Walaupun pendekatan restorative justice diterapkan pada kasus tindak pidana ringan, namun hal ini bisa jadi akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu pada pelaku kejahatan berat untuk mendapatkan hukuman yang ringan. Apalagi dengan kondisi hukum kita hari ini yang mudah diperjualbelikan oleh sebagian kalangan kaum bertahta.
Oleh. Sarinah A
(Pegiat Pena Banua)
NarasiPost.Com-Dilansir pada pada detiknews.com (23/05/2022) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana, menyebut bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghentikan sedikitnya 1.070 perkara dengan menggunakan pendekatan restorative justice. Restorative justice ini diterapkan terhadap perkara tindak pidana yang sifatnya ringan, sesuai Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative.
Berdasarkan survei penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM sebesar 85,2% responden mendukung penerapan pendekatan keadilan restorative untuk menghentikan perkara pidana yang tidak perlu serta kejahatan yang sifatnya ringan. Fadil menjelaskan mengingat kondisi penjara di Indonesia sudah terlalu padat, masyarakat menuntut reformasi serius dalam praktik penegakan hukum yang cenderung berfokus pada pembalasan dengan pemenjaraan, daripada memulihkan keadilan.
Adanya penghentian seribu lebih kasus perkara oleh kebijakan restorative justice menunjukkan bahwa sistem hukum hari ini belum bisa menghapus tingginya angka kriminalitas serta konflik sosial di tengah masyarakat.
Adapun sumber sanksinya juga belum jelas sehingga banyak kasus yang mengalami perubahan sanksi/hukuman karena beratnya beban negara menanggung biaya penjara/tahanan, salah satunya dengan kebijakan restorasi keadilan.
Walaupun pendekatan restorative justice diterapkan pada kasus tindak pidana ringan, namun hal ini bisa jadi akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu pada pelaku kejahatan berat untuk mendapatkan hukuman yang ringan. Apalagi dengan kondisi hukum kita hari ini yang mudah diperjualbelikan oleh sebagian kalangan kaum bertahta.
Menurut Kevin I. Minor dan J.T. Morrison dalam buku A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives (1996), restorative justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak. Sedangkan menurut laman resmi Mahkamah Agung, prinsip restorative justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA).
Prinsip keadilan restoratif atau restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi. (kompas.com, 15/02/2022)
Pendekatan restorasi keadilan lahir dari sistem hukum hari ini. Dimana sistem hukum hari ini lahir dari sistem sekuler yang jauh dari aturan-aturan islam. sistem sekuler hari ini membolehkan manusia untuk membuat sistem hukum maupun peradilan sesuka hati dan sesuai hawa nafsu. Jika hal ini dibiarkan tentu akan melahirkan berbagai kemudaratan yang hari ini bisa kita saksikan sendiri. Buktinya berbagai kebijakan sanksi dibuat untuk mencegah tindak kasus kriminal, tapi nyatanya semakin hari angka kasus kriminal semakin meningkat. Padahal tujuan adanya sanksi atau hukuman adalah memberikan efek jera bagi pelaku maupun orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang.
Hal ini berbeda dengan sistem hukum/peradilan dalam Islam. Islam mempunyai sistem hukum yang jelas dalam menyikapi segala perbuatan yang melanggar aturan Allah. Sanksi yang diberikan juga tegas agar memberikan efek jera terhadap pelaku dan orang lain.
Penerapan sanksi dalam Islam juga tidak berat sebelah, dimana si kaya bebas dari hukuman sedangkan si miskin mudah untuk dihukumi. Akan tetapi siapa yang bersalah dan melanggar aturan Allah wajib diberi sanksi/hukuman. Kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti hukuman qishas bagi pembunuh yang dimaafkan oleh keluarga korban, akan tetapi pelaku tetap diwajibkan untuk membayar kafarat atau denda yang sudah ditentu oleh hukum syarak pada keluarga korban tersebut.
Ketegasan penerapan hukum dalam Islam akan bisa memberikan keadilan bagi korban dan pelaku. Karena ia lahir dari wahyu Allah Swt, bukan dari hawa nafsu manusia. Penerapan hukum aturan Allah dalam kehidupan akan terwujud dari negara yang mau tunduk dan patuh pada aturan Allah Swt di muka bumi. Hingga dengan hal tersebut mampu menebarkan keadilan diseluruh muka bumi dengan izin Allah Swt.
Wallahu ‘alam bis shawab[]