Staycation, “Simalakama” Pekerja Kontrak

”Adanya syarat staycation bagi karyawati benar-benar mengoyak kewarasan publik. Tindakan tersebut tentu saja merupakan perbuatan biadab yang bertentangan dengan norma moral, sosial, dan agama.”

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-“Bagai makan buah simalakama”. Peribahasa ini sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana nasib para karyawati kontrak hari ini. Jika tak menuruti keinginan pimpinan akan berisiko diputus kontrak kerjanya, tetapi jika keinginan tersebut dipenuhi, muruahnya sebagai wanita akan ternoda. Sudahlah tenaganya diperas dengan gaji minim, masih juga “dipaksa” melayani hasrat tak bermoral sang pimpinan. Tak ada pilihan, pembelaan, apalagi perlawanan. Meskipun ada perlawanan, itu hanya beberapa dari puluhan bahkan ratusan pekerja yang lebih memilih pasrah demi menyelamatkan pekerjaannya.

Seperti diwartakan Detik.com (05//05/2023), isu tentang karyawati yang harus staycation semakin kencang berembus. Berita itu pun sempat viral di Twitter setelah diunggah oleh Jhon Sitorus melalui akun @Miduk17. Dalam cuitannya di Twitter, disebutkan bahwa ada perusahaan di Kabupaten Bekasi, yang memberi syarat khusus bagi karyawati yang ingin kontraknya diperpanjang. Syarat tersebut adalah mereka harus bersedia “tidur bareng bos” alias staycation.

Salah satu korbannya adalah seorang wanita yang mengaku bekerja di perusahaan kosmetik di kawasan Jababeka, Kabupaten Bekasi. Korban yang merupakan pekerja kontrak di perusahaan tersebut mengaku sering diajak staycation oleh atasannya, terutama saat kontraknya akan berakhir. Korban yang terus menolak ajakan pimpinannya, akhirnya diputus kontraknya oleh perusahaan. Walhasil, korban pun beraksi dengan melaporkan atasannya tersebut ke polisi.

Adanya fakta miris tersebut meninggalkan beragam tanya, apakah ini adalah fenomena baru atau justru sudah terjadi sangat lama? Lantas, apa yang menyebabkan terjadinya kasus-kasus staycation? Bagaimana pula sesungguhnya peran negara dalam mengurus masalah pekerja?

Bak Fenomena Gunung Es

Terkuaknya kasus staycation terhadap karyawati di salah satu perusahaan, membuka mata banyak orang bahwa ada yang salah dengan sistem perburuhan saat ini. Mengapa para karyawati yang seharusnya hanya bekerja dengan tenaga dan waktunya, justru harus merelakan tubuhnya juga untuk sang pimpinan? Selain itu, praktik-praktik staycation yang baru-baru ini viral juga ibarat fenomena gunung es yang hanya tampak sedikit di permukaan, padahal yang tidak terlihat jauh lebih banyak. Hal ini pun diungkapkan oleh Koordinator Nasional Posko Orange, Deputi Bidang Hukum Exco Pusat Partai Buruh, Anwar.

Anwar mengungkapkan bahwa praktik-praktik haram seperti itu sudah lama terjadi. Fakta tersebut bukan hanya menjadi rahasia umum perusahaan, tetapi sudah diketahui oleh hampir seluruh karyawan. Menurutnya, jika pola staycation sekarang adalah mengajak karyawati tidur bersama, maka pola yang digunakan dahulu adalah memilih karyawati yang bisa diajak ke Puncak. Anwar pun menyebut, oknum pelaku mencari kelemahan para pekerja wanita, apalagi bagi mereka yang sangat membutuhkan pekerjaan. (Sindonews.com, 07/05/2023)

Sejauh ini sudah ada empat perusahaan di Kabupaten Bekasi yang terindikasi memberi syarat staycation terhadap para karyawati. Meski demikian, baru ada satu karyawati yang berani melaporkan pimpinannya ke pihak kepolisian. Jumlah tersebut bisa jadi akan bertambah jika lebih banyak korban yang berani melapor. Adanya syarat staycation bagi karyawati benar-benar mengoyak kewarasan publik. Tindakan tersebut tentu saja merupakan perbuatan biadab yang bertentangan dengan norma moral, sosial, dan agama. Bagaimana mungkin oknum pimpinan perusahaan melakukan tindakan tak terpuji terhadap para karyawannya?

Akar Masalah

Tak ada asap bila tidak ada api. Begitu juga dengan maraknya fenomena staycation. Jika mencermati secara mendalam, munculnya kasus-kasus staycation disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:

Pertama, relasi kuasa menjadi jembatan terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja. Adanya disparitas kedudukan antara pekerja kontrak dengan pimpinannya, membuat mereka tidak memiliki banyak pilihan. Apalagi jika melihat sulitnya masyarakat mengakses lapangan pekerjaan saat ini. Beratnya beban ekonomi terkadang membuat sebagian karyawati lebih memilih pasrah mengikuti keinginan atasannya ketimbang harus diputus kontraknya.

Kedua, pengesahan UU Omnibus Law menjadi petaka bagi para pekerja. UU ini membuat posisi buruh semakin lemah dan tidak berdaya. Misalnya saja soal penghilangan periode batas waktu kontrak yang terdapat dalam UU Nomor 11 Tahun 2020. Padahal, di Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003, masih diatur tentang batas waktu kontrak, yakni maksimal lima tahun dan maksimal tiga periode kontrak.

Akibat dari penghapusan tersebut, pengusaha bisa mengontrak para pekerja secara berulang atau terus-menerus tanpa ada batas waktu tertentu. Penghapusan tersebut juga mengakibatkan pekerja kontrak bisa diperkerjakan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi karyawan tetap. Ini artinya, pekerja kontrak tidak akan merasakan job security atau kepastian bekerja.

Ketiga, terkuaknya fenomena staycation yang diduga sudah berlangsung lama menunjukkan buruknya kinerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), khususnya dalam bidang pengawasan. Apalagi tidak ada sanksi yang benar-benar memberi efek jera kepada pelaku. Jika pemerintah benar-benar peduli kepada para pekerja, tindakannya tak cukup hanya mengecam. Pemerintah seharusnya menghapus kebijakan sistem kontrak kerja (outsourcing) yang selama ini telah melemahkan posisi buruh dan rawan dieksploitasi.

Kezaliman Kapitalisme

Puncak dari semua permasalahan tersebut adalah penerapan sistem kapitalisme yang dibangun di atas prinsip kebebasan kepemilikan. Di mana, kebebasan kepemilikan menjadi hal yang utama di antara kebebasan lainnya. Kapitalisme yang memang rusak dari akarnya telah melahirkan krisis multidimensi yang tak bisa diselamatkan. Tak hanya solusinya yang berbahaya, hasilnya pun menyebabkan kerusakan.

Prinsip-prinsip kebebasan kepemilikan yang lahir dari rahim kapitalisme telah menyebabkan aset-aset milik umat justru dikuasai para oligarki. Hal ini mengakibatkan harta kekayaan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja, sementara rakyat hanya bisa gigit jari. Di sisi lain, negara yang hanya berperan sebagai regulator tidak benar-benar serius memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Akibatnya rakyat harus terseok-seok memenuhi kebutuhannya sendiri di tengah sulitnya akses terhadap lapangan pekerjaan. Dalam banyak kasus, banyak orang akhirnya rela menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang.

Sistem ini pula yang telah mengeksploitasi para wanita untuk terjun ke dunia kerja dan meninggalkan fitrahnya sebagai pengurus rumah tangga. Masyarakat yang sudah teperdaya oleh roh sekularisme pun akhirnya rela membangun hubungan simbiosis mutualisme, yakni sama-sama menguntungkan meski harus melanggar syariat. Tak heran kasus-kasus staycation terus menggurita sebagai akibat dari kegagalan negara dalam mengurus rakyatnya.

Nasib Pekerja dalam Islam

Tidak ada satu pun peraturan dalam Islam yang menzalimi manusia, baik muslim maupun nonmuslim. Sebab, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia tak terkecuali para pekerja. Jika dalam sistem kapitalisme perburuhan masih menjadi problem tak terurai, berbeda halnya dengan Islam. Dalam Islam, tidak ditemukan problem perburuhan secara umum atau publik. Meskipun ditemukan masalah, hal itu hanya bersifat personal atau kasuistik.

Islam memberikan tuntunan yang sangat sempurna bagaimana seharusnya negara mengurus rakyatnya, termasuk para pekerja. Salah satunya diterangkan dalam kitab Asy Syakhshiyyah al Islamiyyah jilid 2, pada bab Laa Tuujadu fil Islaami Musykilaatu ‘Ummaal (Tidak Ada Problem Perburuhan dalam Islam), karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. Dalam kitab tersebut diuraikan secara mendalam sebagai solusi terhadap masalah perburuhan. Beberapa poin tersebut adalah:

Pertama, negara menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar setiap individu masyarakat baik pangan, sandang, dan papan. Selain kebutuhan dasar setiap individu, negara juga menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok kolektif masyarakat yakni pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Jika kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi, maka para pekerja tidak akan menggantungkan biaya kebutuhan dasarnya dari gajinya sebagai pekerja. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi saat ini, di mana gaji para pekerja menjadi tumpuan untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya.

Kedua, dalam pandangan Islam, hubungan pekerja dan pemilik usaha hanya dilihat dari aspek akad kerjanya. Artinya, ketika akan dilakukan akad kerja harus benar-benar diperhatikan apakah halal atau haram dan sah atau tidak sah. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa tidak ada golongan kelas buruh atau proletar dalam Islam. Karena itu jika akadnya sudah sejalan dengan syariat, kesepakatan gaji sudah dilakukan, maka kedua belah pihak bisa langsung bermuamalah.

Ketiga, selain dua poin di atas, negara juga memberikan pendidikan dan pelatihan terhadap para karyawan agar mereka memiliki kapasitas yang sejalan dengan dunia kerja. Hal ini merupakan tanggung jawab negara sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam hadis Bukhari, “Kepala negara adalah pelayan. Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.”

Tidak dipenuhinya hak rakyat oleh negara dapat dianggap sebagai kezaliman. Jika kondisinya lebih mengkhawatirkan, misalnya penguasa tidak memberi perhatian terhadap rakyatnya, maka (khalifah) dapat dipecat oleh Mahkamah Mazhalim. Namun, perhatian seorang penguasa tidak hanya ditujukan kepada para buruh semata, tetapi tanggung jawab tersebut harus ditujukan untuk setiap individu masyarakat.

Selain mengatur masalah perburuhan dengan berbagai mekanismenya, Islam juga sangat sempurna dalam mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan baik di ranah privat maupun publik. Misalnya dalam sistem pergaulan antara keduanya, Islam memerintahkan untuk menutup aurat, menundukkan pandangan, melarang aktivitas ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan), serta melarang berkhalwat kecuali disertai mahram.

Dengan adanya ketakwaan individu dan pengaturan sistem pergaulan yang sesuai dengan syariat, maka lelaki dan perempuan akan menjaga interaksinya di mana pun termasuk tempat kerja. Hal ini juga akan menghindarkan para karyawati dari bahaya praktik staycation.

Khatimah

Mengguritanya kasus staycation hanyalah salah satu dampak dari pencampakan aturan Allah Swt. dalam kehidupan. Mengembalikan aturan Allah Swt. dalam seluruh aspek kehidupan adalah solusi terbaik dan satu-satunya untuk memberantas praktik staycation yang menggurita dalam sistem kapitalisme. Selain itu, penerapan hukum-hukum syariat juga terbukti membawa kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dalam ranah individu, masyarakat, maupun negara.
Wallahu a’lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Menorrhagia dalam Perspektif Medis dan Fikih Islam
Next
Perjuangan Itu Sungguh Menawan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram