Kriteria Pemimpin Menurut Islam vs Mantan Koruptor

"Padahal seorang pemimpin itu mempunyai pengaruh yang mampu menggerakkan dan memengaruhi orang banyak. Jika pemimpinnya gemar bermaksiat, maka dikhawatirkan sifat buruknya tersebut akan ditiru kebanyakan orang, minimal para bawahannya sendiri."

Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Belum 2024, namun gejolak politik dan gegap gempita pesta demokrasi sudah mulai dirasakan. Parpol dan elite politik gencar melakukan beragam manuver politik. Sosialisasi dan manipulasi politik dilakukan agar capres pilihannya terlihat baik di masyarakat, meskipun memiliki track record yang buruk.

Dilansir dari republika.co.id, eks napi kasus korupsi yang juga politikus PPP, Romahurmuziy (Romi), mengungkapkan kriteria calon presidennya.  Menurutnya, seorang pemimpin tidak perlu dilihat pada kualitas salat maupun kesalehannya, melainkan cukup dinilai integritasnya. Bahkan ia menjelaskan bahwa dalam kitab Al-Ahkam Sulthoniyah yang menjadi rujukan tata negara, seorang pemimpin ahli maksiat punya hak ditaati sepanjang dia tidak melarang kebebasan beragama. (11/5/2023)

Benarkah Pernyataan Romi Tersebut?

Saat yang berbeda, pernyataan Romi tersebut mendapat tanggapan dari Sastrawan Politik, Ahmad Khozinudin, S.H.. Ia menjelaskan, “Justru dalam kitab Al-Ahkam Sulthaniyah, Al-Mawardi mensyaratkan agar calon khalifah harus memenuhi syarat in’ikad (syarat wajib), yaitu muslim, laki-laki, adil, berakal, dewasa, merdeka, memiliki kemampuan untuk mengemban amanah kekuasaan, dan harus dari suku Quraisy. Syarat yang ditulis Al-Mawardi tersebut sama dengan yang disepakati oleh para ulama, kecuali masalah “suku Quraisy” hanya sebagai syarat afdhaliyah (syarat keutamaan) dan bukan syarat akad.”

Sehingga, tidak ada satu pun isi kitab Al-Ahkam yang menyatakan, "Seorang pemimpin ahli maksiat harus ditaati sepanjang dia tidak melarang kebebasan beragama”. Sebaliknya, pernyataan Romi tersebut jelas mungkar dan bertentangan dengan hadis Bukhari no.7257, “Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, ketaatan itu hanya dalam perkara yang makruf”.

Kitab Al-Ahkam sebenarnya membahas ilmu politik dalam Islam, yang ditulis berdasarkan permintaan Khalifah Al-Qa’im bi-Amrillah (422-467 H). Sayangnya, kitab tersebut tercoreng akibat pernyataan nyeleneh Rohmamurrozy. Dapat disimpulkan bahwa Romi telah berdusta atas nama Imam Al-Mawardi, agar umat Islam membenarkan pernyataannya dan memberikan dukungan kepada capres yang terkenal suka bermaksiat.

Diketahui terdapat seorang capres yang gemar menonton video porno, bahkan merasa bangga dan mempertanyakan di mana letak kesalahannya. Sehingga publik menyimpulkan bahwa pernyataan Romi tersebut seolah mewakili PPP mendeklarasikan dukungannya terhadap capres tersebut.

Dalam sistem demokrasi seseorang bebas berdusta bahkan mengungkapkan pernyataannya yang jelas-jelas bertentangan dengan agama. Kebebasan berpendapat ini dimanfaatkan oleh beberapa elite politik untuk mengelabui dan mengaburkan umat bagaimana karakter pemimpin dambaan yang sesuai dengan syariat Islam.

Perlu Kita Cermati!

Jika kita merujuk pada UU Nomor 7 Tahun 2017, Pasal 169 huruf a, menyebutkan bahwa salah satu syarat menjadi capres adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini saja telah jelas bahwa pernyataan Romi tersebut begitu paradoks. Bukankah makna takwa adalah memelihara diri untuk tetap melaksanakan perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya? Lantas bagaimana jadinya jika seorang pemimpin yang menjadi orang nomor satu tersebut ternyata gemar bermaksiat dan bangga dengan kemaksiatannya?

Bukankah iman dan takwa itu harus dibuktikan dengan amal perbuatan? Tak bisa dimungkiri, Jika seseorang tidak memiliki rasa takut kepada Allah Swt., maka ia tidak merasa malu lagi untuk bermaksiat bahkan bangga akan dosanya. Coba pikirkan, kepada Tuhannya saja ia tidak mau taat, apalagi pada aturan dan hukum buatan manusia. Artinya, selama hukum tidak mampu menjerat dan menjerumuskannya, maka ia akan berbuat seenaknya, termasuk mengabaikan amanahnya sebagai seorang pemimpin.

Padahal seorang pemimpin itu mempunyai pengaruh yang mampu menggerakkan dan memengaruhi orang banyak. Jika pemimpinnya gemar bermaksiat, maka dikhawatirkan sifat buruknya tersebut akan ditiru kebanyakan orang, minimal para bawahannya sendiri. Misalnya, pemimpin yang mendukung para koruptor, jelas akan didukung oleh pejabat yang memiliki jiwa korupsi juga. Sebab pemimpin akan menjadi teladan karena posisinya yang menonjol dan penting dalam sebuah negara.

Memang tidak dimungkiri, jika seseorang memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam memilih pemimpin. Ada yang memilih pemimpin demi dunia dan materi, dan ada beberapa orang memilih pemimpin dengan niat untuk agama dan akhiratnya. Keragaman motivasi dan latar belakang niat seseorang dapat terlihat dari sikap dan pernyataannya. Sehingga biasanya orang yang berhati-hati akan mencari tahu track record dari setiap capres sebelum ia menjatuhkan pilihannya.

Tidak Cukup dengan Pergantian Rezim

Beberapa elite politik ada yang ingin menghilangkan identitas Islam sebagai kriteria calon pemimpin dan berdalih seolah itu adalah ajaran Islam. Melihat potensi suara umat Islam yang besar, mereka pun menggunakan simbol-simbol Islam untuk meraih kemenangan politik. Terkadang capres yang memiliki representasi dari identitas Islam justru dihadapkan dengan kecaman.

Memang kondisi politik di negeri ini tidak baik-baik saja. Namun dengan berbagai krisis dan problem yang melanda hampir di semua lini kehidupan ini, publik masih menyimpulkan bahwa penyebab utamanya adalah sekadar masalah kepemimpinan. Masyarakat pun berharap dengan mengganti pemimpin maka keadaan akan menjadi lebih baik. Padahal, telah terbukti bahwa keadaan negeri ini makin memburuk meskipun telah beberapa kali mengganti pemimpin.

Sebenarnya kondisi politik dalam demokrasi telah kritis, jika dipertahankan maka rakyat akan terjerumus kembali dalam optimisme buta. Sebab Pemilu 2024 sejatinya tidak berbeda dengan pemilu sebelumnya, di mana hanya menjadi wahana pertarungan oligarki untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, kontrol, dan dominasinya. Dalam demokrasi, capres dan partai yang didukung oligarki akan diberi kekuatan uang. Dari situlah mereka akan mudah melakukan money politic dan manipulasi di berbagai media sosial demi memudahkan segala urusannya untuk memenangkan pilpres. Jelas, rakyat akan kembali dirugikan karena tidak akan pernah lepas dari penjajahan oligarki.

Masalah Politik Adalah Masalah Umat

Realitasnya, negeri-negeri muslim saat ini menerapkan sistem kufur dan terkadang dipimpin oleh munafik bahkan kaum kafir. Namun, kebanyakan umat Islam tidak memahami bahwa masalah tersebut merupakan masalah vital.
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 48)

Nabi Muhammad saw. telah mengajarkan kepada umatnya agar Islam diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berpolitik, memilih pemimpin, bahkan bernegara. Politik Islam tidak pernah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, apalagi sampai harus berdusta. Hal ini karena Allah Swt. memerintahkan kaum muslim menegakkan negara dan memilih pemimpin semata-mata untuk menerapkan aturan berdasarkan hukum-hukum Islam. Sehingga, haram bagi umat Islam untuk memilih seorang kafir untuk dijadikan pemimpin. Sebab ia tidak mungkin menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.

Secara umum, pemerintahan adalah kekuasaan untuk menerapkan aturan-aturan yang diwajibkan oleh syariat kepada umat Islam dan digunakan untuk mencegah kelaliman, serta menyelesaikan perselisihan. Dengan demikian, pemerintahan adalah bentuk nyata dari upaya mengurusi kepentingan umat.

Untuk itu, sifat-sifat yang diutamakan bagi seorang pemimpin adalah kekuatan, ketakwaan, kebaikannya terhadap warga negara, serta tidak bersikap menakutkan. Seorang pemimpin harus kuat sebab orang yang lemah tidak pantas menjadi pemimpin. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan kepribadian, yaitu pola pikir dan pola jiwanya harus menyatu dengan kepemimpinannya. Sifat itulah yang membuat seorang pemimpin dapat memahami berbagai masalah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kenegaraan.

Nafsiyah (kepribadian) seorang pemimpin harus terpadu dengan kepemimpinannya agar ia dapat mengendalikan kecenderungannya (muyul). Karena itu, seorang pemimpin harus memiliki kualitas yang mampu menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh buruk yang bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, ia harus memiliki ketakwaan, baik secara pribadi maupun dalam hubungannya dengan tugas mengurus umat.

Bila seorang pemimpin memiliki ketakwaan, maka ia akan merasa selalu diawasi Allah Swt. (muraqabah) baik dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan. Dengan adanya iman dan takwa tersebut diharapkan ia akan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Otomatis seorang pemimpin tersebut secara zahir akan terlihat saleh, misalnya melaksanakan salat dan mewajibkan istrinya untuk berhijab.

Islam tak pernah terpisahkan dari urusan politik. Sebagaimana Rasulullah pernah menolak tawaran Suku Quraisy saat diminta untuk menjadi pemimpin mereka karena saat itu Makkah masih menerapkan sistem kufur. Rasulullah lebih memilih untuk melanjutkan dakwahnya demi penerapan Islam kaffah. Hingga Allah Swt. memperkenankan Islam tegak di Madinah.

Untuk itu, umat Islam seharusnya mempunyai agenda sendiri menuju kebangkitan hakiki, yakni dengan meneladani Rasulullah saw. melalui dakwah. Dengan begitu, umat akan memahami Islam dengan benar, menyadari kerusakan sistem sekularisme, dan tidak terjebak pada pemikiran yang salah. Alhasil, umat tidak lagi ikut-ikutan membela dan mendukung mati-matian capres tertentu, apalagi sampai harus menyerang capres lain. Sebab semua itu hanya akan menimbulkan kekecewaan, baik karena kekalahan maupun pengkhianatan. Sebaliknya, umat Islam harus menguatkan ikatan akidah dan ukhuwah agar tidak mudah diadu domba maupun terpecah-belah oleh musuh-musuh Islam.

Khatimah

Seharusnya kita sadar bahwa dalam sistem sekularisme, Islam hanya dijadikan sebagai objek permainan oleh para elite politik. Ironisnya, sistem sekularisme dibiarkan mengatur negeri ini, sedangkan syariat Islam dilarang dan didiskriminasi. Padahal, umat Islam merupakan mayoritas (87,8%) di negara ini. Di bawah demokrasi, mereka menghalalkan segala cara, melakukan pembodohan dengan berdusta membawa-bawa atribut dan syariat Islam hanya untuk memenangkan pertarungan politik.
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Akan datang kepada kalian tahun-tahun penuh tipu daya; orang-orang akan memercayai kebohongan dan mendustakan kebenaran. Mereka memercayai para pengkhianat dan tidak memercayai para pembawa kebenaran. Pada masa itu, ruwaibidhah akan berbicara. Mereka bertanya, ‘Lalu apa itu ruwaibidhah?’ Rasulullah berkata, ‘Ruwaibidhah adalah orang-orang bodoh, (yang berbicara) tentang urusan umat.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Wallahu a’lam bishawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Jangan Begitu, Karena Kamu
Next
Teknik Jitu Membuat Opini Bermutu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Reva Lina
Reva Lina
1 year ago

Itulah pentingnya memilih pemimpin yang baik, karena sejatinya pemimpin yang paham Islam akan menjadikan negeri yang bermutu dan berkualitas. Karena ketika kita salah memilih pemimpin, sistem sekularisme, Islam hanya dijadikan sebagai objek permainan oleh para elite politik.

Wd Mila
Wd Mila
Reply to  Reva Lina
1 year ago

Benar Mba Reva.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram