Mahar dan "Jatah Mantan"

"Adanya mantan pacar dan mereka kembali melakukan interaksi, baik sekadar bertemu atau malah berzina, mencerminkan bahwa agama hanya dianggap sekadar aturan semu. Akad nikah tidak lagi menjadi sakral karena gagal memosisikan nikah sebagai pintu jodoh sejati."

Oleh. Maman El Hakiem

NarasiPost.Com-Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nidzam al-Ijtima'i Fi Al-Islam menjelaskan perihal mahar (mas kawin) dalam pandangan Islam. Disebutkan pada bab pernikahan, bahwa mahar sebagai kewajiban seorang pria (suami) terhadap wanita (istri). Sebaliknya, menetapkan mahar itu sebagai hak seorang wanita (istri) dari seorang laki-laki (suaminya).

Penjelasan tersebut selaras dengan kalam Allah Swt. dalam QS. An-Nisa: 4, yang artinya: "Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan." Tidak ada standar nilai mahar dalam hal ini karena mahar adalah pemberian yang tidak diharuskan dengan barang tertentu dengan jumlah nominal tertentu pula.

Mahar juga bukan simbol harga dari seorang wanita yang dinikahinya. Menjadi hal yang keliru bila beranggapan bahwa nilai mahar menentukan kehormatan seorang wanita yang akan dinikahi. Bahkan bisa menjadi beban berat bagi calon suami yang akan menikahinya kalau mahar menjadi hal yang diutamakan dengan nominal tertentu.

Nihlah atau ash-shadaq (mahar) adalah pemberian, bukan "harga" atas kompensasi atau nilai manfaat atas adanya hubungan suami istri dan kenikmatan yang didapatkannya. Sebagai pemberian, maka boleh saja mahar itu bentuknya materi seperti uang, kalung emas, cincin permata atau imitasi dari besi sekalipun, asal ada kerelaan dari wanitanya. Selain itu, mahar bisa berupa nonmateri, semisal hafalan ayat Al-Qur'an, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dari jalur Sahal ibn Sa'd As-Saidi, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Carilah meski hanya sebuah cincin besi! Dan ia tidak menemukan sesuatu pun. Maka, Rasulullah saw. menikahkannya dengan wanita itu dengan mahar ayat Al-Qur'an yang dihafalnya."

Menikah Tanpa Mantan

Sangat menarik jika memperhatikan bagaimana Rasulullah saw. mempersaudarakan para sahabatnya, terutama pasca hijrah ke Madinah, antara kaum Anshar dan Muhajirin melalui ikatan pernikahan. Beberapa sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Salman Al-Farisi dan Abu Darda memiliki kisah menarik tentang pernikahannya. Abdurrahman bin Auf lebih memilih berniaga terlebih dulu ke pasar sebelum menerima tawaran menikah dengan wanita Madinah.

Adapun Abu Darda yang semula berkehendak melamarkan gadis dari kaum Anshar untuk sahabatnya Salman Al-Farisi, ternyata malah ia sendiri yang berjodoh dengan wanita tersebut karena orang tua wanitanya tidak menyukai Salman. Namun, apa yang diucapkan Salman Al-Farisi ketika yang berjodoh malah sahabatnya itu? Ia berkata: Harusnya akulah yang merasa lebih malu karena hendak meminangnya, padahal Allah Swt. telah menakdirkan wanita tersebut untukmu."

Sungguh mengagumkan proses perjodohan dari para sahabat pada masa Rasulullah saw. karena tidak ditemukan "mantan" yang menjadi duri dalam pernikahan. Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme seperti sekarang ini, jodoh seakan terasa sulit dan rumit, tidak mudah dan murah, apalagi untuk mencari berkah dari pernikahan.

Banyak ditemukan proses menuju pernikahan yang tidak sesuai syariat, bisa karena diawali pacaran atau akad nikah yang batil karena hamil duluan. Tidak sedikit wanita yang masih bisa menjaga kehormatan dan siap untuk menikah, namun sulit menemukan jodohnya, padahal usianya sudah tidak remaja lagi. Ironinya, banyak laki-laki muslim yang tidak berani melamarnya karena persepsi yang salah tentang jodoh yang harus kafaah (sekufu), padahal syariat Islam tidak mensyaratkannya.(Baca: Menikah Tanpa Harus Kafaah)

Mereka yang telat menikah bukan berarti tidak ada jodohnya, melainkan telah melewati masa idealnya untuk menikah. Tujuan menikah adalah untuk melanjutkan keturunan, sedangkan wanita sangat rentan dan berisiko tinggi untuk melahirkan jika usianya sudah tidak muda lagi.

Dikutip dari laman alodokter.com, dr. Kevin Adrian menyebutkan bahwa bagi wanita untuk hamil adalah sekitar usia 20 tahun hingga awal 30 tahun. Ketika wanita memasuki usia 35 tahun, tingkat kesuburan atau fertilitas umumnya menurun, sehingga memengaruhi jumlah dan kualitas sel telur yang diproduksi.

Islam Memudahkan Pernikahan

Persoalan pernikahan semakin pelik saat biaya untuk menikah terbilang mahal dan memberatkan calon suami. Sebagaimana diketahui, untuk urusan menikah saja banyak syarat administrasi yang harus dipenuhi yang ujung-ujungnya keluar uang, apalagi ditambah kebiasaan adat istiadat daerah setempat. Tidak jarang masyarakat lebih mengutamakan syarat adat daripada ketentuan syariat Islam yang sebenarnya.

Sebuah kewajaran karena akar masalahnya masih membumi, yaitu demokrasi. Tidak terjaganya interaksi lawan jenis dan pemahaman pernikahan yang semata-mata formalitas, tidak menjadikannya ruh agar pernikahannya diberkahi Allah Swt. Fenomena "jatah mantan" yang ramai dibicarakan di jagat maya memang faktanya ada.

Adanya mantan pacar dan mereka kembali melakukan interaksi, baik sekadar bertemu atau malah berzina, mencerminkan bahwa agama hanya dianggap sekadar aturan semu. Akad nikah tidak lagi menjadi sakral karena gagal memosisikan nikah sebagai pintu jodoh sejati. Bila berjodoh bukan karena proses yang syar'i, ujung-ujungnya pasti kemaksiatan dan menjadi duri dalam rumah tangga.

Rusaknya keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga salah satu sebabnya karena adanya mantan sebelum nikah. Kadang kala pernikahan terpaksa dijalani hanya untuk menutupi aib diri dari hubungan gelap akibat cinta yang terlarang. Banyak pasangan yang sudah menikah tidak mendapatkan ketenangan karena dosa-dosa di masa lalunya yang terus menghantui, apalagi jika mantannya masih saja mengincar untuk merebutnya kembali dari suaminya yang sah. Sungguh sangat menyedihkan.

Kehormatan seorang wanita ketika dinikahi bukan karena maharnya, melainkan nilai ketakwaannya. Begitu pun kenikmatan yang dirasakan saat berhubungan suami istri, tidak ada kaitannya dengan nilai mahar, melainkan kenikmatan yang Allah Swt. berikan secara alamiah. Nilai kealamiahan itu akan dikonversi jadi pahala sebagai ibadah kalau memenuhi hukum syariat melalui pintu pernikahan yang diberkahi Allah Swt., yaitu pernikahan yang bukan hanya buah dari ketakwaan pasangan individunya,melainkan pula ketakwaan kolektif masyarakat yang rela diatur dengan syariat Islam yang diterapkan oleh negara secara kaffah.

Wallahu'alam bish Shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Maman El Hakiem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Sultan Abdul Hamid ll, Benteng Terakhir Khilafah Utsmaniyah
Next
Lebih dari Makna, Nama adalah Doa
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram