”Maka sejatinya tuntutan para buruh dalam May Day tidak cukup tuntutan untuk mencabut UU Ciptaker, tetapi mencabut dan mencampakkan sistem kapitalisme yang terbukti rusak dan mengganti dengan sistem Islam yang terbukti sempurna dalam mengatur seluruh urusan manusia.”
Oleh. Dyah Rini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hidup sejahtera adalah dambaan setiap orang. Hari ini untuk bisa hidup layak orang harus bekerja keras. Ada yang menggambarkan beratnya bekerja ibarat membanting tulang. Kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Berangkat pagi buta, pulang larut malam. Itulah gambaran beratnya beban seorang buruh.
Diwartakan detik.com BS (32) seorang buruh berbuat nekat terjun ke sungai Citarum karena uang Tunjangan Hari Raya (THR) tidak tersisa untuk menutup utang. Menurut sumber berita yang sama, peristiwa itu diawali dari pertengkaran dengan istri. Sang istri tidak terima mendapati fakta uang THR yang akan dipakai untuk belanja menyambut lebaran ludes di tangan suami. Menurut sang istri suaminya kecanduan judi online hingga terbelit utang. Ini hanya secuil kisah yang diliput media. Masih banyak kisah pilu yang menimpa para buruh sebenarnya. Ada yang tidak mendapatkan gaji sesuai perjanjian/kontrak kerja, ada yang diulur-ulur gajinya, ada yang diberhentikan sepihak (PHK) tanpa pesangon, dll. Inilah kondisi buruh hari ini.
Berbagai upaya atau tuntutan untuk mengubah keadaan ini sudah banyak dilakukan. Salah satunya dengan menggelar aksi turun ke jalan tiap tanggal 1 Mei, yang dikenal dengan peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day). Apakah hal itu bisa mengubah keadaan mereka menjadi lebih baik? Adakah solusi yang bisa menuntaskan persoalan mereka?
Kapitalisme Mengabaikan Kesejahteraan Buruh
Dalam ideologi kapitalisme sudah jamak dikenal dengan prinsip ekonominya. Yakni mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya. Para pengusaha/pemilik modal menerapkan prinsip itu dalam menjalankan roda usahanya. Termasuk dalam memperlakukan para pekerjanya. Buruh diperas tenaga dan pikirannya untuk menghasilkan produk sesuai target kuantitas dan kualitas. Namun di saat buruh menuntut haknya, para pengusaha berlindung di balik Undang-Undang Cipta Kerja No.11 Tahun 2020 yang disahkan DPR 5 Oktober 2020 lalu.
Pada peringatan May Day 1 Mei 2023, salah satu dari 7 tuntutan para buruh adalah menghapuskan Undang-Undang Cipta Kerja/Omnibus Law yang dianggap banyak merugikan kaum buruh. Undang-undang yang ditolak para buruh itu menihilkan jaminan kepastian kerja, kepastian upah, dan kepastian jaminan sosial. Dilansir dari cnnindonesia.com ada 5 alasan mengapa buruh menolak Undang-Undang Cipta Kerja:
Pertama, aturan pesangon merugikan buruh, pasalnya kompensasi pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang diterima buruh yang di-PHK paling banyak dibatasi 9 bulan gaji. Sedangkan dalam peraturan yang lama (Undang-Undang Ketenagakerjaan) dibatasi sampai 10 bulan gaji
Kedua, sistem upah buruh yang cenderung rendah dan bisa diubah- ubah sesuai keadaan tertentu. Yakni menerapkan formula penetapan upah minimum. Perhitungannya mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Sementara dalam undang-undang yang lama Upah Minimum Pekerja (UMP) dihitung dengan mempertimbangkan Komponen Kehidupan Layak (KHL).
Ketiga, aturan PHK merugikan buruh, karena memberi kemudahan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja.
Keempat, sistem pekerjaan alih daya. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja tidak mengatur batasan jenis pekerjaan alih daya (outsourcing). Ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah. Sementara dalam undang-undang yang lama ketentuannya diatur dengan undang-undang.
Kelima, Undang-Undang Cipta Kerja memberi kemudahan tenaga kerja asing bersaing dengan tenaga kerja pribumi, termasuk menghapus persyaratan bisa berbahasa Indonesia.
Jelaslah Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanpa persetujuan rakyat itu tidak memihak kepada kaum buruh, tetapi justru memihak para pengusaha.
Tuntutan kaum buruh yang selalu digaungkan tiap tanggal 1 Mei seakan angin yang lewat begitu saja. Para pemangku kekuasaan negara yang menerapkan sistem kapitalisme telah abai terhadap kesejahteraan buruh, bahkan terhadap rakyat secara umum. Terbukti kebutuhan dasar publik (kesehatan, pendidikan, keamanan) masih sulit dan tak terjangkau. Harga-harga kebutuhan pokok pun masih melambung, terlebih menjelang lebaran. Mahalnya tarif dasar listrik, BBM, dll. menambah berat beban rakyat. Belum lagi berbagai pajak yang diberlakukan negara. Lengkap sudah kesengsaraan rakyat.
Islam Solusi Paripurna
Jika dibandingkan dengan sistem Islam yakni Khilafah, sungguh sangat jauh berbeda. Islam memperlakukan buruh dengan sangat manusiawi. Dalam kitab An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan bahwa Islam memperbolehkan adanya kontrak kerja/ ijarah yang berlaku antara seseorang dengan orang lain. Orang pertama disebut majikan (musta'jir) orang kedua sebagai pekerja (ajir). Musta'jir bisa individu, jemaah, dan negara. Sementara ajir bisa pegawai perorangan, pegawai suatu jemaah, atau pegawai negara. Islam memerintahkan adanya transaksi/akad yang jelas antara keduanya. Yakni berkaitan dengan jenis pekerjaan, waktu, upah, dan tenaga yang dicurahkan dari pekerja (ajir).
Sebagaimana yang disampaikan Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi saw. pernah bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja, maka hendaklah diberitahukan kepadanya upahnya." (HR. Ad-Daruquthni).
Begitu pula terkait tenaga yang harus dicurahkan oleh pekerja disesuaikan dengan kemampuannya. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 286 menyatakan: "Allah Swt. tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya." Hadis Rasulullah saw. yang lain juga menyatakan: "Apabila aku telah memerintahkan kepada kalian suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampu kalian." (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Sementara terkait dengan upah/gaji Islam juga mengharuskan disampaikan dengan jelas tidak menimbulkan kekaburan. Sebelum mulai bekerja sudah terjadi kesepakatan mengenai gaji. Ketika pekerjaan sudah selesai dikerjakan, maka pekerja berhak atas gajinya. Musta'jir wajib segera membayarnya, tidak boleh menunda-nunda. Rasulullah saw. memperingatkan dalam hadis qudsi: ”Allah Swt. berfirman: ‘Ada tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti.; seseorang yang telah bersumpah atas nama-Ku, lalu berkhianat, seseorang yang menjual orang merdeka (bukan budak), lalu menikmati hasil penjualannya, seseorang yang mengontrak pekerja, lalu pekerja tersebut menunaikan transaksinya, sedangkan dia tidak memberikan upahnya". (HR. Al-Bukhari)
Demikianlah Islam memberikan peluang bagi buruh/pekerja untuk hidup sejahtera. Jika terjadi persengketaan antara pekerja dengan majikannya maka akan diselesaikan oleh qhadi (hakim) yang mengurusi perselisihan di antara masyarakat terkait muamalah.
Negara Khilafah akan menjaga kestabilan ekonomi negara dengan ketersediaan pangan yang murah, lapangan pekerjaan yang terbuka luas dan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi milik umum hasilnya dikembalikan kepada kemaslahatan umat.
Walhasil seorang buruh/pekerja akan bisa memenuhi kebutuhan primer bahkan sekundernya secara layak. Karena kebutuhan dasar publik sudah ditanggung negara. Maka, sejatinya tuntutan para buruh dalam May Day tidak cukup tuntutan untuk mencabut Undang-Undang Cipta Kerja, tetapi mencabut dan mencampakkan sistem kapitalisme yang terbukti rusak dan mengganti dengan sistem Islam yang terbukti sempurna dalam mengatur seluruh urusan manusia.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.”[]
Memang benar, dalam sistem kapitalisme jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekunder, memenuhi kebutuhan primer saja sulit bagi guru.
Yups, sejatinya tuntutan para buruh dalam May Day tidak cukup tuntutan untuk mencabut Undang-Undang Cipta Kerja, tetapi mencabut dan mencampakkan sistem kapitalisme yang terbukti rusak dan mengganti dengan sistem Islam yang terbukti sempurna dalam mengatur seluruh urusan manusia. Ketika sistem Islam yang diterapkan rakyat sejahtera!!karena Islam lah yang dapat menyelesaikan segala persoalan....