"Tak bisa dimungkiri bahwa kenaikan harga pangan dan energi di negeri ini akibat diterapkannya sistem kapitalisme. SDA yang seharusnya dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat, malah diserahkan kepada para kapitalis atau pemilik modal. Akibatnya, rakyat harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan harga yang mahal."
Oleh. Sri Retno Ningrum
(Penulis Ideologis)
NarasiPost.Com-Anggota DPR RI Komisi IV, Andi Akmal Pasluddin mengamati, bahwa kenaikan harga pangan dan energi yang terjadi di negeri ini telah menurunkan daya beli masyarakat dan diduga menaikkan angka kemiskinan. Beliau menambahkan ada sekitar 115 juta kelas menengah dan masih ada ratusan juta rakyat menengah ke bawah yang terguncang dengan kenaikan tersebut. Adapun harga pangan yang mengalami kenaikan mulai dari minyak goreng hingga cabai rawit. Sebelumnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik 11 persen. Begitu pula, harga pertamax naik serta solar nonsubsidi. (Media Indonesia, 4/4/2022)
Dilansir dari CNN Indonesia, akhir-akhir ini para ibu sering mengeluh akibat kenaikan harga barang naik, bahkan menyentuh juga harga kerupuk kaleng. Ikatan Pengusaha Kerupuk DKI Jakarta, Kemah Mahmud mengatakan harga kerupuk kaleng eceran di ibukota akan naik dari Rp1.000,00 menjadi Rp2.000,00 per buah mulai 6 Mei 2022. Kemah mengatakan terpaksa menaikkan harga kerupuk karena mahalnya minyak goreng. Akibatnya, biaya produksi mengalami kenaikan 100 persen (20/4/2022).
Kenaikan harga pangan dan energi tentu menambah penderitaan rakyat. Sehingga akan menambah angka kemiskinan, padahal negeri ini mendapat julukan “negeri gemah ripah loh jinawi” yang artinya negeri ini memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, seperti: tembaga, minyak bumi, batu bara, hasil perkebunan, hasil laut dan masih banyak lagi. Tentu kita patut bertanya, mengapa hal itu terjadi?
Tak bisa dimungkiri bahwa kenaikan harga pangan dan energi di negeri ini akibat diterapkannya sistem kapitalisme. SDA yang seharusnya dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat, malah diserahkan kepada para kapitalis atau pemilik modal. Akibatnya, rakyat harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan harga yang mahal.
Pemerintah memang sudah memberikan berbagai bantuan untuk meringankan beban hidup rakyat, seperti: Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kartu Prakerja, BLT dana desa, Bantuan Subsidi Upah (BSU), dan yang terbaru BLT minyak goreng. Akan tetapi, semua bantuan tersebut tidak mampu menjadikan rakyat sejahtera. Lebih dari itu, bantuan tersebut kerap mengalami salah sasaran. Rakyat yang sebetulnya mampu banyak yang mendapatkan bantuan, sedangkan yang benar-benar miskin tidak mendapatkan bantuan. Tak jarang pula, mereka yang mendapatkan bantuan memiliki hubungan erat dengan penguasa setempat, padahal mampu. Akhirnya, terjadilah kesenjangan sosial. Miris!
Islam memiliki seperangkat aturan untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Kepemilikan harga yang dimiliki negara dikelola sesuai syariat dan menjadikan halal dan haram sebagai standarnya, mulai dari pengelolaan kepemilikian harta hingga distribusi terhadap rakyatnya. Pengaturan kepemilikan harta terbagi dalam tiga aspek, yakni: individu, umum dan negara. Adapun mekanisme jaminan kebutuhan rakyat terwujud dalam beberapa hal:
Pria dewasa yang mampu bekerja diwajibkan untuk mencari nafkah, bagi anak-anak, perempuan dan orang lanjut usia yang wajib memenuhi kebutuhan hidupnya adalah pria dewasa, jika tidak ada maka pemenuhannya dibantu oleh kerabat laki-laki atau tetangga dekat, apabila tidak ada maka jaminan hidupnya ditanggung oleh negara. Apabila pria dewasa atau suami tidak memiliki modal, maka negara wajib memberikan modal atau lapangan pekerjaan.
Terkait hasil dari kepemilikan umum yang dikelola negara, itu semua digunakan untuk memenuhi hak rakyat, seperti: pendidikan dan kesehatan. Ditambah lagi, sumber pendapatan negara yang berasal dari zakat, fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, dan sebagainya akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Begitulah bentuk jaminan negara terhadap rakyatnya. Semua itu terwujud dalam bingkai negara Islam atau khilafah.
Sejarah Islam telah membuktikan bahwa Khilafah mampu menyejahterakan rakyatnya bahkan tidak ada warganya yang miskin. Sebagai contoh, pada masa khalifah Umar bin al-Khatthab meski hanya 10 tahun masa pemerintahannya mampu memberikan kesejahteraan pada penduduk seluruh negeri. Beliau pernah menyuruh Muadz bin Jabal untuk memberikan zakat pada orang miskin, namun Muadz kesulitan mendapatkan warganya yang miskin. Begitu pula pada masa Umar bin Abdul Aziz telah berhasil menyejahterakan rakyatnya. Ibnu Abdil Hakam (Sirah Umar bin Abdul Aziz, hal. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said seorang petugas zakat pada masa itu, berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya pada orang miskin namun saya tidak menjumpainya. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Al Qaradhawi, 1995).
Sungguh, sistem Islamlah yang mampu menciptakan kesejahteraan hidup pada rakyatnya. Maka dari itu, sudah selayaknya kita berpaling dari sistem kapitalisme kemudian beralih pada sistem Islam atau Khilafah, karena khilafahlah yang mampu menyejahterakan rakyatnya tanpa memandang perbedaan agama, ras, suku dan golongan apa pun. Wallahu’alam Bisshowab.[]