Buah Pendidikan Sekuler, Perilaku Anak Makin Sadis

"Kehidupan sekuler memberikan kebebasan berperilaku pada setiap individu tanpa adanya standar baku yang jelas. Sehingga, kebebasan tersebut menjadikan mereka tidak mau terikat dengan aturan agama dan jauh dari nilai-nilai agama. Akibatnya, krisis akhlak pada generasi makin menjadi-jadi."

Oleh. Sofia Hamdani
(Kontributor NarasiPost.Com dan Aktivis Dakwah)

NarasiPost.Com-Kasus bullying makin menjadi-jadi. Jika dahulu kasus bullying terjadi di tingkat SMA dan SMP, hari ini, kasus bullying juga marak terjadi di tingkat SD. Pelaku dan korban bullying tidak lagi memandang usia, bahkan makin sadis.

Seperti dikabarkan media beberapa waktu lalu, kasus perundungan kembali terjadi di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Sukaraja, Kabupatenbupaten Sukabumi, Jawa Barat. Seorang siswa kelas 2, MHD (9) dikabarkan meninggal dunia akibat dikeroyok kakak kelasnya. Korban mengalami dua kali pengeroyokan, yaitu pada Senin (15/5) dan Selasa (16/5). Pengeroyokan terakhir menyebabkan korban kejang-kejang hingga dilarikan ke rumah sakit. Berdasarkan keterangan dokter, korban mengalami luka pada bagian organ dalamnya. Hingga setelah kritis selama 3 hari, korban dinyatakan meninggal dunia pada pukul 08.00 WIB, Sabtu (20/5). (Kompas.com, 21/5/2023)

Bullying bukan lagi hal tabu dalam dunia pendidikan. Bahkan, seiring banyaknya kasus-kasus serupa, justru menjadikan perilaku ini makin liar. Perilaku yang kerap memakan banyak korban ini menandakan bahwa negara masih belum berhasil dalam menyelesaikan problematik bullying dalam dunia pendidikan. Meskipun narasi anti- bullying, pendidikan karakter, dan revolusi mental terus digalakkan, nyatanya ini tidak cukup untuk memberantas kasus perundungan hingga tuntas.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 999 anak menjadi korban perundungan di sekolah sejak tahun 2011-2019. Sedangkan 766 anak tercatat sebagai pelaku perundungan di sekolah. Jumlah kasus bullying sempat menurun pada tahun 2021. Setidaknya ada 53 kasus perundungan yang terjadi di berbagai jenjang di satuan pendidikan. Namun, jumlah ini menurun disebabkan sebagian besar sekolah ditutup karena pandemi. Sedangkan pada tahun 2022, kasus bullying kembali mengalami peningkatan, yaitu sekitar 226 kasus atau meningkat empat kali lipat dibandingkan 2021. (Republika.com, 22/5/2023)

Adapun berdasarkan catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sepanjang dua bulan pertama pada 2023 sudah tercatat ada enam kasus tindak perundungan atau kekerasan fisik dan 14 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Dari catatan FSGI, kasus perundungan pada Januari-Februari 2023 terjadi di jenjang pendidikan SD ada satu kasus, Madrasah Tsanawiyah (MTs) tercatat satu kasus, pondok pesantren ada satu kasus, dan terbanyak terjadi di jenjang SMK sebanyak tiga kasus. (Republika.com, 06/3/2023)

Artinya, kasus bullying masih cukup besar di negeri ini dan berpotensi terus terjadi. Hal ini diperkuat oleh survei Mendikbudristek pada tahun 2022. Survei yang melibatkan 260 ribu sekolah di Indonesia, di level SD/madrasah hingga SMA/SMK terhadap 6,5 juta peserta didik dan 3,1 juta guru menyatakan bahwa terdapat 24,4% potensi perundungan di lingkungan sekolah. (Kumparan.com, 12/4/22)

Sebenarnya ada banyak faktor yang menyebabkan maraknya kasus bullying. Mulai dari pola pendidikan di lingkungan keluarga, kehidupan di masyarakat, hingga kebijakan negara. Sebagian orang tua tidak menjadikan agama sebagai landasan dalam mendidik anaknya. Sehingga tak jarang orang tua pun ikut tergerus dalam arus sekularisme.

Minimnya pemahaman orang tua terhadap agama mengantarkan pada ketidakmampuan dalam membentuk karakter anak beriman dan berakhlak mulia. Hal ini diperparah dengan lingkungan sosial yang hedonis nan tidak sehat dan kebebasan dalam mengakses tontonan tanpa adanya pengawasan. Selain itu, kebijakan negara dalam mengatur kurikulum pendidikan juga sangat berpengaruh.

Kurikulum pendidikan hari ini tegak di atas dasar nilai-nilai sekularisme. Dalam penerapannya hanya fokus mengedepankan pencapaian akademik. Sedangkan peran agama dalam membentuk karakter mulia justru tidak diutamakan. Walhasil, generasi hari ini sangat minim akhlak dan moral yang baik. Sebuah konsekuensi yang harus ditanggung ketika negara masih mengadopsi aturan buatan manusia. Selama negeri ini masih menerapkan aturan yang berlandaskan pada sistem sekularisme, mustahil kasus-kasus perundungan dapat terselesaikan.

Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Negara memperbolehkan keberadaan agama hanya pada urusan privat saja. Sedangkan pada ranah publik, peran agama sangat minim dan dibatasi.

Kehidupan sekuler memberikan kebebasan berperilaku pada setiap individu tanpa adanya standar baku yang jelas. Sehingga, kebebasan tersebut menjadikan mereka tidak mau terikat dengan aturan agama dan jauh dari nilai-nilai agama. Akibatnya, krisis akhlak pada generasi makin menjadi-jadi. Inilah yang membuat mereka makin sadis.

Kembali pada Aturan Islam

Adalah sebuah keniscayaan ketika Islam dijadikan sebagai way of life dan sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Maka, besar kemungkinan kasus bullying tidak akan kita jumpai. Sebab, Islam bukan hanya agama yang mengatur kehidupan privat saja, melainkan juga mengatur seluruh aspek kehidupan.

Islam menjadikan keimanan sebagai landasan dalam setiap perbuatan. Disertai keyakinan bahwa setiap perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Islam juga menuangkan aturannya dalam bentuk perintah dan larangan yang akan berbuah pahala bagi yang menaati, dan berbuah dosa bagi yang melanggar. Sehingga, hal ini akan mampu menjadi benteng dari perilaku jahat/sadis.

Dalam Islam, bullying merupakan perbuatan tercela. Sebab, termasuk merendahkan dan menzalimi orang lain. Dengan dorongan keimanan dan ketaatan terhadap aturan Allah Swt. sebagai Al-Mudabbir, seluruh kaum muslim akan menjauhinya.

Hal ini telah jelas dalam QS. Al-Hujurat ayat 11, Allah Swt. melarang tindakan mengolok-olok,
"Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Sebaliknya Allah Swt. memerintahkan kita untuk saling mengasihi dan menjaga persatuan, sebagaimana dalam QS. Ali Imran ayat 103, “Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan bercerai-berai!”

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, mulai dari mengganti paradigma pendidikan yang berlandaskan sekularisme dengan menerapkan sistem pendidikan Islam, yang tidak hanya menempa siswa dari sisi pencapaian akademik saja, melainkan juga dari sisi kepribadian, termasuk membentuk akhlak dan moralitas yang baik. Hal ini telah terbukti tatkala Islam diterapkan di masa lalu. Sistem pendidikan islam mampu mencetak generasi-generasi yang unggul di berbagai bidang. Selain itu, harus ada upaya dalam meningkatkan kemampuan mendidik pada keluarga, menata media agar konten-konten liar yang merusak tidak merasuki pemikiran anak. Sehingga, dapat berkontribusi dalam peningkatan belajar dan yang tidak kalah penting membangun suasana kondusif di tengah masyarakat.

Kasus bullying tidak akan bisa selesai hanya dengan seruan revolusi mental, pendidikan karakter atau kampanye anti- bullying. Sebab akar permasalahannya ada pada sistem kehidupan sekularisme yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya solusi mendasar dan menyeluruh untuk menyelesaikan secara tuntas permasalahan bullying dan darurat pendidikan. Dan kembali pada syariat Islam adalah solusi tuntas bagi seluruh problematik umat, termasuk bullying.

Wallahu'alam bisshawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Sofia Hamdani Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Sudah Siap?
Next
Samudra Impian
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

4 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Zahrah Luthfiyah
1 year ago

Dulu semasa sekolah marak sekali kasus-kasus perundungan. Baik di sd, smp,dan sma. Kurangnya sadar saling menyayangi sesama teman. Menganggap remeh orang lain krn lemah. Itulah dampak dari sistem yang ada. Kurangnya perlindungan membuat anak yang di bully mentalnya rusak. Dimana perlindungan yang di berikan? Kasus-kasus seperti ini berulang terjadi tak ada penyelesaian yang di lakukan. Harusnya ada penyelasaian yang membuat kasus ini tidak akan terjadi lagi.

Tya Ummu Zydane
Tya Ummu Zydane
Reply to  Zahrah Luthfiyah
1 year ago

Tidak ada kesejahteraan, keamanan dan keadilan dalam sistem kufur ini. Islam solusi dari setiap permasalahan.

Reva Lina
Reva Lina
1 year ago

Benar banget pendidikan diera sekarang makin tak terbendung, bagaimana tidak? Kurikulumnya yang berganti-ganti hingga mendorong untuk memisahkan agama dari kehidupan. Sangat-sangat miris! Saya sebagai seorang anak Remaja yang hidupnya diera serba ada tak memungkiri, Apalagi bullying kian meraja lelah. Karena saya pernah merasakan diposisi itu, berat memang. Tapi dengan melibatkan Allah semua dipermudah. MasyaAllah semoga dengan tulisan Mbak Sofia memberikan pencerahan kepada umat.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram