"Karena tujuan di balik pembukaan pasar bagi investor asing sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyelesaian permasalahan ekonomi rakyat, dan tidak mengupayakan kepentingan rakyat. Semata-mata hanya demi memperkuat dominasi kapitalis."
Oleh. Hesti Andyra
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Investasi di Indonesia bermula pada masa kolonial. Bersamaan dengan penetapan Undang-Undang Agraria Tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda membuka keran investasi asing di bidang perkebunan, demi memenuhi kebutuhan produksi karet untuk berbagai industri. Investasi ini kemudian berkembang di bidang lainnya, yaitu pertambangan dan perbankan. Nilai total investasi yang diterima pemerintah pada tahun 1930 mencapai Rp4 miliar gulden, atau setara Rp32.640.894.016. (historia.id, 28/07/2015)
Namun, PMA (Penanaman Modal Asing) ini sempat terhenti setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Sukarno, Presiden Pertama RI, menjalankan pemerintahan dengan menutup investasi asing untuk menghindari campur tangan pihak luar dalam penyelenggaraan negara. Ironisnya, setelah lengsernya beliau, kebijakan tersebut tidak dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Presiden Suharto.
Pada tahun 1967, Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA No 1/1967) menjadi lampu hijau bagi Freeport Sulphur Incorporated sebagai perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah Indonesia, untuk mengeksplorasi emas dan tembaga di wilayah Irian Jaya. UU PMA adalah instrumen hukum yang diciptakan oleh pemerintah Suharto untuk menarik modal asing demi stabilitas ekonomi nasional.
Manfaat dan Ironi Investasi Asing
Dilansir dari situs store.sirclo.com (23/12/22), masuknya investasi asing ke Indonesia memiliki dua manfaat utama, yaitu;
- Membantu mendanai berbagai sektor yang kekurangan dana. Investasi asing diharapkan banyak membuka lapangan kerja baru yang dapat mengurangi tingkat pengangguran.
- Masuknya investasi asing biasanya juga disertai dengan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. PMA diharapkan meningkatkan kompetensi tenaga kerja lokal dengan membawa pengetahuan dan teknologi baru ke Indonesia.
Kedua manfaat tersebut tampak sempurna di atas kertas. Faktanya, baru-baru ini Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengakui investasi yang masuk ke Indonesia tidak sebanding dengan penciptaan dan penyerapan lapangan kerja. (cnn.indonesia.com, 29/04/2023)
Sungguh sebuah kenyataan yang ironis. Dengan iming-iming sumber daya alam, tenaga kerja murah, pengurangan pajak, dan berbagai fasilitas lain demi menarik pemodal asing, nyatanya tidak serta-merta membuat masyarakat menjadi lebih sejahtera. Alih-alih tersedia dalam jumlah besar, lapangan pekerjaan justru semakin sulit diperoleh, lantaran beberapa negara penanam modal juga membawa tenaga kerja dari negaranya sendiri.
Investasi asing yang digadang-gadang untuk meningkatkan perekonomian negara nyatanya menjerat Indonesia dalam berbagai persyaratan serta menyandera kedaulatan.
Pemerintah juga berdalih investasi yang masuk di Indonesia saat ini hampir semuanya high technology, bukan lagi padat karya yang membutuhkan banyak pekerja. Sungguh miris, nasib rakyat ibarat peribahasa “tikus mati di lumbung padi.” Rakyat sampai harus mengais rejeki di luar negeri dengan menjadi TKA (Tenaga Kerja Asing) yang rawan eksploitasi, minim perlindungan hukum, dan bergaji rendah.
Para penguasa beserta kroni-kroninya bersikeras bahwa pembukaan pasar bagi investor asing merupakan kepentingan politis dalam rangka memasuki abad 21, serta menjadi kebutuhan mutlak ekonomi untuk pengembangan pasar sekaligus solusi tepat bagi pembukaan lapangan kerja untuk buruh yang menganggur. Sayang, hasilnya ternyata bertolak belakang. Karena tujuan di balik pembukaan pasar bagi investor asing sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyelesaian permasalahan ekonomi rakyat, dan tidak mengupayakan kepentingan rakyat. Semata-mata hanya demi memperkuat dominasi kapitalis.
Investasi Asing dalam Pandangan Islam
Negara yang menerapkan syariat Islam, memfungsikan pemerintah sebagai perisai bagi umat. Dengan demikian, negara wajib mengupayakan yang terbaik bagi umatnya. Demi mencukupi kebutuhan umat, negara akan memaksimalkan pendapatan dari berbagai pos, yaitu; zakat, ganimah, fai, kharaj, dan jizyah.
Negara akan menjauhkan diri dari mengambil pinjaman asing, terutama dalam bentuk utang jangka pendek ataupun jangka panjang. Negara akan sangat berhati-hati sebab utang bisa menimbulkan kekacauan pada pasar mata uang, dan sering kali juga menyebabkan merosotnya nilai tukar uang.
Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah menyatakan bahwa pinjaman dari negara-negara asing ataupun lembaga-lembaga keuangan internasional tidak diperbolehkan oleh hukum syarak. Karena, umumnya pinjaman tersebut selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Sejumlah syarat inilah yang dikhawatirkan akan menjadikan para pemodal ini berkuasa atas negeri kaum muslim. Menancapkan kuku dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam negeri muslim.
Sejatinya, semua perkara yang menyebabkan adanya cengkeraman dominasi kafir terhadap kaum muslimin haram secara syar’i, berdasarkan firman Allah Swt., “… dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir (untuk mengalahkan) orang-orang yang beriman.” (TQS. An-Nisa: 141)
Sesungguhnya upaya membuka Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan bagian tak terpisahkan dari konspirasi untuk menguras kekayaan negeri-negeri kaum muslimin. Dengan demikian, untuk melindungi umat dari eksploitasi kapitalis, umat membutuhkan negara yang menerapkan syariat Islam untuk menyelesaikan seluruh problematika umat. Sehingga Allah Swt. menurunkan rahmat-Nya dan umat akan mencapai kelapangan ekonomi, ketenteraman, dan keamanan.
Maka menjadi kewajiban kitalah untuk mengupayakan tegaknya syariat. Sebagaimana firman Allah Swt., “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyeru kamu untuk sesuatu yang memberi kehidupan.” (TQS. Al-Anfal: 24)
Wallahu a'lam bish-shawwab[]