"Seyogianya, semua hal tersebut wajar saja terjadi dalam sistem kapitalis sekuler. Sebab, selain sistem sanksi sangat lemah yang membuat para mantan narapidana berulah kembali, juga akibat berbagai aspek lainnya yang mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan."
Oleh. Khaziyah Naflah
(Kontributor NarasiPost.Com dan Freelance Writer)
NarasiPost.Com-Hari raya Idulfitri merupakan momen bahagia bagi seluruh kaum muslim, tanpa terkecuali bagi narapidana muslim. Menjelang hari raya Idulfitri kemarin, hampir seluruh narapidana di berbagai daerah memperoleh remisi atau pengurangan masa hukuman. Sebagaimana di daerah Jawa Tengah, sebanyak 6.746 napi memperoleh pengurangan masa hukuman. Dari jumlah itu, remisi khusus I ada 6.647 yang masih terus menjalani sisa hukuman di penjara dan 44 orang untuk remisi khusus II langsung bebas pada hari raya Lebaran kemarin. (Kompas.com, 23/04/2023)
Remisi ini disebut sebagai penghargaan negara kepada narapidana yang selalu berusaha berbuat baik, terus mengintrospeksi diri, dan berusaha menjadi masyarakat yang berguna. Di sisi lain, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) mengeklaim bahwa pemberian remisi Idulfitri 2023 diprediksi bakal mengirit anggaran negara, yang mana akan menghemat biaya anggaran makan narapidana hingga Rp72 miliar.
Remisi yang diberikan negara kepada para narapidana seakan terlihat baik. Sebab, selain bisa mengurangi anggaran belanja negara, dia juga membuktikan jika banyak para narapidana yang mulai berubah lebih baik setelah menjalani masa tahanan. Namun jika ditelisik, remisi tersebut justru bagaikan toksik bagi penegakan hukum di negeri ini.
Jamak diketahui, jika problem hukum di negeri ini sangat banyak. Mulai dari slogan "Hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas" hingga lambatnya proses penanganan kasus. Hal ini sudah membuat publik tidak percaya terhadap aparat penegak hukum. Apalagi, dengan adanya berbagai potongan masa tahanan semakin membuat sistem sanksi di negeri ini lemah dan tidak memberikan efek jera, baik kepada narapidana itu sendiri ataupun kepada orang lain.
Hal ini pun kian terlihat nyata, di mana tindak kejahatan ataupun kriminalitas terus meningkat drastis. Bahkan, pelaku tindak kejahatan sering kali dilakukan oleh orang sama yang sudah bolak balik keluar dari jeruji besi.
Seyogianya, semua hal tersebut wajar saja terjadi dalam sistem kapitalis sekuler. Sebab, selain sistem sanksi sangat lemah yang membuat para mantan narapidana berulah kembali, juga akibat berbagai aspek lainnya yang mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan, seperti adanya impitan ekonomi yang membuat beban hidup kian berat, minimnya ketakwaan terhadap Tuhan-nya, hingga gaya hidup hedonis. Parahnya, negara berlepas tanggung jawab dalam mengurusi urusan rakyatnya. Yang semua itu akibat sistem kapitalis sekuler.
Dari berbagai hal tersebut nyata membuat kejahatan kian merajalela. Apalagi, adanya remisi demi remisi dengan berbagai dalih yang membuat sistem sanksi di negeri ini jelas tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak kejahatan. Sistem sanksi di negeri ini seyogianya telah memisahkan agama dari kehidupan, dengan kata lain menyingkirkan Allah sebagai pembuat hukum yang sah dan menggantinya dengan hukum yang berasal dari akal manusia yang terbatas dan serba kurang.
Alhasil, sistem sanksi/hukum dapat berubah sesuai kehendak para penguasa dan berimbas pada lemahnya sistem hukum tersebut yang nyata tidak membawa keadilan bagi rakyat. Pun tidak memberikan efek jera. Sungguh nyata jika sistem sanksi kapitalis tidak akan mampu untuk menuntaskan berbagai tindak kejahatan, yang ada justru menambah tindak kejahatan kian merebak, bak jamur di musim penghujan.
Hal ini sangat berbeda ketika suatu negeri menerapkan Islam. Sistem sanksi Islam terbukti mampu untuk memberantas kejahatan selama 13 abad silam. Saat Islam dulu menguasai dunia hanya 200 tindak kemungkaran dan kejahatan yang terjadi. Ini karena Islam diterapkan secara keseluruhan dalam tatanan kehidupan manusia, mulai sistem politik, sosial, ekonomi, hingga sistem sanksinya.
Sistem sanksi Islam berasal dari Allah Swt. yakni pembuat hukum yang sah. Firman Allah, "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (TQS. Al-Maidah: 50)
Allah-lah yang mengetahui seluk-beluk perihal perbuatan manusia, mulai dari hati hingga tindakannya. Pun sistem sanksi Islam konsisten dan tidak berubah-ubah atas kehendak manusia.
Selain itu, sistem hukum Islam juga berfungsi sebagai jawabir (penebus siksa akhirat). Artinya, sistem sanksi yang diberikan oleh Islam kepada para pelaku tindak kriminal sebagai penebus siksa di akhirat. Jika mereka telah dihukum di dunia sesuai dengan hukum Allah, maka mereka akan bebas dari hukuman akhirat.
Kemudian sebagai jawazir (pencegah). Artinya, sistem sanksi tersebut menjadi pencegah terjadinya tindak kriminal yang baru ataupun berulang. Sebab, sistem sanksi dilakukan di khalayak umum, sehingga setiap rakyat akan berpikir untuk berbuat kejahatan. Namun, ketetapan tersebut hanya bisa dilakukan jika suatu negeri menerapkan Islam secara kaffah.
Dengan demikian, maka hanya Islam sajalah yang akan mampu untuk memberantas kriminalitas dengan tuntas dan memberikan keadilan bagi seluruh rakyat.
Wallahu A'lam Bish shawwab[]
Yups hal tersebut memang wajar saja terjadi dalam sistem kapitalis sekuler. Sebab, selain sistem sanksi sangat lemah yang membuat para mantan narapidana berulah kembali, juga akibat berbagai aspek lainnya yang mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan. Dengan demikianlah, hanya Islam sajalah yang akan mampu untuk memberantas kriminalitas dengan tuntas dan memberikan keadilan bagi seluruh rakyat. So mari menerapkan Islam secara kaffah agar terjamin kemakmurannya.