"Sekularisme yang merupakan nyawa dari sistem kapitalisme demokrasi meniscayakan agama dipisah dari kehidupan. Agama tak boleh mengatur kehidupan, kecuali soal ibadah dan akhlak saja. Tak boleh mengatur ekonomi, politik, maupun pendidikan. Wajar jika dalam bidang pendidikan, banyak intelektual yang dangkal akidahnya, angkuh, menganggap prestasi unggul hanya didapat dari prestasi akademik semata. Bahkan lebih parah lagi, menganggap manusia cerdas adalah para penolak agama."
Oleh. Erdiya Indrarini
(Pemerhati publik)
NarasiPost.Com-Miris, celaan terhadap syariat Islam dan pemeluknya terus berulang. Bahkan ironisnya, dilakukan oleh orang yang berintelektual tinggi. Ternyata, tingginya intelektualitas saja tak mampu menjamin ketinggian akhlaknya. Mengapa?
Prof. Budi Santosa Purwokartiko yang merupakan Rektor ITK (Institur Teknologi Kalimantan) Balikpapan menjadi buah bibir. Bukan karena prestasinya atau penemuan risetnya, tapi ungkapannya yang dinilai rasis, dan miskin akhlak. Profesor kelahiran Klaten, 12 Mei 1969 ini telah mendiskreditkan muslimah yang memakai hijab/kerudung dengan menjulukinya sebagai manusia gurun.
Ia pun menyatakan bahwa mahasiswa yang pintar dan otaknya open mind adalah yang membumi (bicaranya tentang dunia). Bukan yang suka bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Juga jauh dari kata-kata langit seperti insyaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagainya. Pun mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.
Ungkapan kontroversial Rektor yang meraih gelar master dan doktor dari University of Oklahoma, Amerika Serikat ini, diposting pada 27 April 2022 melalui akun Facebook pribadinya, yaitu setelah mewawancarai beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri, yakni Program Dikti yang dibiayai LPDP. (fajar.co.id, 1/5/2022)
Kebebasan ala Demokrasi Syarat Intoleransi
Serangan terhadap muslim dan syariatnya makin menjadi, walau di negeri mayoritas Islam sekalipun. Hal ini akibat dari paham liberalisme, yaitu kebebasan berpendapat dan berekspresi yang selalu diagung-agungkan oleh sistem demokrasi. Atas nama kebebasan itu, kaum liberal berani terus terang mengungkapkan kebenciannya terhadap Islam dan pemeluknya. Namun, saat kaum muslim melawan, serta-merta digugat atas nama HAM (Hak Asasi Manusia). Itulah kebobrokan sistem/ideologi kapitalisme demokrasi yang diimpor dari penjajah. HAM dan toleransi hanyalah untuk mereka para antek Barat, bukan untuk kaum muslim.
Sementara itu, undang-undang yang ada pun mandul. RUU KUHP pasal 56 (a) tentang penistaan agama, seolah tak berguna. Pemerintah tidak tegas menindak penista agama (Islam). Justru melakukan pembiaran, tidak merespons dengan layak laporan-laporan yang masuk. Bukannya menetapkan sanksi, malah diakhiri dengan pernyataan klarifikasi dan permintaan maaf. Wajar, kelancangan terhadap Islam dan pemeluknya terus berulang.
Padahal dalam hukum Islam, barang siapa yang mengolok-olok Islam dan syariatnya, ia dihukumi kafir dan murtad dari Islam, azabnya teramat pedih. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya :
"Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…" (QS. At-Taubah 65-66)
Sekularisme Pendidikan Merusak Kaum Intelektual
Sekularisme yang merupakan nyawa dari sistem kapitalisme demokrasi meniscayakan agama dipisah dari kehidupan. Agama tak boleh mengatur kehidupan, kecuali soal ibadah dan akhlak saja. Tak boleh mengatur ekonomi, politik, maupun pendidikan. Wajar jika dalam bidang pendidikan, banyak intelektual yang dangkal akidahnya, angkuh, menganggap prestasi unggul hanya didapat dari prestasi akademik semata. Bahkan lebih parah lagi, menganggap manusia cerdas adalah para penolak agama.
Inilah bukti bahwa sekularisme dunia pendidikan yang digencarkan ideologi kapitalisme demokrasi telah nyata merusak mentalitas para intelektual dan generasi bangsa. Pendidikan dalam sistem demokrasi nyatanya hanya melahirkan intelektual yang berpenyakit islamofobia. Demokrasi yang mengagungkan kebebasan berekspresi, justru melahirkan intelektual yang rasis dan fasis. Bahkan bersikap disintegratif, mengotak-ngotakkan kelompok hingga berisiko memecah belah bangsa.
Allah Swt. telah menetapkan manusia berbeda-beda, baik suku, agama, warna kulit, budaya, busana, dan sebagainya. Kita tak berhak mendiskreditkan apa yang menjadi kewajiban agama tertentu, sebagaimana mengolok-olok wanita berkerudung dengan sebutan manusia gurun. Begitulah harusnya sikap orang yang mengaku berotak open minded.
Sumbangan Islam untuk Dunia
Jika Profesor Budi mau memperluas pemahamannya tentang sejarah peradaban Islam, juga apa saja sumbangan peradaban Islam untuk dunia, maka ia akan tahu bahwa apa yang dia lihat, ia bangga-banggakan dan ia kagumi selama ini adalah sumbangan dari peradaban Islam. Di antaranya adalah baju dan topi toga yang selalu dipakai para wisudawan. Baju dan topi toga dengan bentuknya yang khas, kotak, adalah hasil desain seorang muslimah berkerudung. Ia bernama Fatimah Al Fihri. Fatimah adalah pendiri Universitas Al-Qarawiyyin, yaitu universitas yang pertama kali berdiri di dunia tahun 859 (hampir seratus tahun sebelum universitas Al Azhar Kairo berdiri).
Universitas Al-Qawariyyin ini telah diakui dalam Guinnes Book of Word Record sebagai lembaga pendidikan tertua di dunia. Fatimah terinspirasi Ka’bah dalam mendesain baju dan toganya. Ia berharap agar siapa pun yang memakainya saat wisuda, pikirannya selalu ingat pada Baitullah.
Selain itu, akun Facebook yang dipakai Profesor Budi untuk mendiskreditkan Islam dan pemeluknya, juga tak lepas dari peran seorang muslim. Ia adalah Abu Ja’far Mohammed Ibn Musa al Khowarizmi. Al Khawarizmi adalah penemu algoritma, dan ilmu aljabar. Hasil pemikiran beliau inilah yang sekarang banyak dimanfaatkan secara luas terutama dalam bidang komputer atau sains dan engineering. Tanpa beliau, niscaya Mark Zuckerberg pun tak akan menemukan Facebook seperti yang bisa kita pakai saat ini.
Jika melihat sedikit saja fakta yang ada, harusnya Profesor Budi malu. Karena ia telah mencela muslimah berkerudung, juga istilah bahasa yang sering dipakai seorang muslim. Karena kenyataannya, topi toga yang ia pasang dikepalanya adalah hasil desain wanita berkerudung.
Islam dengan syariatnya pernah berada pada zaman keemasan, bahkan selama 13 abad lamanya. Maka, akan lebih bijak jika seorang intelektual memperluas pengetahuannya, termasuk tentang sejarah.
Gelar Profesor Hasil Didikan Siapa?
Inilah contoh intelektual hasil didikan ideologi kapitalisme demokrasi. Dalam sistem kapitalisme demokrasi, Generasi bangsa hanya dituntut agar cerdas intelektualnya saja. Setelahnya, kecerdasan itu hanya dimanfaatkan untuk meraih dunia, seperti materi dan kedudukan. Sebagaimana yang juga disampaikan Profesor Budi, visinya sekadar supaya bisa menduduki berbagai BUMN, betapa remeh-temehnya. Padahal, ada dimensi yang lebih penting dari itu, yaitu kecerdasan spiritual, juga kecerdasan emosional. Hanya intelektual yang disertai dengan kecerdasan emosional dan spiritual tinggilah yang mampu menghasilkan pribadi yang cemerlang. Dan itu hanya lahir dari pendidikan dengan sistem Islam. Karena dalam Islam, keimanan dan ketakwaan pada Sang Pencipta adalah hal yang paling utama. Sehebat apa pun seseorang, harus tunduk pada aturan Sang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur.
Tak heran, pada saat sistem Islam memimpin dunia, banyak terlahir orang-orang yang polymath. Mereka tidak sekadar cerdas intelektualnya saja, tapi mereka juga tinggi akhlak, ahli agama, penghafal Qur'an, sekaligus penemu berbagai ilmu yang saat ini digunakan dalam banyak aspek kehidupan. Sebagaimana Fatimah Al Fihri, Al Khawarizmi, Ibnu Sina penemu ilmu kedokteran, dan masih banyak lagi.
Profesor Budi adalah salah satu contoh intelektual hasil didikan ideologi kapitalisme demokrasi. Dimana pendidikan harus dipisahkan dari agama (Islam). Alhasil, ketinggian intelektualitasnya ternyata tidak berbanding lurus dengan kemuliaan akhlaknya.
Betapa Pentingnya Mempelajari Islam
Islam bukan sekadar agama, tapi sebuah sistem kehidupan yang berasal dari Tuhan. Pun Islam bukan hanya konsep dan pemikiran, tapi juga metode. Barat tahu betul betapa hebat dan sempurnanya agama dan sistem Islam. Tapi mereka tidak mau tunduk. Sehingga demi bisa menguasai, mereka berusaha menyerang Islam. Setelah gagal dengan senjata, maka dengan pemikiran, yaitu mencekoki paham-paham yang bisa merusak pemikiran kaum muslimin. Seperti moderasi, sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, dan sebagainya.
Oleh karenanya, kaum muslimin seyogianya berusaha memperdalam pengetahuan tentang Islam secara menyeluruh termasuk sistemnya. Kemudian mendakwahkan dan menyebarkannya agar generasi tak mudah termakan oleh paham-paham yang menyesatkan, yang hanya mengundang kemurkaan Allah Swt. Itulah perjuangan yang paling agung disisi-Nya.
Wallahua'lam bisshowab[]