”Sejatinya, negara berkembang hanya menjadi sumber pasokan bahan baku serta tenaga kerja yang murah, sekaligus sebagai pasar bagi produk mereka. Maka, kesetaraan ekonomi yang diserukan oleh Presiden Jokowi hanya akan menjadi ilusi dalam sistem ini.”
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pada tanggal 19-21 Mei 2023, berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 ke-49 di Hiroshima, Jepang. Dalam KTT tersebut dibahas berbagai permasalahan global. Di antaranya adalah masalah pangan, energi, perubahan iklim, dan lainnya.
Presiden Joko Widodo juga hadir dalam acara tersebut bersama Ibu Iriana atas undangan Presiden G7, Perdana Menteri Kishida. Dalam Sesi Kerja Mitra G7, Presiden Jokowi menyampaikan pesan dari global south atau negara-negara selatan. Isinya mendorong kesetaraan, inklusivitas, serta kolaborasi dalam kerja sama global. (Kemlu.go.id)
Negara Maju versus Negara Berkembang
Pasca-Perang Dunia II, negara-negara di dunia dipetakan menjadi kelompok negara maju (global north) dan negara berkembang (global south). Kelompok negara maju adalah negara-negara yang memiliki pendapatan nasional tinggi. Yakni, lebih dari 11.906 USD per tahun.
Di samping itu, nilai ekspornya juga lebih tinggi dibandingkan dengan nilai impor. Mereka juga dapat memenuhi kebutuhannya tanpa bergantung kepada pihak luar. Fasilitas kesehatan dan jaminan keamanan di negara maju juga bagus. Sebab, negara-negara ini menguasai sains dan teknologi.
Group of Seven atau G7 merupakan forum dari negara-negara maju. Anggota G7 adalah AS, Britania Raya, Jerman, Jepang, Italia, Singapura, Kanada, dan Uni Eropa. Meskipun beranggotakan delapan negara, tetapi namanya tetap G7.
Sebaliknya, kelompok negara yang pendapatan nasionalnya antara 975-3.855 USD per tahun disebut sebagai negara berkembang. Negara-negara ini lebih banyak mengimpor daripada mengekspor. Karena itu, ketergantungan mereka terhadap luar negeri sangat besar. Misalnya, Indonesia, India, dan negara-negara di Asia serta Afrika.
Peta negara maju dan berkembang ini tidak akan banyak mengalami perubahan. Sistem kapitalis yang diterapkan saat ini, tidak akan memberi kesempatan kepada negara-negara berkembang untuk merebut posisi mereka. Maka, negara-negara berkembang akan selamanya terjajah oleh negara-negara maju.
Sebagian besar negara-negara berkembang ini merupakan negeri Islam. Jika negeri-negeri Islam ini berubah menjadi negara maju, tentu membahayakan mereka. Islam akan kembali jaya dan kapitalisme akan ambruk karenanya. Karena itulah, kondisi ini harus mereka pertahankan. Meskipun, atas izin Allah Swt., sistem ini akan ambruk dengan sendirinya, karena ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Selama ini, negara-negara berkembang hanya menjadi objek kepentingan negara-negara maju. Dari negara-negara berkembang inilah, mereka mendapatkan bahan baku yang murah. Negara-negara berkembang ini, memang kaya akan sumber daya alam, tetapi tidak mampu mengolah sendiri.
Jika pun mampu, mereka tetap tidak dapat mengolahnya sendiri, karena terhalang kesepakatan dengan negara-negara maju. Utang yang diberikan oleh negara maju untuk biaya pembangunan, membuat para pemimpin negara berkembang tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab, mereka harus mengikuti kesepakatan yang telah ditandatangani sebagai syarat untuk mendapatkan utang.
Forum Internasional sebagai Pengokoh Penjajahan
Berbagai forum yang dibuat sebenarnya hanya untuk mengokohkan penjajahan. Misalnya G20 (Group of Twenty) yang anggotanya terdiri dari negara maju dan negara berkembang. G20 merepresentasikan 60% populasi dunia. Di samping itu, 75% perdagangan global dan 80% PDB dunia terjadi di antara negara-negara anggota G20.
Karena itulah, negara-negara G7 berinisiatif merangkul negara-negara berkembang yang memiliki populasi besar serta kaya dengan sumber daya alam. Dengan alasan mengatasi krisis global, negara-negara berkembang ini diajak membentuk forum G20.
Seperti yang terjadi pada KTT G20 tahun 2022 lalu. Saat itu, anggota G20 sepakat untuk berinvestasi di negara yang berpenghasilan rendah. Tentu saja yang berinvestasi adalah negara yang memiliki banyak modal atau kapital. Investasi yang dimaksud, tentu bukan investasi yang menguntungkan dua belah pihak seperti syirkah mudarabah.
Berdasarkan fakta yang ada, investasi itu biasanya berupa utang riba. Hal ini tentu sangat memberatkan. Di samping itu, pemberian pinjaman itu akan disertai dengan syarat-syarat yang merugikan peminjam. Dengan cara seperti inilah, negara-negara maju itu mengendalikan negara-negara berkembang untuk melanggengkan dominasi mereka.
Demikian pula dengan KTT G7 kali ini. Kehadiran Indonesia di forum ini hanyalah sebagai pemanis. Negara-negara maju ini hanya melakukan lip service. Sebab, betapa pun negara-negara yang tergabung dalam G7 merupakan negara kapitalis. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari setiap aktivitas mereka. Tidak ada aktivitas kebaikan yang benar-benar murni dari hati. Semua dalam rangka mendapatkan keuntungan.
Negara-negara maju ini tidak benar-benar menganggap negara berkembang sebagai mitra yang sejajar. Sejatinya, negara berkembang hanya menjadi sumber pasokan bahan baku serta tenaga kerja yang murah, sekaligus sebagai pasar bagi produk mereka. Maka, kesetaraan ekonomi yang diserukan oleh Presiden Jokowi hanya akan menjadi ilusi dalam sistem ini.
Kesetaraan Ekonomi Hanya Dapat Diraih dengan Islam
Islam adalah agama yang sempurna. Tidak ada satu persoalan pun yang luput dari pengaturannya. Semua aturan itu dibuat agar manusia mendapatkan kehidupan yang terbaik, sesuai dengan fitrah mereka.
Salah satu persoalan yang diatur oleh Islam adalah persoalan ekonomi. Pengaturan masalah ekonomi ini berkaitan dengan politik yang diadopsi oleh negara. Karena itu, sistem pemerintahan Islam akan mengadopsi politik ekonomi Islam.
Politik ekonomi Islam memberikan jaminan kepada setiap individu yang menjadi anggota masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka. Di samping itu juga memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder serta tersier sesuai kemampuan mereka. Politik ekonomi Islam akan menciptakan negara yang mandiri secara ekonomi. Di samping itu, akan mewujudkan tatanan ekonomi dunia yang stabil dan produktif.
Tatanan ekonomi yang stabil dan produktif ini akan terwujud melalui beberapa langkah berikut. Pertama, menolak utang luar negeri yang berbasis riba. Utang luar negeri tidak boleh dijadikan sebagai sumber pendapatan negara. Sebab, utang seperti ini dapat dijadikan sebagai alat penjajahan oleh pihak pemberi utang.
Kedua, menciptakan ketahanan pangan dengan cara meningkatkan produktivitas tanah. Dengan demikian, tidak ada tanah yang terbengkalai. Setiap jengkal tanah ditanami dengan berbagai tanaman yang dibutuhkan oleh masyarakat. Misalnya, padi, jagung, kedelai, dan sebagainya.
Di samping itu juga memanfaatkan setiap barang atau lahan yang termasuk dalam kepemilikan umum dan negara. Misalnya dengan meningkatkan hasil laut, hutan, gunung, dan lainnya. Demikian pula dengan bahan tambang seperti minyak bumi, gas alam, emas, batu bara, dan sebagainya. Semua harus dikelola sendiri agar tidak bergantung kepada pihak luar.
Ketiga, mengatur ekspor dan impor agar tidak merugikan negara. Negara akan mengekspor barang, jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi. Demikian pula, negara tidak akan melakukan ekspor barang-barang yang bersifat strategis. Yakni, barang-barang yang dapat memperkuat musuh kaum muslimin. Sebab, hal itu dapat dikategorikan sebagai tolong- menolong dalam perbuatan dosa. Padahal, Allah Swt. telah melarang hal ini melalui firman-Nya dalam surah Al-Maidah [5]: 2,
"… Dan janganlah kalian tolong menolong atas perbuatan dosa dan permusuhan."
Keempat, meningkatkan kegiatan ekonomi di sektor riil. Misalnya, dalam perdagangan, pertanian, industri, dan jasa. Dengan cara ini, terjadi perputaran uang di tengah-tengah masyarakat. Tidak seperti dalam sistem kapitalis yang berbasis riba. Sistem ini membuat perputaran uang berjalan lambat. Sebab, orang-orang kaya lebih suka menyimpan uangnya di bank untuk mendapatkan bunganya.
Kelima, menciptakan mekanisme pasar internasional yang adil. Di samping itu, tidak mengikuti arahan asing. Negara hanya akan melakukan kerja sama dengan pihak luar jika mereka tidak memusuhi kaum muslimin.
Keenam, menetapkan dinar dan dirham sebagai alat tukar. Sebab, dinar dan dirham merupakan alat tukar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. Di samping itu, alat tukar berbahan emas dan perak ini terbukti tahan banting sehingga akan terjaga nilainya.
Melalui beberapa langkah inilah, akan tercipta kesetaraan ekonomi. Yaitu, suatu kondisi yang memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh masyarakat dunia. Semua berkesempatan untuk meraih kesejahteraan. Namun, hal ini hanya dapat terwujud melalui penerapan Islam secara kaffah.
Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.[]