"Dari sini jelaslah, mengapa jalanan di Indonesia mudah rusak? Karena dari awal pembangunannya penuh dengan kecurangan demi mengeruk keuntungan pribadi. Sistem materialistis yang membentuk individu pejabat matre, kebijakan yang tak mumpuni membuka peluang korupsi di setiap lini."
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bima Yudho Saputro, seorang konten kreator asal Kabupaten Lampung Timur membuat provinsi Lampung viral di jagat maya setelah mengkritik pembangunan daerah asalnya di akun TikTok. Bima secara terang-terangan menyebut Lampung tak kunjung maju karena banyaknya ruas jalan yang rusak.
Kerusakan jalan di Lampung memang tergolong parah, meski bukan daerah yang paling banyak mempunyai jalanan yang rusak. Kerusakannya masih di bawah beberapa provinsi lain seperti Papua, Kalimantan Selatan, Riau, NTB, Papua Barat, dan beberapa provinsi lainnya. Kerusakan jalan yang paling parah terjadi pada jalan kabupaten yang perbaikannya merupakan wewenang pemerintah kabupaten atau pemerintah kota. Dengan total jalan kabupaten dengan status rusak berat mencapai 17,77 %, 27,06 % dengan status kerusakan ringan, kondisi sedang 21,36 %, dan 33,8 % sisanya dalam kondisi yang lumayan baik.
Dengan meratanya kerusakan jalan di negeri ini, maka pantaslah ada pertanyaan mengapa jalanan di Indonesia seakan begitu mudah rusak? Bahkan ada beberapa kasus kerusakan terjadi beberapa hari setelah pengecoran dan pengaspalan.
Menurut Pengamat Transportasi sekaligus Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, ada tiga faktor paling utama mengapa jalanan di Indonesia sangat mudah rusak, yaitu pertama, kontraktor pemenang lelang mengerjakan proyek dengan spesifikasi serta materi di bawah standar. Kedua, masih banyaknya truk dengan muatan dan dimensi yang berlebih alias (over dimension and over load/ODOL). Ketiga, tiadanya saluran irigasi yang baik di samping jalan yang dibangun, sehingga jalanan mudah rusak tergerus aliran air. Selain itu juga adanya return fee yang dipraktikkan di Indonesia.
Seakan telah menjadi ciri khas dari sistem kapitalisme, bahwa keuntungan harus didapat sebesar-besarnya meski merugikan negara maupun masyarakat luas. Seolah-olah proyek pembangunan merupakan bancakan yang harus dibagi dan dinikmati penguasa bersama pengusaha, sedang rakyat hanya mendapat sisa. Begitulah adanya return fee atau cashback merupakan praktik pemberian honor tambahan dari kontraktor pelaksana pemenang lelang kepada konsultan pengawas. Sekitar 10-15% dari total anggaran yang bahkan tidak seluruhnya digunakan untuk pembangunan atau pemeliharaan jalan dan irigasi. Dan di Indonesia masih sangat sulit untuk menghilangkan praktik ini.
Konsultan pengawas sendiri adalah pihak yang ditunjuk pemerintah (sebagai pemilik proyek), yang bertugas mengawasi jalannya proyek yang dikerjakan oleh kontraktor pemenang tender, melapor kepada pemerintah, mengelola administrasi, hingga mengawasi semua material konstruksi yang digunakan oleh kontraktor supaya sesuai spesifikasi yang disyaratkan. "Konsultan pengawas bertugas membantu pemerintah untuk mengawasi proyek yang sedang dikerjakan, namun kenyataan di lapangan malah bersekutu dengan kontraktor untuk memuluskan tagihan," ujar Djoko. (Kompas.com, 8/5/2023)
Dari sini jelaslah, mengapa jalanan di Indonesia mudah rusak? Karena dari awal pembangunannya penuh dengan kecurangan demi mengeruk keuntungan pribadi. Sistem materialistis yang membentuk individu pejabat matre, kebijakan yang tak mumpuni membuka peluang korupsi di setiap lini. Maka, tak heran jika infrastruktur termasuk jalan-jalan di Indonesia mudah rusak karena dibangun dari dana sisa, dengan material di bawah standar mengakibatkan jalanan mudah hancur. Sehingga transportasi terganggu, laju perekonomian tak lancar, menyebabkan kesejahteraan masyarakat pun hanya impian. Tak hanya itu bahkan kasus kecelakaan yang tak terhitung dan terus berulang tanpa solusi, dikarenakan jalan yang tak layak dan tak aman.
Bagaimana Infrastruktur dalam Peradaban Islam?
Kondisi saat ini jika dibandingkan dengan pembangunan di Era Islam bisa dikatakan bagaikan langit dan bumi. Peradaban Islam telah mengukir sejarah gemilang dalam pembangunan. Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa pada masa kekhilafahan akan sangat jauh perbedaannya. Jika di masa sekarang London, Paris, Milan, adalah metropolis dunia, maka pada masa kejayaan Islam, kota-kota tersebut hanyalah kota kumuh dengan jalanan becek dan penuh lumpur saat hujan turun. Sangat kontras dengan Baghdad di Irak dan Cordoba di Spanyol.
Pada masa kejayaannya, sungguh Islam pernah menempati posisi yang sangat istimewa di mata dunia. Semua lawan maupun kawan memandang Islam penuh dengan ketundukan dan kekaguman. Itulah masa di mana kejayaan Islam ada dengan kekhilafahannya. Tak jarang raja-raja Eropa yang tunduk dan mengakui keagungan, kewibawaan, serta kesejahteraan yang dibawa oleh peradaban Islam. Seperti Raja Spanyol Kristen, Ardoun Alfonso, saat mengunjungi Khalifah Al-Mustansir pada tahun 351 H. Dikisahkan dia beberapa kali merendahkan dirinya dengan bersujud sepajang jalan hingga tiba di hadapan sang khalifah untuk mencium tangannya.
Salah satu bentuk kesejahteraan pada peradaban Islam adalah dalam hal infrastruktur. Hal ini dapat dilihat bagaimana tata ruang kota-kota besarnya, yang sangat berbanding terbalik dengan kota-kota Eropa pada masanya. Jalanan yang telah beraspal, kota-kota yang dikelilingi dengan taman-taman nan hijau, lampu-lampu yang menyinari sepanjang jalan sehingga aman bagi pejalan kaki di malam hari, sanitasi kota yang baik, dan lain-lain.
Philip K Hitti, sejarawan Barat, dalam bukunya History of Arab yang masyhur, menggambarkan jalan-jalan di dua kota metropolis Islam yaitu Baghdad dan Cordoba yang begitu licin berlapiskan aspal. Ia mengungkapkan, di Kota Cordoba yaitu pusat pemerintahan Islam di Andalusia atau Spanyol jalan yang bermil-mil panjangnya begitu mulus dan telah dilapisi aspal. "Seni membuat jalanan sungguh telah berkembang pesat di negeri-negeri Islam." Tak cuma itu, ia menambahkan pada malam harinya, jalan-jalan itu pun telah diterangi dengan lampu. "Di malam hari, masyarakat bisa berjalan-jalan dengan aman. Sementara di London dan Paris, siapa yang berjalan di waktu hujan pasti akan terperosok karena jalanan yang berlumpur,'' imbuhnya.
Sejurus dengan K Hitti, Stanley Lane-Poole, seorang orientalis dan arkeolog terkemuka Barat pun sangat mengagumi keunggulan pembangunan jalan di Cordoba. "Pada malam hari, Anda dapat menyusuri jalanan di Cordoba dan akan selalu ada lampu yang memandu perjalanan Anda" paparnya. Ini menunjukkan sebuah inovasi dan pencapaian yang begitu tinggi, yang bahkan belum terpikirkan oleh peradaban Barat kala itu. Barat baru mengenal pembangunan jalan yang dilapisi aspal pada sekitar tujuh abad setelah peradaban Islam di Spanyol menerapkannya.
Begitu pula Dr. Kasem Ajram dalam bukunya, The Miracle of Islam Science juga melukiskan pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi (jalan) yang dilakukan pada era kekhalifahan Islam. Ia mengungkapkan "Yang paling canggih adalah kondisi jalanan di Kota Baghdad, Irak, yang sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M." Sangat mengagumkan, pembangunan jalan beraspal di Kota Baghdad telah dimulai pada saat Khalifah Al-Mansur mendirikannya pada 762 M. Sementara negara-negara di Eropa baru memulai pembangunan jalan pada abad ke-18 M. Insinyur pertama Barat yaitu Jhon Metcalfe yang membangun jalan di Yorkshire, Inggris, sepanjang 180 mil pada 1717, baru membangun jalan dengan batu dan belum mengenal penggunaan aspal. Kali pertama peradaban Barat mengenal jalan aspal adalah pada 1824 M. Sedangkan kaum muslim sejak abad ke-8 M, telah mampu mengolah dan mengelola aspal.
Dalam sejarahnya, Rasulullah pun menaruh perhatian besar pada pembangunan infrastruktur. Pada masa beliau, dilakukan pembangunan serta pemeliharaan bangunan infrastruktur seperti sumur, jalan raya, pasar, pos, serta yang lainnya. Rasulullah pun melakukan pengaturan distribusi barang dan memperbaiki infrastruktur supaya arus barang berjalan normal. Rasulullah sangat memperhatikan pentingnya infrastruktur agar lalu lintas perdagangan berjalan lancar. Kebijakan ini diteruskan oleh Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al-Khattab yang membangun dua kota dagang, yaitu Basrah di Irak sebagai pintu masuk ke Romawi dan Kufah juga di Irak sebagai pintu masuk ke Persia. Khalifah Umar juga membangun kanal laut, yang memudahkan orang membawa gandum ke Kairo, Mesir, dan tak perlu naik unta. Dengan demikian biaya bisa ditekan. Dalam anggaran negara Islam, hampir sepertiganya untuk belanja infrastruktur. Dengan infrastruktur yang baik, maka peluang terjadinya inflasi dapat dikurangi.
Ketakwaan pemimpin pun menjadi penentu kebijakan, di mana ketakutan akan pertanggungjawaban kelak di akhirat kepada tuhannya menjadikan seorang pemimpin dalam Islam tak main-main dalam urusan melayani rakyatnya. Masih harum dalam sejarah, kisah Khalifah Umar bin Khattab yang menangis karena jalan berlubang di Irak. Beliau gelisah dan sedih setelah mendengar informasi dari ajudannya bahwa ada seekor keledai yang tergelincir kakinya dan jatuh ke jurang dikarenakan jalan yang rusak dan berlubang. Ucapan beliau yang terkenal terkait infrastruktur adalah, "Jika ada seekor keledai terperosok di Kota Baghdad disebabkan jalan yang rusak, sungguh aku khawatir akan ditanya oleh Allah, 'Mengapa kamu tidak meratakan jalanan?'"
Ucapan itu adalah bentuk ketakutan Khalifah Umar akan tanggung jawabnya kelak sebagai pemimpin rakyatnya di hadapan Allah. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadis riwayat Ibnu Asakir, Abu Nu’aim,"Seorang pemimpin adalah pelayan kaumnya.”
Sistem yang sahih akan melahirkan pemimpin dan pejabat yang bertakwa, yang memahami akan hakikat jabatannya. Sehingga akan melayani rakyatnya dengan tanggung jawab semata-mata mengharap rida Allah Subhanahu wa taala. Itulah sistem Islam. Tidakkah kita merindukannya?
Wallahu a'lam bish shawwab[]