“Siti Nadia Tarmizi sebagai Juru Bicara Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa terlalu dini menyebut Indonesia memasuki status endemi. Menurutnya, yang lebih tepat saat ini Indonesia masuk pada tahap pengendalian pandemi. Karena memutuskan sebuah pandemi menjadi endemi, bukan diputuskan oleh Indonesia sendiri, melainkan harus berkonsultasi dan diputuskan WHO.”
Oleh. Mariam
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setelah hampir 3 tahun Indonesia dilanda pandemi Covid-19, kini Covid-19 digadang-gadang akan segera menjadi endemi. Bahkan, pemerintah memutuskan untuk melonggarkan protokol kesehatan. Saat ini Presiden Joko Widodo mengeluarkan imbauan untuk memperbolehkan masyarakat melepas masker di luar ruangan atau tempat terbuka. Ramai sebelumnya, Sekretaris Eksekutif I KPC-PEN Raden Perdede, memprediksi pandemi akan berubah menjadi endemi kemungkinan terjadi setelah Ramadan tahun ini.
Fakta Lapangan terkait Penurunan Covid-19
Muhadjir menjelaskan fakta di lapangan bahwa indikator angka kasus aktif, postive rate, tingkat okupasi rumah sakit hingga kematian akibat Covid-19 kini mengalami penurunan. Survei internal yang dilakukan oleh Kemenko PMK di 18 rumah sakit DKI Jakarta pada Februari 2022, kini angka kematian Covid-19 di Indonesia telah menurun di peringkat 14.
Dilihat dari data survei yang diperoleh, angka kematian tertinggi sekarang adalah penyakit kanker, kemudian pneumonia, disusul oleh pneumonia nonspesifik, dan Covid-19 menduduki rangking 14. Sejak 24 Maret hingga 12 Mei, angka reproduction rate konsisten di angka 1. Ini menunjukkan selama 8 minggu, pandemi Covid-19 sudah semakin terkendali, dan kemungkinan skema pandemi saat ini akan berakhir semakin dekat.
Sedangkan, menurut Juru Bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito optimis melihat data saat ini Indonesia sudah tidak lagi dalam fase kedaruratan. Kabar baiknya, dilihat dari sejumlah faktor seperti rawat inap yang menurun hingga 97%, tingkat hunian tempat tidur Covid-19 saat ini menjadi hanya 2%, kasus kematian Covid-19 yang semakin menurun menjadi 98%, dan positive rate nasional kini hanya di angka 0,7%. (Liputan6.com, 14/5/2022)
Proses Perubahan Pandemi Menjadi Endemi
Siti Nadia Tarmizi sebagai Juru Bicara Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa terlalu dini menyebut Indonesia memasuki status endemi. Menurutnya, yang lebih tepat saat ini Indonesia masuk pada tahap pengendalian pandemi. Karena memutuskan sebuah pandemi menjadi endemi, bukan diputuskan oleh Indonesia sendiri, melainkan harus berkonsultasi dan diputuskan langsung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). (Liputan6.com, 14/5/2022).
Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, ketika pandemi turun statusnya menjadi endemi, seperti laju penurunan yang harus kurang dari 1, angka positivity rate -nya kurang dari 5% dan angka fatality-nya bisa kurang dari 3%, serta level PPKM yang berada pada transmisi lokal menjadi hanya di tingkat 1.
Ketua WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus menjelaskan bahwa ada dua syarat yang diutamakan untuk membuat prediksi endemi ini bisa terwujud. Pertama, tingkat vaksinasi yang sudah didistribusikan secara merata. Kedua, keparahan gejala Covid-17 varian omicron tidak separah varian sebelumnya.
Sedangkan, menurut Michael Ryan, Direktur Darurat WHO mengatakan titik balik pandemi menjadi endemi adalah tingkat kejadian penyakit harus rendah serta vaksinasi maksimum dari populasi, sehingga tidak ada lagi yang harus mati. (Cnbcindonesia.com, 29/3/2022)
Penanganan Pandemi Covid-19 Berlarut-larut
Dalam sebuah wawancara bersama Kharisma Vaswani, Presiden Jokowi mengakui bahwa memang ada kesalahan dan kelemahan dalam penanganan pandemi di Indonesia. Mengingat memang sejak dari awal, pemerintah sudah meremehkan keberadaannya.
Jokowi menambahkan bahwa kelemahan pun terjadi akibat fasilitas kesehatan yang belum mampu dan tidak siap menerima pasien yang membludak begitu banyak, hingga kematian pernah mencapai 2000 per hari. Ini memang tugas kita untuk memperbaiki reformasi di bidang kesehatan, mengingat fasilitas kesehatan di luar Jawa pun kurang mumpuni.
Faisal Basri, memandang bahwa pemerintah sejak awal sudah salah dalam mengambil langkah pendekatan dalam menangani pandemi. Seharusnya, pemerintah lebih memprioritaskan melalui pendekatan kesehatan, bukan pendekatan ekonomi. Pemerintah lebih menuhankan ekonomi dan memberhalakan investasi dibanding dengan memfokuskan kepada ranah kesehatan itu sendiri. Akhirnya, konsekuensi yang ditimbulkan sering berdampak buruk pada sektor kesehatan. (Gatra.com, 17/7/2021)
Penekanan Wabah dalam Syariat
Seorang Epidemiolog, Dicky Budiman mengingatkan walaupun Indonesia sudah masuk tahap transisi, namun bukan berarti bebas dari ancaman Covid-19. Dikhawatirkan, adanya ancaman varian turunan SARS-CoV-2 yang mungkin bisa kembali terjadi peningkatan kasus jika negara abai dan menganggap santai terhadap protokol kesehatan yang berlaku. (Liputan6.com, 14/5/2022)
Sejatinya, datangnya sebuah penyakit adalah sunatullah yang tidak bisa kita mungkiri, termasuk wabah yang terjadi saat ini. Namun, kita tidak boleh pasrah dan hanya berpangku tangan, apalagi meremehkan hingga penyelesaiannya yang berlarut-larut terlalu lama. Perlu adanya tindakan dengan sigap, wabah yang seharusnya ditangani dengan cepat jangan sampai menjadi pandemi yang berkepanjangan hanya karena lebih mementingkan pemulihan ekonomi dengan memprioritaskan para investor dan pemangku kepentingan.
Bahkan, Internasional mengakui bahwa sistem global telah gagal dalam menangani pandemi Covid-19. Karena alasan ekonomi selalu menjadi pertimbangan setiap kebijakan yang diambil saat ini. Oleh karena itu, jika penyakit baru terjadi, kemungkinan besar akan kembali menjadi sebuah pandemi yang meningkat. Inilah gambaran jelas bahwa sistem kapitalis telah gagal dalam menangani, dalam sistem ini selalu mengutamakan iklim investasi dan perbaikan ekonomi dibandingkan dengan nyawa rakyat yang melayang.
Terlebih, fasilitas kesehatan di sistem kapitalis yang dijadikan bisnis. Sehingga, banyak publik yang malah enggan pergi ke rumah sakit, karena biaya yang tinggi. Bahkan, kalaupun gratis fasilitas yang diberikan tidak lebih baik dan membeda-bedakan dengan orang yang memakai uang pribadi.
Masyarakat butuh layanan dan fasilitas yang terjangkau bahkan gratis, tindakan kuratif dan preventif harus dilakukan oleh semua kalangan baik masyarakat dan negara. Namun, upaya ini sangat tidak mungkin jika dalam ruang lingkup sistem kapitalisme, yang hanya berasaskan manfaat dan keuntungan semata.
Upaya dalam menangani laju pandemi ini akan terwujud dan terealisasikan dalam sistem yang menjadikan nyawa manusia sebagai prioritas dalam orientasi kebijakannya, sistem yang berlandaskan dari aturan sang pencipta, yakni sebuah institusi negara bernama Khilafah.
Dalam Khilafah, kesehatan akan dipandang sebagai kebutuhan dasar publik yang harus dipenuhi oleh negara secara mutlak. Oleh karena itu, layanan kesehatan dalam Khilafah dijadikan sebagai instrumen penting dalam menjaga nyawa manusia tanpa ada unsur komersialisasi sekecil apa pun. Jika para ilmuwan melakukan analisis dan menyampaikan hasil temuan serta rekomendasinya, Khilafah akan mengupayakan agar rekomendasi tersebut bisa dilakukan dengan cepat dan tepat.
Jika ada orang yang terinfeksi, Khilafah akan memberikan pelayanan medis hingga pasien bisa sembuh total dengan fasilitas terbaik, mulai dari perawatan rumah sakit, obat-obatannya serta dokter maupun perawat akan didapatkan dengan terjangkau, Khilafah akan membantu membiayai dengan dana yang diambil dari posko kepemilikan Baitulmal.
Untuk mengatasi agar sebuah penyakit ini tidak menjadi pandemi yang berkepanjangan Khilafah pun akan memberlakukan lockdown, untuk mengunci daerah yang terpapar penyakit agar tidak meluas ke daerah lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari)
Dengan adanya lockdown tersebut, masyarakat akan tetap di rumah dan menghentikan aktivitasnya dalam mencari nafkah. Negara Khilafah tidak akan membiarkan mereka takut mati kelaparan karena mereka tidak mencari nafkah, Khilafah akan siap menjamin kebutuhan rakyat yang terdampak. Negara akan mengayomi masyarakat agar kebutuhan tetap terpenuhi untuk menjaga nyawa dari wabah penyakit yang menyerang. Sehingga, pandemi bisa segera terselesaikan dengan cepat, tepat dan baik tanpa berlarut-larut mengambil kebijakan PPKM hingga level 5.
Inilah sebuah sistem negara yang aturan kebijakannya diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, ketika pemimpinnya bisa bertanggung jawab dan negaranya berperan penting dalam memberikan solusi terbaik untuk selalu mengedepankan nyawa manusia tanpa terkecuali.
Wallahu a'lam bish-shawwab.[]