"Jelaslah bahwa aktivitas politik perempuan hanya akan berbuah perbaikan manakala sesuai dengan politik yang dimaknai sesuai syariat, bukan politik ala demokrasi yang menjanjikan perubahan semu. Bagaimana tidak, politik dalam demokrasi sekadar menempatkan perempuan di parlemen demi menjadi wakil atas kaumnya, namun jika yang diterapkan sebagai aturan dalam kehidupannya tetap sekuler liberal, tentu saja perubahan hakiki hanya akan menjadi ilusi."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Aroma pesta demokrasi kian lekat tercium. Para politisi berlomba merancang amunisi demi meraih kursi. Tak ketinggalan, kaum perempuan pun diproyeksikan untuk mampu mengisi kursi panas pemerintahan. Sebab keberadaan perempuan dianggap penting sebagai wakil atas kaumnya di jajaran pemerintahan.
Maka, wajarlah jika akhirnya para aktivis perempuan gencar menyuarakan agar perempuan lebih diperhatikan di ranah politik demokrasi. Sebagaimana dilakukan oleh Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, yang menyampaikan harapannya agar seluruh pimpinan partai politik dapat menempatkan calon legislatif (caleg) perempuan di nomor urut satu demi mewujudkan keterwakilan perempuan di dunia politik. Menurutnya, 80 persen yang biasanya terpilih sebagai anggota legislatif adalah yang menempati nomor urut satu atau dua. (Antaranews.com/04-05-2022)
Imbauan tersebut dilatari oleh adanya penilaian bahwa pemilihan umum di negeri ini tak ramah perempuan. Menurut Titi, sejak tahun 1999 hingga 2019, tingkat keterpilihan perempuan belum mencapai 30% dari total anggota DPR. Maka itu, keberadaan caleg perempuan perlu lebih diperhatikan, khususnya dalam penempatan nomor urut. Hal tersebut dalam rangka memperlebar peluang keterpilihan kaum perempuan dalam pemilu 2024 mendatang.
Keberadaan perempuan dalam politik memang merupakan sebuah kebutuhan, bahkan kewajiban. Sebab sejatinya, perempuan merupakan bagian dari masyarakat, perannya juga dibutuhkan bagi perubahan wajah sebuah negeri hingga peradaban. Namun demikian, patut kita telisik kembali, politik seperti apakah yang semestinya dijalani oleh perempuan? Benarkah terjunnya perempuan ke kancah politik ala demokrasi mampu menghadirkan solusi bagi persoalan negeri?
Perempuan dan Politik
Dalam pandangan Islam, politik (siyasah) secara bahasa berasal dari kata 'sasa', 'yasusu', 'siyasatan', yang artinya mengurus kepentingan seseorang. Sedangkan secara istilah, politik bermakna mengatur urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri. Aktivitas politik ini dapat dilaksanakan oleh negara atau individu umat.
Maka, dapat dikatakan bahwasannya aktivitas politik erat kaitannya dengan aktivitas amar makruf nahi mungkar yang memang diwajibkan Islam atas seluruh kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam Islam, seorang muslim wajib peduli terhadap sesama manusia dan juga lingkungannya, tidak boleh apatis, yakni bersikap acuh tak acuh. Rasulullah saw telah mengingatkan dalam hadis riwayat Hakim, bahwasannya Rasulullah saw bersabda, "Siapa saja yang bangun di pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka ia tidak berurusan dengan Allah. Dan barangsiapa yang bangun dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka."
Oleh karena itu, ketika seseorang mengarahkan pikirannya dan perhatiannya kepada persoalan yang mendera kaum muslimin dan negeri-negerinya, maka berarti ia tengah melakukan aktivitas politik. Misalnya, ia peduli terhadap korupsi yang kian merajalela, kriminalitas yang kian marak, harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, penjajahan atas negeri kaum muslim oleh kafir Barat, penyimpangan seksual yang kian ditampakkan secara telanjang, atau kezaliman penguasa yang tak lagi sembunyi-sembunyi, maka sungguh ia tengah menjalankan peran politisnya.
Oleh karena itu, perempuan dan politik adalah dua hal yang tak terpisahkan. Namun, tentu saja dalam bingkai politik dalam konsep Islam, bukan politik yang identik dengan perebutan kekuasaan sampai rela menghalalkan segala cara demi meraih tampuk kekuasaan dan saling sikut kanan-kiri sebagaimana halnya politik ala demokrasi hari ini.
Peran Politik Perempuan dalam Islam
Perempuan dalam kacamata Islam wajib terlibat dalam perjuangan politik ( kifah siyasi ). Adapun hal tersebut terimplementasi salah satunya lewat aktivitas muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa). Banyak dalil yang menyatakan akan keutamaan aktivitas muhasabah lil hukam ini, salah satunya hadis riwayat Hakim dari Jabir r.a, "Penghulu syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib (atau setara dengannya) seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim menyerukan (kepadanya) untuk berbuat baik dan melarangnya atau berbuat kemungkaran, kemudian dia dibunuh."
Dalam hadis tersebut, terdapat pujian kepada mereka yang melakukan aktivitas mengoreksi penguasa. Oleh karena itu, sudah selayaknya kaum muslimin menjadi orang-orang yang kritis dan berani dalam melakukan muhasabah di tengah-tengah masyarakat, termasuk muhasabah kepada penguasa. Tak terkecuali kaum perempuan, mereka wajib berkontribusi dalam aktivitas tersebut. Karena itulah salah satu kewajiban perempuan di ranah publik, di samping menuntut ilmu.
Hakikatnya aktivitas dakwah perempuan yang merupakan bagian dari aktivitas politik, merupakan bagian dari sumbangsihnya dalam menciptakan perubahan di tengah umat. Ya, sebab sejatinya dakwah politis adalah dakwah dalam rangka mengubah kondisi yang jauh dari syariat, menuju kondisi yang sesuai syariat. Oleh karena itu, dakwah politis adalah dakwah yang komprehensif. Tak sekadar membangkitkan ruhiyah dan semangat beribadah secara personal, apalagi sekadar perbaikan akhlak. Dakwah politik berarti dakwah yang menyentuh aspek perbaikan secara revolusioner, yakni perbaikan sistem kehidupan, dari sistem kufur kapitalisme sekuler menuju sistem Islam dalam naungan Khilafah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa aktivitas politik perempuan hanya akan berbuah perbaikan manakala sesuai dengan politik yang dimaknai sesuai syariat, bukan politik ala demokrasi yang menjanjikan perubahan semu. Bagaimana tidak, politik dalam demokrasi sekadar menempatkan perempuan di parlemen demi menjadi wakil atas kaumnya, namun jika yang diterapkan sebagai aturan dalam kehidupannya tetap sekuler liberal, tentu saja perubahan hakiki hanya akan menjadi ilusi. Selain itu, selama wadah penampung suara mereka tetaplah demokrasi, maka suara kebenaran hakiki takkan pernah didengar. Karena terjegal oleh konstitusi yang sejatinya mengadopsi nilai dan sistem hidup yang bertolak belakang dengan Islam. Jadi, tunggu apa lagi, saatnya kaum perempuan melibatkan diri dalam aktivitas politik Islam secara sadar atas panggilan iman. Insyallah perubahan hakiki akan kita raih. Wallahu'alam bis shawab.[]