Dedolarisasi dan Masa Depan Dinar dan Dirham

”Faktor lain yang memicu dedolarisasi adalah arogansi Amerika Serikat. Negara yang memosisikan dirinya sebagai polisi dunia itu selalu menggunakan kekuatan ekonominya untuk memaksa negara lain mengikuti kehendaknya. “

Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Warren Buffett, seorang investor ternama dari Amerika Serikat menyatakan bahwa tidak ada mata uang lain yang dapat menggantikan dolar AS sebagai mata uang cadangan. Pernyataan ini disampaikan oleh pemegang saham terbesar di Berkshire Hathaway ini menanggapi maraknya dedolarisasi akhir-akhir ini. (cnbcindonesia.com, 8/5/2023)

Apa yang dimaksud dengan dedolarisasi? Mengapa hal itu terjadi? Bagaimana peluang dinar dan dirham dalam menggantikan posisi dolar?

Penyebab Dedolarisasi dan Dampaknya

Sejak ditandatanganinya Perjanjian Bretton Woods pada tahun 1944, negara-negara di dunia menjadikan dolar Amerika Serikat sebagai cadangan devisa. Negeri Paman Sam yang saat itu memiliki cadangan emas terbesar di dunia menyandarkan mata uangnya ke emas. Maka, negara-negara lain yang cadangan emasnya menipis, menjadikan dolar AS sebagai cadangan.

Dijadikannya dolar AS sebagai cadangan devisa, membuat kondisi ekonomi AS berpengaruh terhadap ekonomi dunia. Penerapan sistem ekonomi kapitalis yang senantiasa menyebabkan berulangnya inflasi membuat perekonomian negara-negara di dunia pun terimbas. Hal ini diperparah dengan pandemi Covid-19.

Inilah yang menyebabkan terpuruknya ekonomi AS dalam beberapa tahun terakhir. Negara itu mengalami defisit neraca pembayaran. Hal ini membuat AS tidak memiliki uang. Akibatnya, AS diperkirakan akan gagal bayar utang pada 1 Juni mendatang.

Ambruknya ekonomi Amerika Serikat, akan mempengaruhi dunia. Situasi yang tidak menentu ini mendorong negara-negara yang selama ini menjadikan dolar sebagai cadangan devisa, mencari alternatif lain. Mereka kemudian mulai meninggalkan dolar AS dalam transaksi perdagangan luar negerinya. Inilah yang memicu terjadinya dedolarisasi.

Faktor lain yang memicu dedolarisasi adalah arogansi Amerika Serikat. Negara yang memosisikan dirinya sebagai polisi dunia itu selalu menggunakan kekuatan ekonominya untuk memaksa negara lain mengikuti kehendaknya. Meskipun dolar tidak lagi disandarkan pada emas sejak tahun 1971 oleh Presiden Richard Nixon, negara-negara lain tetap menjadikan dolar sebagai cadangan devisa. Hal ini memudahkan Amerika Serikat untuk menekan negara-negara tersebut.

Amerika Serikat akan memberikan sanksi ekonomi kepada siapa saja yang menentangnya. Sanksi itu dapat berupa embargo ekonomi, pembekuan aset, larangan transaksi perdagangan atau keuangan, hingga larangan pemberian visa. Iran termasuk salah satu negara yang pernah mendapatkan sanksi ekonomi pada tahun 2018. Sanksi itu diberikan karena AS hendak memaksa Iran untuk mengubah pemerintahannya yang dikuasai para mullah. Akibat sanksi itu, Iran mengurangi penggunaan dolar dan beralih ke euro dan mata uang nasional.

Terakhir, AS menjatuhkan sanksi ke Rusia untuk memaksa Rusia menghentikan perang melawan Ukraina. Bersama dengan sekutunya, AS membekukan aset Rusia yang tersimpan di luar negeri. Namun, kali ini AS terkena batunya.

Rusia pun membalas sanksi itu dengan meninggalkan dolar AS dalam transaksinya dan beralih ke yuan. Bersama dengan Brasil, India, Cina, dan Afrika Selatan, yang tergabung dalam BRICS, Rusia bahkan dikabarkan akan membuat mata uang baru. Hal ini menyebabkan turunnya pangsa pasar dolar AS secara cepat. Pada tahun 2001, pangsa pasar dolar di cadangan devisa masih 70%. Pada tahun 2021, pangsa pasar dolar AS mencapai 55%. Namun, pada tahun 2022, hanya mencapai 47%.

Indonesia juga telah melakukan hal yang sama. Bersama dengan negara-negara ASEAN+3 (Jepang, Korea Selatan, dan Cina), diperoleh kesepakatan untuk meningkatkan penggunaan LCS (Local Currency Settlement). LCS merupakan penyelesaian transaksi dengan menggunakan mata uang lokal.

Sejak tahun 2018, Indonesia telah menggunakan mata uang lokal saat melakukan transaksi bilateral dengan Thailand dan Malaysia. Hal yang sama juga dilakukan Indonesia bersama Jepang dan Cina pada tahun 2021. Pada tahun 2023 ini, Indonesia juga telah melakukan kesepakatan dengan Korea Selatan (Cnbcindonesia.com, 6/5/2023).

Ketergantungan terhadap mata uang tertentu memang dapat meningkatkan kerentanan serta meningkatkan risiko stabilitas keuangan. Melalui dedolarisasi ini, ketergantungan Indonesia terhadap mata uang dolar Amerika Serikat akan dapat dikurangi. Di samping itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan lebih stabil. Hal ini seperti diungkapkan oleh Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata.

Bagaimana dampak dedolarisasi terhadap AS? Menurut Monica Crowley, mantan pejabat Kementerian Keuangan AS, dedolarisasi akan membawa dampak buruk pada AS. Statusnya sebagai cadangan mata uang dunia akan berakhir. AS diperkirakan akan menghadapi risiko hiperinflasi yang luar biasa. Di samping itu, dominasi AS terhadap ekonomi global akan menghilang. Bahkan, negara itu akan kehilangan statusnya sebagai negara adidaya (Blockchainmedia.id, 29/3/2023).

Meskipun telah didukung oleh kekuatan militer, kehancuran sistem ekonomi kapitalis tak dapat dihindari. Perlahan tapi pasti, hal itu akan terjadi. Sistem ekonomi yang berbasis pada riba dan investasi nonriil ini memang sangat rapuh. Bahkan, lebih rapuh dari sarang laba-laba. Maka, akan muncul sistem ekonomi pengganti yang akan menguasai dunia.

Dinar dan Dirham, Mata Uang Terbaik

Berbeda dengan mata uang dolar, dinar dan dirham sudah terbukti tahan banting. Dinar dan dirham merupakan mata uang yang menggunakan emas dan perak sebagai bahannya. Emas dan perak merupakan logam mulia yang nilainya tidak berubah. Karena itu, mata uang ini tahan terhadap inflasi.

Hal itu telah dibuktikan selama ratusan tahun saat dinar dan dirham menjadi mata uang dalam sistem ekonomi Islam. Dalam sejarah peradaban Islam, belum pernah terjadi inflasi atau penurunan nilai tukar mata uang tersebut. Bahkan, hingga saat ini, nilai keduanya tidak berubah.

Dinar berasal dari bahasa Romawi, denarius. Sedangkan dirham dari bahasa Persia, drachma. Dinar dan dirham dibawa ke Jazirah Arab oleh para pedagang Arab yang berniaga di Syam dan Yaman. Saat itu, Syam berada di bawah kekuasaan Romawi. Sedangkan Yaman berada di bawah pengaruh Persia.

Ketika Rasulullah saw. hijrah ke Madinah dan menerapkan sistem Islam, kaum muslimin masih menggunakan mata uang dinar dan dirham versi Romawi dan Persia. Rasulullah saw. pun menetapkan dinar dan dirham itu sebagai mata uang. Melalui hadis riwayat Abu Dawud, Beliau saw. bersabda, "Timbangan adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Makkah."

Maka, dinar dan dirham digunakan dalam berbagai transaksi maupun aktivitas lainnya, seperti dalam penetapan zakat harta, diat, atau sanksi. Misalnya, nisab zakat perdagangan adalah 20 mitsqal. Satu mitsqal sama dengan 1 dinar atau 4,25 gram emas dengan kadar 22 karat. Karena itu, nisab zakat perdagangan adalah 85 gram emas. Diat jiwa ditetapkan sebesar 1000 dinar. Sedangkan sanksi potong tangan bagi pencuri akan diberlakukan jika barang yang dicuri mencapai nisab, yaitu seperempat dinar atau tiga dirham. Satu dirham setara 7/10 mitsqal atau 2,975 gram perak.

Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah, dibuatlah dinar dan dirham versi Islam. Dinar dan dirham pun semakin mendunia seiring dengan semakin meluasnya wilayah Islam. Sejarawan Islam, Tiar Anwar Bachtiar menceritakan bahwa para arkeolog menemukan dinar dan dirham versi Islam di Sumatera. Dinar dan dirham digunakan sebagai mata uang dunia hingga Perang Dunia I.

Berdasarkan sifat dinar dan dirham ini, maka keduanya berpeluang untuk menggantikan posisi dolar sebagai mata uang dunia. Namun, untuk ini dibutuhkan sebuah institusi yang menerapkan Islam secara kaffah. Sebab, saat ini, bahan baku untuk membuat dinar serta dirham telah dikuasai oleh para kapitalis. Mereka mengeruk kekayaan alam yang ada di negeri-negeri muslim untuk memperkaya diri, dengan dukungan negara pengemban sistem kapitalis. Maka, tidak mungkin kekuatan negara ini dilawan, kecuali oleh negara pula.
Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Mariyah Zawawi Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Isak Tangis Bocah di Rumah Sakit Afganistan
Next
Kontroversi Penobatan Charles III yang Megah di Tengah Krisis
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram