”Tingginya tingkat serangan dan kekerasan kepada jurnalis, baik secara fisik, verbal, maupun digital menjadi indikator bahwa jurnalis Indonesia memang berada dalam lingkungan yang tidak aman.”
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Mei identik dengan bulan kebebasan pers. Tepatnya setiap tanggal 3 Mei, dunia memperingatinya sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day). Peringatan tahunan ini diadakan untuk merayakan prinsip-prinsip kebebasan pers bagi seluruh jurnalis di dunia dan ajang evaluasi tingkat kebebasan pers. Tahun ini, peringatan Hari Pers Sedunia fokus menyorot kebebasan berekspresi sebagai pendorong utama bagi seluruh hak asasi manusia lainnya.
Pers akan terus eksis bila jurnalis mendapat jaminan penuh atas kebebasannya berekspresi. Sebaliknya, pers akan mati, kebenaran akan terkubur, dan rakyat mengalami stagnasi informasi bila jurnalis dikekang kebebasannya dalam mencari informasi, data, dan fakta. Demikian yang diyakini dunia hari ini.
Dikutip dari VOAIndonesia.com (03/05/2023), dari daftar indeks kebebasan pers dunia 2023, Indonesia berada di peringkat 108 dari 180 negara yang disurvei oleh lembaga nirlaba Reporters Without Borders (RSF). Angka ini menunjukkan Indonesia masih belum memiliki kebebasan pers seperti yang diharapkan. Kondisi jurnalis Indonesia masih ada dalam situasi sulit dengan menjadikannya sebagai target pembungkaman. Demikian yang diungkap oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ika Ningtyas. Dalam catatan AJI, pada akhir tahun 2022 terdapat 67 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Ironisnya lagi, sebagian besar kasus-kasus kekerasan pada jurnalis menjadi impunitas karena kasusnya tidak diungkap atau pelakunya tidak ditangkap. Padahal, seharusnya pers bisa dengan mudah merilis data korban kekerasan sekaligus pelakunya.
Karut-marut Regulasi dan Keberadaan Dewan Pers
Tingginya tingkat serangan dan kekerasan kepada jurnalis, baik secara fisik, verbal, maupun digital menjadi indikator bahwa jurnalis Indonesia memang berada dalam lingkungan yang tidak aman. Sejatinya, keberadaan Undang-Undang Pers Nomor 40 yang disahkan pada tahun 1999 dapat mengatasi seluruh persoalan yang muncul. Akan tetapi, 24 tahun berlalu, undang-undang itu tidak mampu sepenuhnya melindungi jurnalis dari serangan kekerasan saat menjalankan aktivitas jurnalistiknya.
Dalam siaran persnya tertanggal 03 Mei 2023, AJI menyebutkan bahwa kemunduran dalam kebebasan pers semakin memprihatinkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan ITE, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat, UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP sampai Undang-Undang Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja. Seluruh regulasi itu menjadi ancaman bagi para jurnalis sebab tidak mendukung kebebasan pers.
Hingga kini, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih menjadi aturan yang berbahaya bagi jurnalis media daring. Dalam catatan AJI, sejak adanya UU ITE, sedikitnya 38 orang jurnalis dilaporkan dengan pasal-pasal bermasalah. Empat orang di antaranya divonis bersalah oleh pengadilan dan dipenjara. Kondisi ini tentu harus diakhiri. (aji.or.id, 03/05/2023)
Demikian pula dengan Dewan Pers yang sejatinya dibentuk untuk menjamin kebebasan pers dan meningkatkan kualitas kehidupan pers. Keberadaannya masih belum sesuai harapan. Dewan Pers belum sepenuhnya independen dari campur tangan pihak lain, belum optimal melaksanakan dan mengkaji pengembangan kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab, belum utuh memberikan pengawasan pelaksanaan kode etik jurnalistik, belum total dalam memberi pertimbangan dan solusi atas pengaduan masyarakat berkaitan pemberitaan pers.
Kebebasan Pers Salah Satu Pilar Demokrasi
Dalam sistem demokrasi, cara pandang seseorang atas dunia dan bagaimana ia bertindak didasarkan oleh fakta dan informasi yang didapatnya. Di dalam sistem ini, fakta dan informasi dijadikan sebagai sumber hukum dan pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat, keberadaannya sangat fundamental. Ia seperti ruh. Tanpa adanya jaminan keberlangsungan kebebasan ini, maka demokrasi akan mati.
Kebebasan pers juga berguna sebagai kontrol sosial bagi lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Fungsi kontrol ini yang membuat posisi mereka berbahaya saat melakukan tugas jurnalistik, seperti pembatasan liputan, akses informasi dipersulit, bahkan kekerasan fisik. Bagaimana tidak, masyarakat sipil dan pers yang berhasil menjalankan fungsi kontrolnya pada pemerintah, bisa sukses menggagalkan kebijakan sewenang-wenang, korupsi, drama politik demi memuluskan kejahatan tertentu, dan sederet kejahatan lainnya.
Kondisi ideal ini tentu tidak disukai oleh pihak yang dikontrol dan oligarki sebab membahayakan posisi mereka. Selain itu, sudah bukan rahasia lagi bila antara keduanya terdapat simbiosis mutualisme. Pihak yang dikontrol berhasil menduduki jabatannya sebab didukung oleh para oligarki. Sedangkan para oligarki tetap bisa menjalankan bisnisnya atas jaminan orang-orang yang telah didukungnya.
Oleh sebab itu, pemerintah akan merangkul insan pers lebih erat guna memberi arahan mana informasi dan berita yang boleh disebar, mana yang harus ditutup. Begitu pula dengan para oligarki. Sebagai pemilik modal, mereka tidak segan menguasai pers dengan kucuran dana yang sangat besar demi keberlangsungan bisnis-bisnis mereka. Di sinilah idealisme para jurnalis diuji. Apakah mereka akan terus menjalankan fungsi kontrolnya dan menjadi pahlawan rakyat ataukah menjadi alat legislasi seluruh kebijakan yang ada? Apakah mereka ingin hidupnya terjamin keamanan dan kenyamanannya di bawah kuasa pemerintah dan oligarki ataukah hidup di bawah ancaman dan tekanan sebab pembelaannya pada rakyat?
Di negeri ini, bukan hal yang asing bila pemilik media sekaligus sebagai politisi. Sebagai contohnya adalah Media Indonesia Grup yang dimiliki oleh Surya Paloh, ketua Partai Nasional Demokrat. Ada juga MNC Grup milik Hary Tanoesoedibyo, Ketua Perindo. Kondisi ini menjadikan pers sebagai alat politik demi menduduki jabatan politik tertentu. Sampai di sini, kebebasan pers tidak ubahnya pepesan kosong.
Pers dalam Islam
Sistem demokrasi yang didasari asas pemisahan agama dari kehidupan tentu sangat bertentangan dengan Islam. Di dalam sistem pemerintahan Islam ada Departemen Penerangan yang tugasnya mengatur informasi di tengah-tengah masyarakat. Merujuk kitab Struktur Daulah, karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani tentang Depertemen Penerangan, disebutkan bahwa departemen ini mengatur strategi informasi yang spesifik untuk memaparkan Islam dengan pemaparan yang kuat dan membekas. Tujuannya agar dapat menggerakkan akal manusia dan mengarahkan pandangannya kepada Islam. Artinya, di dalam Khilafah tidak ada tempat bagi pemikiran-pemikiran yang rusak dan merusak, tidak ada juga tempat bagi berbagai pengetahuan yang sesat dan menyesatkan. Khilafah akan membersihkan keburukan berbagai pemikiran dan pengetahuan, lalu akan memberikan dan menjelaskan pemikiran dan pengetahuan yang benar berdasarkan akidah Islam. Dengan strategi seperti ini, keagungan dan kemuliaan Islam akan tersampaikan secara terang-benderang.
Pers dalam Islam boleh dimiliki oleh individu dan tidak perlu mendapatkan izin khusus, tetapi hanya pemberitahuan kepada Departemen Penerangan. Media informasi individu atau swasta ini akan menjadi amplifier seluruh kebijakan Khilafah dalam usahanya membentuk masyarakat Islami. Mereka bisa membuat acara diskusi pemikiran Islam, kajian keislaman, belajar bahasa Arab, dan sebagainya. Jadi, keberadaan pers yang menjadi milik individu ini diberi kebebasan memilih konten dengan syarat tidak melanggar syariat, seperti mengabarkan berita bohong. Ancaman Allah Swt. sangat tegas dalam hal ini. Allah Swt. telah berfirman di dalam surah An-Nur ayat 11.
اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْۗ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golonganmu juga. Janganlah kalian mengira bahwa berita bohong itu buruk, tetapi ia adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang dikerjakan. Dan siapa pun di antara mereka yang mengambil bagian paling besar dalam menyiarkan berita bohong itu baginya azab yang besar pula.”
Jika suatu saat ditemukan adanya penyimpangan terhadap syariat Islam, maka pemilik media akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana individu rakyat secara keseluruhan.
Khatimah
Demikianlah pers di dalam sistem demokrasi dan Islam. Pers Islam tujuannya sangat mulia, yaitu menjadi media dakwah agar umat senantiasa tertunjuki pada kebenaran Islam dan selamat dunia akhirat. Khilafah melindungi para jurnalis karena mereka terdepan dalam menyampaikan kebenaran informasi dan berita. Hidupnya pun dijamin aman dan sejahtera sebab seluruh sistem pemerintahan Islam berjalan sesuai aturan Allah Swt.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.[]