"Inilah salah satu bentuk pengabaian sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, kesehatan merupakan tanggung jawab individu. Kebijakan herd imunity yang diambil oleh pemerintah menunjukkan bahwa prioritas utamanya adalah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, bukan menyelamatkan nyawa rakyat."
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tiga tahun silam, WHO pertama kali menetapkan bahwa dunia berada dalam status darurat Covid-19. Suatu kondisi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Beberapa negara melakukan karantina total demi menyelamatkan warganya, tetapi ada pula yang sekadar melakukan pembatasan-pembatasan aktivitas agar ekonomi negaranya tidak hancur.
Akibat dari serangan virus SARS-CoV-2, WHO mencatat korban tewas sejumlah tujuh juta orang. Sungguh sebuah angka yang fantastis dan bukan sekadar angka. Pada angka-angka itu ada ayah, ibu, anak, paman, bibi, keponakan, dan kerabat-kerabat yang dicintai oleh keluarganya. Rasa kehilangan mereka pasti masih meninggalkan duka.
Akan tetapi, pada 5 Mei 2023, WHO memutuskan untuk mencabut status darurat Covid-19 karena tidak lagi memenuhi syarat sebagai darurat global. Dikutip dari voaindonesia.com (05-05-2023), Tedros Adhanom Ghebreyesus sebagai Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa meskipun tahap darurat telah usai, tetapi pandemi belum berakhir. Ia juga mengingatkan lonjakan kasus harian di Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Apa Arti Berakhirnya Kedaruratan Covid-19?
Tatkala WHO mencabut status kedaruratan Covid-19, tidak berarti pandemi usai. Sebaliknya, pandemi masih berlangsung walaupun tidak lagi di fase akut. Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 masih ada dan tidak akan musnah dalam waktu singkat.
Menurut epidemiolog Dicky Budiman pada Healthliputan6.com (06-05-2023), pencabutan status kedaruratan Covid-19 lebih pada upaya WHO untuk memberikan kebebasan dan otorisasi pada setiap negara untuk merespons pandemi yang masih berjalan. Apakah Covid-19 tetap distatuskan darurat ataukah dimasukkan ke dalam program pengendalian penyakit menular secara umum? Respons itu juga bisa berupa ketersediaan vaksin, tes Covid-19 hingga biaya perawatan. Kalau sebelumnya digratiskan, sangat mungkin nantinya akan berbayar. Jika hal ini terjadi, tentu memberatkan masyarakat, karena sampai hari ini virus Covid-19 terus menyebar dan variannya terus bermunculan.
Kemunculan varian Covid-19 terbaru tentu memberikan tantangan tersendiri bagi setiap negara. Terlebih pada negara dengan sistem kesehatan lemah dan memiliki ketergantungan tinggi pada negara lain. Mendeteksi kemunculan varian baru bagi negara dengan perlengkapan laboratorium canggih dan tim peneliti yang mumpuni adalah hal ringan. Akan tetapi, luar biasa beratnya bagi negara berkembang dengan kultur riset rendah. Munculnya varian Delta yang mematikan di India sampai menyebar ke seluruh dunia, contoh konkretnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Negara ini sebelas dua belas dengan India. Keduanya sama-sama memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dan sistem kesehatannya lemah. Belum hilang dari memori, bagaimana 3 tahun lalu pemerintah inkonsistensi dengan pernyataan-pernyataannya dan enggan untuk secara proaktif merespons dinamika pandemi. Negara juga tidak memiliki kesiagaan menghadapi pandemi. Akibatnya ratusan ribu jiwa melayang termasuk para tenaga kesehatan. Menurut catatan GHSI (Global Health Security Index), Indonesia merupakan salah satu negara dengan kematian tenaga medis tertinggi di dunia. (Indoprogress.com, 17-07-2021)
Dengan rekam jejak seperti paparan di atas, sangat mungkin pencabutan status darurat Covid-19 akan mengendorkan upaya pemerintah untuk meminimalkan penyebarannya. Tidak itu saja, malah bisa jadi akan terjadi pembiaran. Artinya, masyarakat dibiarkan hidup berdampingan dengan virus SARS-CoV-2 meskipun risiko tertularnya sangat tinggi. Masyarakat dibiarkan menjalani hari bersama Covid-19 tanpa edukasi berkelanjutan. Sangat mungkin bila masyarakat awam menganggap pencabutan status darurat ini sebagai akhir pandemi.
Inilah salah satu bentuk pengabaian sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, kesehatan merupakan tanggung jawab individu. Kebijakan herd imunity yang diambil oleh pemerintah menunjukkan bahwa prioritas utamanya adalah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, bukan menyelamatkan nyawa rakyat.
Negara kapitalis baru akan hadir melayani rakyatnya, apabila tampak keuntungan secara materi. Keuntungan itu didapat negara melalui pajak dari lembaga-lembaga profit yang berkecimpung dalam dunia kesehatan, produk-produk, dan alat kesehatan yang diperjualbelikan. Tentu masih segar dalam ingatan tentang persaingan ketat produsen vaksin Covid-19 saat akan masuk ke Indonesia. Hal-hal yang demikian merupakan sebuah kewajaran dalam iklim kapitalisme. Di dalam sistem ini tidak ada yang gratis. Kesehatan pun diperjualbelikan.
Bagi negara yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan, berjalannya perekonomian dengan lancar dan stabil tentu saja lebih penting. Perkongsian antara pengusaha dan penguasa telah mengkhianati amanat rakyat saat memilihnya. Alih-alih berkhidmat kepada rakyat, sebaliknya mereka dianggap beban demi memenuhi syahwat dunia segelintir orang. Ritme semacam ini akan terus berlangsung sampai tergantikan oleh yang terbukti melayani rakyat sepenuh hati.
Khilafah Satu-satunya Solusi Tuntas Atasi Pandemi
Sistem kapitalisme bertentangan secara diametral dengan sistem Islam. Sekularisme yang menjadi dasar tegaknya sistem kapitalisme menjadikan agama terpisah dari kehidupan. Sementara Islam mendasarkan kehidupan harus berjalan sesuai perintah Allah Swt. dan menjauhi apa saja yang dilarang-Nya.
Keberadaan Allah Swt. sebagai Zat yang menciptakan manusia dan seluruh kehidupan di alam semesta mewajibkan setiap manusia tunduk patuh pada aturan-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt. di dalam surah Al-Anfal ayat ke-20.
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَاَ نْـتُمْ تَسْمَعُوْنَ
Artinya, “Wahai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jangan kalian berpaling dari Allah, sedangkan kalian mendengar (perintah-perintahnya).”
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia telah memberi arah hidup di dunia, baik untuk dirinya sendiri maupun kemaslahatan bagi seluruh alam. Satu aspek saja terlepas dari syariat Allah Swt., maka terwujudnya kemaslahatan secara sempurna tidak akan teraih. Dalam masalah kesehatan, Islam telah memberikan tuntunan yang kamil dan paripurna. Berikut ini adalah konsepsi Islam dalam menghadapi pandemi.
Pertama, khalifah sebagai pemimpin umat akan mencurahkan segenap kemampuannya demi terselenggaranya seluruh hajat hidup rakyat. Hal ini dikarenakan kepemimpinan dalam Islam merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
Kedua, Islam menjaga keberlangsungan setiap jiwa (hifzun nafsi) merupakan salah satu tujuan syariat. Islam memprioritaskan keselamatan jiwa manusia. Artinya, setiap nyawa lebih penting dibandingkan berjalannya perekonomian dan kestabilan politik.
Ketiga, setiap keputusan yang diambil harus ditegakkan berdasarkan syariat Islam. Keputusan tidak boleh berdasarkan nafsu semata, apalagi sekadar terdapat manfaat. Rasulullah saw. telah memberikan tuntunan ketika sebuah daerah mengalami wabah, yaitu dengan karantina wilayah.
Kitab Shahih Bukhari dengan nomor hadis 5289, meriwayatkan hadis dari Abdurrahman bin Auf yang mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian mendengar ada negeri dilanda wabah, maka janganlah kalian menghampirinya. Akan tetapi jika kalian berada di sebuah negeri yang sedang terjangkit wabah, maka janganlah kalian keluar dan lari dari wilayah tersebut.”
Sedangkan di dalam hadis bernomor 5330 di kitab yang sama, Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, saya mendengar Abu Hurairah dari Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kalian mengumpulkan antara orang yang sakit dengan orang yang sehat.” Hadis ini merupakan perintah untuk merawat yang sakit sampai sembuhnya di tempat tertentu.
Ketika penduduk Syam mengalami wabah Amwas, Umar bin Khattab sebagai khalifah, memerintahkan Amru bin Ash untuk mengungsikan penduduk yang sehat ke bukit-bukit.
Keempat, dalam masalah anggaran, Khilafah fleksibel dan cepat, tanpa melihat keuntungan. Nyawa selalu menjadi prioritas. Tatkala suatu daerah mengalami wabah, maka kebutuhan pokoknya dijamin oleh negara. Umar bin Khattab pernah mencontohkan saat Madinah ditimpa paceklik.
Sayidina Umar meminta bantuan Mesir untuk mengirimkan bantuan berupa makanan dalam jumlah sangat besar. Setelah terkirim bahan makanan itu pun dibagikan cuma-cuma. Demikian pula dalam pemenuhan obat maupun ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan. Khilafah akan menyediakannya dengan kualitas terbaik dan akses yang mudah.
Kelima, Khilafah akan membangun kultur riset. Riset ini ditujukan untuk mengatasi virus, bakteri, maupun kuman yang terus bermunculan agar ditemukan obatnya atau didapatkan teknik pengobatannya. Semuanya ini dilakukan demi terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh rakyat.
Khatimah
Karut-marut penanganan Covid-19 membuktikan kegagalan kapitalisme dalam menghadapi pandemi. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila sistem ini digantikan oleh Khilafah sebagaimana minhaj Rasulullah saw. Khilafah telah terbukti andal dan tuntas dalam menangani seluruh persoalan yang dihadapi oleh manusia.[]