak ikut terangkat.

Gurilaps ini merupakan desain asing yang terasa lokal. Alih-alih memulihkan perekonomian negara dan menyelamatkan ekonomi rakyat. Program ini semakin membuka peluang asing hingga memasuki celah-celah terkecil, pebisnis kelas kakap melindas pebisnis lokal. Pribumi harus berpuas diri hanya menjadi tukang parkir, penjual asongan, dan membuka warung-warung kecil. Bahkan para tuan tanah harus rela kehilangan asetnya dengan harga yang tidak berimbang. Inilah makna sebenarnya menguatkan ekonomi kreatif, membuka keran investasi asing, sementara pribumi menjadi kacung di rumahnya sendiri. Menghalalkan segala cara demi meraup untung banyak, itulah tabiat ekonomi liberal-kapitalis. Dalam pariwisata hal itu pun diberlakukan, demi menarik wisatawan dengan kearifan lokal, ritual-ritual persembahan yang mengandung kesyirikan pun dilestarikan. Miris, padahal Indonesia khususnya Jawa Barat mayoritas penduduknya adalah muslim. Moderasi agama rupanya turut dimassifkan dalam program ini. Tak berhenti dengan pengikisan akidah, bahkan menjalar pada liberalisasi wisata kuliner, wisata gastronomi, lifestyle, fashion, fun, dan informasi. Semua perilaku liberal wisatawan ditoleransi, bahkan diimitasi. Tak dipungkiri semua sangat memengaruhi kehidupan masyarakat sekitar.

Belum lagi permintaan akan miras dan prostitusi yang identik dengan pariwisata. Faktanya prostitusi, pornografi, dan Pariwisata Seks Anak (PSA) benar-benar telah terjadi praktiknya di berbagai destinasi wisata. Ini jelas merusak masyarakat. Jadi kedatangan wisatawan dari berbagai mancanegara ini berpotensi membawa bencana.

Bukan hanya itu pariwisata juga memberikan dampak buruk pada lingkungan, seperti menipisnya sumberdaya alam karena terus dieksploitasi demi bisnis; timbulnya polusi, limbah, dan sampah yang semakin menggunung; serta perubahan fisik lain yang mengganggu ekosistem alam.

Inilah kenyataan pahit yang kini semakin vulgar ditampakkan. Setiap kebijakan dalam sistem demokrasi kapitalisme memang didesain untuk memuluskan segala kepentingan pemilik kekuasaan serta pemodal (pelaku usaha/bisnis) kelas kakap. Hal ini mudah dipahami oleh publik dengan melihat berbagai kebijakan yang diputuskan untuk rakyat. Seolah memihak kepentingan rakyat, tapi ternyata tidak demikian.

Pariwisata sebagai Syiar Islam

Islam merupakan ideologi yang memiliki perangkat aturan yang komprehensif. Karena tabiatnya sebagai ideologi, maka tak cukup diemban oleh individu dan kelompok saja. Tetapi harus diemban juga oleh negara. Namun, bukan sembarang negara, hanya negara yang berani berkomitmen untuk mempersatukan kaum muslim seantero dunia dan konsisten dalam menerapkan seluruh aturan Islam, serta sanggup mengemban dakwah dan jihad sajalah yang layak didaulat sebagai negara Khilafah.

Pariwisata tak luput dari pengaturan Islam. Dalam Khilafah, pariwisata merupakan sarana dakwah dan propaganda, bukan sebagai sumber devisa apalagi tumpuan pemulihan ekonomi. Karena pos pembiayaan negara diambil dari pengelolaan SDA (harta milik umum), pos fa’i dan sejenisnya serta sedekah. Pengelolaan barang tambang dan SDA lainnya sepenuhnya dipegang oleh negara. Asing tidak boleh ikut campur di dalamnya. Hasil pengelolaannya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Keindahan alam yang dijadikan destinasi wisata, bagi wisatawan muslim menjadi pengokoh keimanan, sedangkan bagi wisatawan nonmuslim menjadi objek dakwah. Mereka tidak hanya dibiarkan menikmati keindahan alamnya saja, tetapi juga diberikan penjelasan mengenai alam raya, hakikat penciptaan dan kehidupan manusia dan alam semesta. Jadilah mereka mengenal akidah Islam dan khasanahnya. Interaksi antara wisatawan dengan pribumi diwarnai semangat dakwah sehingga terjadi transfer pemikiran di sana.

Allah Swt berfirman:

قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير

Katakanlah, “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Ankabut: 20)

Selanjutnya, maksud wisata dalam Islam adalah mengambil pelajaran dan peringatan. Dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk berjalan di muka bumi.
Firman-Nya, “Katakanlah, ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS Al-An’am: 11)

Al-Qasimi rahimahullah berkata, “Mereka berjalan dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai nasihat, pelajaran, dan manfaat lainnya.” (Mahasinu At-Ta’wil, 16/225)

Adapun cagar budaya menjadi bukti autentik sejarah masa kejayaan Islam dahulu. Sehingga tidak hanya akan jadi romantisme sejarah yang mudah terlupakan, tetapi menjadi keyakinan dan motivasi untuk mengulang kejayaan yang sama masa kini. Adapun peninggalan budaya selain Islam, jika itu berupa tempat peribadatan yang masih dipakai pemeluknya, maka dibiarkan. Itulah makna toleransi sebenarnya. Akan tetapi, jika sudah tidak lagi digunakan oleh penganutnya, maka akan dihancurkan. Karena tidak ada lagi alasan untuk tetap mempertahankannya. Itulah kehebatan pengaturan Islam dalam pariwisata. Pada sistem sekular-kapitalis, pariwisata menjadi ajang maksiat dan corong liberalisasi. Sementara dalam sistem Islam menjadi amal salih yang bertabur pahala dan berfungsi sebagai syiar Islam. Negara seperti inilah yang kita dambakan. Karena mampu memberikan kenyamanan, keamanan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Lantas apa lagi yang kita tunggu? Mari bersama kita perjuangkan tegaknya Khilafah, rumah bersama yang mampu menaungi dan melindungi kita semua.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Balada Negeri Pajak, Rakyat (pun) Kena Palak
Next
Jika Hidupmu Membosankan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram