Bola Panas TWK, Upaya Melibas Konsistensi KPK di Balik Tameng Islamofobia

"TWK semestinya menjadi tolak ukur dalam menilai kompetensi kinerja pegawai KPK harus ambruk di tangan pihak-pihak yang tergerogoti Islamofobia akut. Soal-soal yang disajikan semestinya berisi tentang bagaimana upaya terbaik dalam menyelesaikan masalah korupsi."


Oleh : Miliani Ahmad

NarasiPost.Com-Negara ini makin gaduh. Satu masalah belum terselesaikan, masalah lainnya justru bermunculan. Belakangan ini Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diinisiasi oleh KPK telah menuai banyak masalah. Tes yang awalnya berfungsi sebagai media penilaian alih fungsi status pegawai KPK menjadi ASN berubah menjadi bola panas dan berpotensi memecah belah. Disinyalir tes tersebut merupakan upaya untuk melemahkan KPK dengan cara menyingkirkan orang-orang yang selama ini memiliki komitmen tinggi untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Setidaknya berdasarkan hasil TWK tersebut sebanyak 1.274 pegawai KPK dinyatakan lulus kecuali 75 orang pegawai lainnya. Di antara 75 orang pegawai yang tak lulus tersebut dikabarkan ada nama Novel Baswedan yang diketahui khalayak sebagai orang yang gigih memperjuangkan “kebersihan negara” dari para tikus pengerat uang rakyat.
Sontak saja masyarakat banyak bersuara. Apalagi di tengah nasib bangsa yang ditimpa masifitas korupsi, TWK seakan berpotensi menjadi celah terbukanya pintu lebar bagi para koruptor. Polemik yang terus berkembang ini telah memaksa Presiden Jokowi meminta kepada KPK untuk “menyelamatkan” 75 pegawai tersebut. Namun sayang, keputusan berkata lain. Pada hasil rapat sejumlah menteri dan pejabat lainnya diputuskan 51 orang dinyatakan tidak lulus karena memiliki label ‘merah’ sementara 24 pegawai lainnya akan dilakukan pembinaan ulang. (detiknews.com, 31/05/2021)

Soal TWK Mencerminkan Islamopobia

Sejumlah pihak mempertanyakan sejumlah soal TWK yang diajukan oleh KPK. Semisal pertanyaan yang mencoba membenturkan antara kewajiban jilbab dan kepentingan bela negara serta apakah memilih Al-Qur’an atau pancasila. Menanggapi pertanyaan ‘nyeleneh’ ini, Jazuli Juwaini selaku Ketua Fraksi PKS menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut amat tendenius, menyimpang, dan menyesatkan. Dirinya mensinyalir adanya langkah-langkah yang mencoba untuk membenturkan antara kebangsaan dengan agama yang dimotori fobia agama dan prasangka bahwa taat dalam beragama merupakan ancaman yang melahirkan radikalisme. (hidayatullah.com, 02/06/2021)

Sementara itu, Anwar Abbas Wakil Ketua Umum MUI menilai pertanyaan yang memberikan pilihan antara Al-Qur’an atau Pancasila jelas merupakan pertanyaan yang tidak sehat. Menurutnya, perlu ada tim independen yang menyelidiki siapa pembuat pertanyaan tersebut. Jika bisa dibuktikan bersalah, maka yang bersangkutan bisa ditindak dengan segera. (detiknews.com, 02/05/2021)

Secara fakta, Islamofobia makin tampak pada label ‘merah’ yang disematkan kepada 75 pegawai KPK. Terdapat beberapa kriteria di antara sembilan kriteria kategori merah yang menunjukkan sentimen antiagama tersebut. Di antaranya redaksi Detik.com menyebutkan,

  1. Setuju terhadap perubahan pancasila sebagai dasar negara atau terpengaruh atau mendukung adanya ideologi lain (khilafah, liberalisme, kapitalisme, separatisme, sosialisme atau komunisme, dan menyetujui referendum Papua).
  2. Tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah yang membubarkan HTI dan FPI atau kelompok pendukung teroris atau kelompok radikal.
  3. Mengakui bahwa di KPK terdapat kelompok Taliban yang dalam melaksanakan tugasnya hanya takut kepada Allah dan kebenaran dan menyetujuinya.

Sungguh amat disayangkan, TWK yang semestinya menjadi tolak ukur dalam menilai kompetensi kinerja pegawai KPK harus ambruk di tangan pihak-pihak yang tergerogoti Islamofobia akut. Soal-soal yang disajikan semestinya berisi tentang bagaimana upaya terbaik dalam menyelesaikan masalah korupsi. Apalagi di tengah karut-marutnya persoalan korupsi dalam negeri, tentunya kompetensi tinggi pegawai KPK dalam menegakkan hukum amat dibutuhkan.

Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Atas nama menjaga kesatuan negara, pertanyaan TWK dibuat namun sarat tendesi terhadap agama. Alih-alih TWK mampu menjadi problem solver bagi penyelesaian kasus korupsi, justru makin berpotensi memperuncing kisruh dalam negara.

Sekularisme Melanggengkan Korupsi

Amat jelas bahwa apa yang menimpa 75 orang pegawai KPK semakin menampakkan adanya upaya-upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Selama ini telah banyak upaya yang telah dilakukan untuk melumpuhkan sepak terjang lembaga antirasuah tersebut. Dimulai dari adanya upaya sejumlah parpol di tahun 2011 untuk merevisi UU KPK, lalu ada upaya melakukan pembatasan perekrutan penyidik independen, dan upaya untuk mengeluarkan tindak pidana kasus korupsi sebagai kasus extraordinary crime melalui revisi KUHP yang mencoba memasukkan delik korupsi pada rancangannya.

Kesemua ini tak berlepas dari kecacatan asas sekularisme yang menjadi pondasi pengaturan kehidupan berbangsa selama ini. Dalam sistem ini, kasus korupsi merupakan perkara alami yang banyak ditemukan. Tentu penyebabnya karena sekularisme telah terbukti gagal mencetak mental pejabat sebagai orang yang amanah. Pejabat dengan model begini pada saat berkuasa pastilah akan mampu melakukan apa pun sekehendak hati mereka termasuk memakan uang negara. Tak ada rasa takut untuk mempertanggungjwabkannya. Sebab rasa aman dari Allah Swt. telah tercebarut dari jiwa dan hati mereka.
Maka saat aktivitas mereka terendus lembaga antirasuah, mereka bersatu padu dengan para kroninya untuk menggerogoti independensi lembaga tersebut. Tak hanya itu, mereka pun melakukan upaya-upaya sistematis guna menyingkirkan pihak-pihak yang vokal terhadap pemberantasan korupsi. Berbagai langkah dijalankan. Satu sama lain saling berkoordinasi untuk menjatuhkan, termasuk dibuatlah pertanyaan TWK untuk mendepak lawan-lawan mereka di bawah jargon menjaga kesatuan bangsa.

Sungguh sebuah ironi. Di sisi lain, menggelindingnya isu panas radikalisme dan terorisme kerap dimanfaatkan banyak pihak. Isu ini sering dijadikan kambing hitam untuk menutupi kebusukan bangkai perilaku para pejabat yang amat merugikan masyarakat dan negara. Isu ini pun kerap dijadikan tameng perlindungan agar mereka selamat dari penilaian publik dan mengalihkan permasalahan besar yang dihadapi bangsa ini.

Selain itu, narasi Islamofobia kerap dijadikan godam untuk membungkam pihak-pihak yang lurus dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Padahal masyarakat secara umum sudah sangat memahami bahwa pihak-pihak yang selama ini gencar menyuarakan radikalisme, terorisme, dan membangun sikap fobia terhadap agama adalah pihak-pihak yang banyak terlibat dalam menggarong uang negara.
Inilah wajah buruk sekularisme. Agama tak lagi menjadi penopang penegak standar kebenaran. Akal manusia yang mendominasi dalam pembuatan UU dan juga aturan telah menjadikan konflik kehidupan berbangsa makin menganga.

Sekularisme selamanya akan selalu melahirkan kecacatan aturan. Sebab, sekularime merupakan aturan yang berlawanan dengan kehendak Allah Swt Sang Pencipta alam dan bertentangan dengan fitrah manusia.

Islam, Solusi Jitu Memberantas Korupsi dan Melindungi Penegak Hukumnya

Harta ghulul merupakan harta yang didapatkan oleh para penguasa dan juga para pegawai negara dengan cara yang bertentangan dengan syariah. Termasuk harta yang didapat melalui jalan korupsi. Bisa dengan cara menipu, memanipulasi angka anggaran, memanfaatkan kelengahan dan lain sebagainya.

Untuk sistem pembuktian korupsi, pada masa kepemipinan Umar bin Khattab saat beliau mengangkat pejabatnya, Umar terbiasa menghitung dan mencatat aset kekayaan mereka. Dalam perjalanan selanjutnya, jika terdapat keanehan dan keraguan pada kekayaan yang dimiliki pejabat atau pegawai negara tersebut, maka Umar tak segan-segan menyita kelebihan harta tersebut di luar penghasilannya yang sah. Harta sitaan tersebut akan diserahkan dan dimasukkan ke dalam Baitul Maal.

Begitu ketatnya Islam menyeleksi para pejabat negaranya. Semua mekanisme demikian dilakukan agar tidak muncul kezaliman di tengah-tengah umat manusia. Selain itu, esensi harta negara merupakan harta milik rakyat yang mesti dialokasikan sesuai pada tempatnya bukan untuk memperkaya para pejabatnya.

Untuk itulah negara perlu membentengi sedari awal perilaku rakyatnya dengan pondasi akidah Islam yang kokoh. Kondisi ini akan melahirkan keimanan dan ketakwaan di kalangan rakyat khususnya para pejabat dan pegawai negara. Efeknya, kejahatan dan tindakan culas akan semakin hilang di lingkup kekuasaan. Maka, menginginkan kondisi demikian tentu mewajibkan negara secara mutlak untuk membina masyarakatnya dengan menjalankan sistem pendidikan yang memiliki kurikulum berbasis akidah Islam. Hal ini menjadi poin penting agar pencetakan generasi menghasilkan output yang berkepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyah).

Lebih dari itu, langkah kuratif juga sangat menentukan demi tertutupnya celah-celah korupsi. Pemimpin negara, dalam hal ini khalifah memiliki kekuasan tertinggi untuk menjalankannya. Beserta jajarannya, khalifah wajib mengawasi segala pola tingkah pejabatnya agar tidak menjalankan kemaksiatan yang menjurus pada aktivitas menyelewengkan kekuasaan. Sanksi ta'zir akan diberlakukan jika terbukti adanya pejabat atau pegawai negara yang menyelewengkan anggaran negara.

Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah) tidak boleh ada upaya-upaya untuk memandulkan fungsi khalifah dalam memberantas korupsi. Semua pejabat dan pegawai negara mesti memiliki pemahaman yang satu bahwa korupsi adalah tindakan memberontak kepada syariah Allah Swt, sehingga setiap adanya upaya pemandulan tersebut wajib dicegah bersama-sama dengan kesadaran yang dilandasi atas keimanan.
Inilah yang membedakan Islam dengan sekularisme. Sistemnya yang sempurna dan paripurna mampu mencabut masalah korupsi sampai ke akar-akarnya. Sehingga dalam praktiknya, korupsi di negara khilafah hanya bersifat kasuistik, bukan sistemik sebagaimana yang lazim ditemukan dalam sistem kehidupan sekularisme.

Sungguh sempurna aturan Allah Swt yang diberikan kepada umat manusia. Tapi sayangnya semua itu telah tertutup kebenarannya akibat tata sistem kehidupan yang salah. Bahkan lebih buruk lagi, ajaran Islam yang mampu menyelamatkan ini justru dimusuhi dan ditakuti umat akibat propaganda global “war on terorism”. Jika sudah demikian, sudah selayaknya umat ini bangkit dan mencampakkan sekularisme agar kehidupan negeri ini makin berkah dan mampu terlepas dari berbagai problematika. Tidakkah kita ingin mengupayakannya?
Wallahua’lam bish-showwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Mentimun, Rahasia Bentuk Tubuh Ideal
Next
Uang Rakyat Raib di Kantong PNS Gaib
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram