"Pada faktanya, negara-negara maju itu hendak menghambat kemajuan negara-negara berkembang yang mayoritas adalah negeri-negeri kaum muslimin. Dengan demikian, umat Islam akan terus tertinggal."
Oleh. Mariyatul Qibtiyah, S.Pd.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Elon Musk, orang terkaya sedunia versi Forbes, menyatakan ketertarikannya untuk berinvestasi di Indonesia. Hal itu disampaikannya melalui cuitannya di Twitter. Cuitan itu merupakan balasan atas cuitan Presiden RI, Joko Widodo.
Sebelumnya, Elon Musk telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Boca Chica, Amerika Serikat pada tanggal 15 Mei 2022. Pertemuan itu merupakan tindak lanjut dari pertemuan Luhut Binsar Panjaitan, Menko Kemaritiman dan Investasi dengan pemilik Space X dan Tesla tersebut. Dalam pertemuan itu, Presiden Joko Widodo menawarkan kepada CEO Tesla Inc. itu untuk berinvestasi di Indonesia. Pertemuan tersebut ternyata membawa hasil.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa Tesla akan berinvestasi di Indonesia tahun ini. Tesla berminat untuk berinvestasi pada ekosistem baterai mobil dan mobil listrik. Investasi tersebut, sebagian dilakukan di Kawasan Industri (KIB) Batang, Jawa Tengah. (tempo.co, 18/5/2022)
Sebelumnya, LG Energy Solution dan Foxconn Technology Group juga telah menyatakan kesiapannya untuk berinvestasi di Indonesia. Sedangkan Foxconn adalah produsen elektronik multinasional dari Taiwan.
LG akan membangun pabrik komponen baterai mobil listrik di Batang, Jawa Tengah. Nilai investasi perusahaan dari Korea Selatan ini mencapai Rp142 triliun. Pembangunan pabrik ini akan membuat Indonesia berpeluang menjadi salah satu negara yang memiliki industri baterai mobil terbesar di dunia. (sindonews, 22/4/2022)
Foxconn akan berinvestasi pada ekosistem kendaraan listrik yang komprehensif, mulai dari pembuatan baterai listrik, hingga kendaraan listrik roda dua, empat, serta bus listrik. Nilai investasinya sebesar Rp114 triliun. Foxconn juga akan membangun pabriknya di Batang, Jawa Tengah. (asiatoday.id, 11/2/2022)
Investasi Asing, Menguntungkan atau Merugikan?
Banyaknya investor asing yang masuk ke Indonesia dianggap menguntungkan Indonesia. Pasalnya, industri yang mereka bangun diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan baru, meningkatkan pendapatan dari pajak, mendatangkan devisa bagi Indonesia, serta transfer teknologi baru ke Indonesia.
Meskipun demikian, ada dampak negatif yang akan muncul. Pertama, ketergantungan terhadap asing. Kebutuhan terhadap investor asing itu akan membuat kita cenderung mengikuti apa yang diinginkan oleh negara asal investor.
Kedua, melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Hal itu terjadi karena adanya keharusan bagi Indonesia untuk membayar dividen ke negara asal investor. Pada saat itulah, terjadi penjualan rupiah dan pembelian dolar dalam jumlah yang besar. Itulah yang menyebabkan turunnya nilai rupiah. Secara tidak langsung, hal ini akan menurunkan kemampuan Indonesia untuk mengimpor produk-produk yang dibutuhkannya. Misalnya, impor minyak, kedelai, dan sebagainya.
Ketiga, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Sering kali, investor asing itu tidak mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah pun tidak berani berbuat tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.
Mengapa Indonesia tidak Membangun Industri Sendiri?
Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Jumlah penduduknya juga sangat besar. Saat ini, populasinya mencapai 270 juta jiwa dengan 150 juta jiwa di antaranya adalah middle class growing.
Sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia pun beragam, mulai dari minyak, emas, batubara, nikel, aluminium, tembaga, bauksit, dan sebagainya. Berbagai bahan tambang itu merupakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membangun industri mobil listrik dan komponennya. Namun, mengapa Indonesia tidak membangun sendiri industrinya?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu. Pertama, adanya tekanan dari negara-negara maju terhadap Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia berada di bawah tekanan negara-negara maju. Negara-negara maju itu dapat dikatakan menjadi penguasa yang mengendalikan negara-negara berkembang. Misalnya, mengatur perusahaan mana saja yang boleh berinvestasi di negara tersebut.
Dalam kaitannya dengan mobil listrik ini, Indonesia mendapat tekanan dari Jepang. Selama ini, pasar mobil di Indonesia dibanjiri oleh mobil-mobil dari Jepang. Jepang tentu tidak rela jika harus kehilangan sumber pendapatan yang selama ini dinikmatinya.
Kedua, politik ekonomi negara-negara maju yang meyakinkan negara-negara berkembang bahwa mereka belum siap untuk membangun industri sendiri. Alasannya, hal itu membutuhkan waktu yang lama. Di samping itu, negara-negara berkembang tersebut tidak memiliki lingkungan industri, seperti para insinyur dan pekerja teknik yang andal.
Tentu saja, hal ini merupakan alasan yang dibuat-buat. Pada faktanya, negara-negara maju itu hendak menghambat kemajuan negara-negara berkembang yang mayoritas adalah negeri-negeri kaum muslimin. Dengan demikian, umat Islam akan terus tertinggal.
Demikian pula dengan alasan tidak adanya lingkungan industri di negara-negara berkembang. Padahal, di negara-negara itu banyak terdapat insinyur maupun pekerja teknik. Bahkan, ada banyak tenaga ahli. Namun, keahlian mereka tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kemajuan negara.
Negara-negara berkembang itu meyakini apa yang disebut The Rostow's Five Stages of Economic Growth and Development (lima tahap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi menurut Rostow). Lima fase itu adalah, fase masyarakat tradisional, pra masyarakat lepas landas, masyarakat lepas landas, masyarakat matang, dan masyarakat konsumsi tinggi. Masing-masing fase memiliki syarat yang harus dipenuhi.
Semua fase itu harus dilalui. Jadi, tidak mungkin dari masyarakat tradisional melompat ke masyarakat konsumsi tinggi. Sedangkan negara industri itu berada pada fase yang paling tinggi. Karena itu, negara-negara berkembang akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mencapainya.
Padahal, teori itu dibuat hanya untuk mencegah terjadinya revolusi industri di negara-negara berkembang itu. Sebab, faktanya ada negara yang melakukan lompatan besar, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat industri. Hal itu telah dibuktikan oleh Rusia.
Pasca Perang Dunia I, Lenin diminta untuk mengembangkan pertanian dengan mendatangkan mesin traktor dari luar negeri. Namun, ia bertekad untuk membangun pabrik traktor sendiri. Pada tahun 1930, berdirilah Kharkivskii Traktorniy Zavod (Pabrik Traktor Kharkiv). Maka, pertanian Rusia pun berkembang, tanpa bergantung kepada asing.
Kebijakan Industri dalam Islam
Dalam Islam, tidak ada satu hal pun yang tidak diatur olehnya. Mulai dari urusan makanan, pakaian, hingga pemerintahan. Demikian pula, Islam telah mengatur masalah industri. Hal ini merupakan bagian dari politik ekonomi negara.
Dalam politik ekonomi Islam, industri dibangun untuk mewujudkan maqashidu asy-syari'ah , yaitu,l melindungi serta memelihara jiwa, agama, akal, nasab, kemuliaan, harta, keamanan, dan negara. Pada saat yang sama, industri dibangun atas dasar strategi dakwah dan jihad. Industri juga harus berlandaskan pada kemandirian, tidak boleh ada ketergantungan terhadap orang-orang kafir, baik dari sisi ekonomi, teknologi, maupun politik.
Ketergantungan terhadap orang-orang kafir akan membuka jalan penguasaan mereka terhadap kaum muslimin. Padahal, ini merupakan satu hal yang dilarang oleh Allah Swt. Allah Swt. telah berfirman dalam Surah An-Nisa [4] ayat 141,
ولن يجعل الله للكفرين على المؤمنين سبيلا
"Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan bagi orang-orang kafir atas orang-orang mukmin."
Di samping itu, seluruh industri harus dapat dimodifikasi untuk menyediakan berbagai keperluan yang dibutuhkan dalam jihad. Misalnya, industri panci atau kereta api dapat disulap menjadi industri senapan atau tank.
Karena itu, industri yang harus dibangun terlebih dahulu adalah industri alat-alat berat. Dari industri ini, akan dibangun industri-industri lainnya. Maka, yang harus ditanamkan kepada umat adalah pemikiran untuk mandiri, bukan tergesa-gesa untuk menikmati.
Demikian pula dengan mobil listrik. Dengan ketersediaan bahan baku yang melimpah, serta sumber daya manusia yang besar, tentu kita mampu membangun sendiri. Dengan demikian, tidak perlu lagi mendatangkan investor asing yang hanya akan menjerat kita dengan utang-utangnya.
Wallaahu a'lam bishshawaab.[]