"Penumpukan sampah saat ini sudah menjadi problematika sistemis. Secara individu, memang ada pengaruh dari pandangan di masyarakat berkenaan dengan pola konsumtif yang berkembang. Bahkan, mereka tidak paham mana yang disebut kebutuhan dan mana yang terkategori keinginan. Maka, realitas peningkatan jumlah sampah di bumi sejatinya disumbang oleh sindrom konsumerisme yang berkembang di masyarakat akibat sistem kehidupan kapitalis."
Oleh. Habiba Mufida
(Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com-Bersyukur, tahun ini umat Islam bisa berkumpul dengan sanak keluarga. Setelah dua tahun silam tidak bisa berlebaran secara bebas akibat pandemi yang melanda. Namun, hari raya ternyata menyisakan beberapa problematika. Selain permasalahan kepadatan dan kemacetan jalan raya, berikut mahalnya biaya transportasi, ternyata penumpukan sampah juga menjadi permasalahan yang patut menjadi perhatian.
Sebagaimana terjadi di provinsi Jawa Barat. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung, Dudy Prayudi, mengatakan, peningkatan volume sampah hingga 60 ton di hari lebaran (Republika). Hampir sama dengan permasalahan sampah di Pontianak, Kalimantan Barat. Di provinsi ini, produksi sampah hariannya bahkan bisa mencapai 400 ton per hari. Begitu juga dengan wilayah lainnya, sampah telah menjadi petaka bagi lingkungan hingga saat ini.
Jika kita mencermati, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian berkenaan dengan permasalahan sampah.
Pertama, mayarakat dunia saat ini tampaknya memang sedang memiliki kepuasan tersendiri jika berbelanja dan bisa mengoleksi barang tertentu. Hal ini sejalan dengan gaya hidup konsumerisme yang bersumber dari konsep ekonomi kapitalisme sekuler. Sebagian dari mereka memiliki hobi mengoleksi barang branded. Hobi tersebut dijalankan, baik karena tuntutan pekerjaan maupun prestise yakni sekadar memenuhi kepuasan. Begitu juga para sosialita, rela berburu barang koleksi semata karena kebanggaan.
Bahkan media sosial turut mengampanyekan gaya hidup konsumtif tersebut, sedangkan perdagangan digital begitu mudah memanjakan mata masyarakat sekaligus memberikan kemudahan untuk bertransaksi. Akibatnya, konsumerisme saat ini bukan lagi sekadar berburu barang mewah. Bahkan semua lapisan masyarakat telah terkondisikan untuk bergaya hidup yang konsumtif. Membeli sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Berbelanja barang yang sebenarnya mereka belum membutuhkan.
Kedua, bisa dikatakan bahwa penanganan sampah saat ini belum menjadi perhatian pemerintah. Yobel Novian Putra, Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia mengatakan, selama ini ada kesalahan fokus pengelolaan sampah di Indonesia. Seharusnya, pengelolaan sampah harus fokus difokuskan sejak dari hulu, yakni produsen. Caranya dengan menegakkan Extended Producer Responsibility (EPR) yang mewajibkan produsen mengubah desain kemasan, dari sekali pakai menjadi isi ulang. Semua kemasan yang diproduksi harus bisa melalui proses daur ulang, juga tidak menggunakan bahan berbahaya. (Aliansizerowaste)
Sedang di sisi hilir atau konsumen, seharusnya ada sosialisasi yang masif kepada masyarakat untuk memilah sampah. Bahkan harus ada sanksi tegas bagi mereka yang tidak memilah. Masyarakat juga perlu difasilitasi untuk mendaur ulang sampahnya. Pemerintah juga menetapkan untuk menghapus teknologi pembakaran sampah (thermal incinerator). Tersebab, cara ini menghasilkan emisi gas rumah kaca dan buangan abu yang serius. Selain itu, pemerintah juga perlu memacu pengomposan sampah domestik.
Berkaca dari dua hal di atas, kita bisa melihat bahwa penumpukan sampah saat ini sudah menjadi problematika sistemis. Secara individu, memang ada pengaruh dari pandangan di masyarakat berkenaan dengan pola konsumtif yang berkembang. Bahkan, mereka tidak paham mana yang disebut kebutuhan dan mana yang terkategori keinginan. Maka, realitas peningkatan jumlah sampah di bumi sejatinya disumbang oleh sindrom konsumerisme yang berkembang di masyarakat akibat sistem kehidupan kapitalis.
Sedangkan kesalahan memandang tata kelola penanggulangan sampah yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah justru terabaikan. Sebaliknya, mereka justru lebih condong untuk menjaga kepentingan korporasi dan para pemilik modal. Akibatnya tidak ada regulasi yang jelas dan tegas untuk mengatur proses produksi. Bahkan, keinginan untuk meraup keuntungan justru menjadi perhatian utama. Jelas, hal ini karena kesalahan di dalam memandang paradigma kehidupan.
Berbeda dengan Islam yang menempatkan kelestarian lingkungan sebagai poin penting di dalam pembangunan. Sebagaimana firman Allah Swt, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS Al-A’raf: 56)
Sedangkan Rasulullah saw. sendiri senantiasa mengingatkan para Sahabat untuk menjaga lingkungan. Sebagaimana saat hendak melakukan perang, Rasulullah memerintahkan agar tidak menebangi pohon dan merusak lingkungan. Para sahabat juga memahani dengan betul hakikat firman Allah, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…” (QS.Ar-Ruum: 41)
Ayat di atas adalah perintah kepada manusia untuk senantiasa menjaga lingkungan, karena hal tersebut diseru oleh Sang Pencipta manusia. Secara individu, umat Islam harus bisa memilih mana kebutuhan dan keinginan. Dengan demikian, tidak membeli sesuatu secara berlebihan yang akan berakibat adanya penumpukan sampah. Sedangkan dari sisi kenegaraan, penting untuk melakukan kontrol terhadap pengusaha sehingga di dalam aktifitas produksi nya tidak sampai mencemari lingkungan. Pemerintah juga wajib melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat bagaimana cara memilah sampah, mendaur ulang sampah non-organik dan bagaimana mengelola sampah organik. Dengan demikian, masyarakat akan benar-benar ikut aktif dalam mengelola sampah rumah tangga mereka.
Walhasil, butuh sinergisitas antara masyarakat dan pemerintah. Lebih dari itu, kesamaan paradigma kehidupan menjadi hal yang urgen. Kapitalisme adalah sumber adanya penumpukan sampah yang tak bisa dicegah. Sedang paradigma Islam menjadikan penjagaan lingkungan adalah hal wajib dilakukan. Menjadi dosa jika diabaikan. Namun, secara kenegaraan butuh adanya pengaturan politik ekonomi dalam menyelesaikan problem sampah. Maka, dengan sistem Islam kaffah saja penumpukan sampah ini bisa terselesaikan secara tuntas. Wallahu a'lam bi showab.[]