“Fakta tersebut sekaligus menegaskan bahwa Singapura tidak sedang menerapkan mekanisme bertahan hidup (survival). Namun, ‘Kota Singa’ tampaknya tengah didera gejala islamofobia akut sehingga menganggap ulama dan ajaran Islam membahayakan.”
Oleh. Sartinah
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Singapura tengah menjadi sorotan berbagai media negeri ini. Pasalnya, negara yang dijuluki ‘Kota Singa' tersebut terang-terangan melarang seorang ulama untuk memasuki negaranya. Bahkan, sang ulama diperlakukan tidak hormat layaknya ‘pesakitan’. Ada apa dengan Singapura? Benarkah tindakan berlebihan pemerintah Singapura adalah mekanisme pertahanan hidup (survival) dari ‘ancaman’, atau justru gejala islamofobia akut tengah menjangkiti negara tersebut?
Ulama karismatik dan intelektual muslim Indonesia, ustaz Abdul Somad atau UAS baru-baru ini ditolak masuk ke Singapura. Beliau beserta keluarga dan sahabatnya semula hendak berlibur ke ‘Kota Singa’ pada 16 Mei 2022 selama dua hari. Berdasarkan penjelasan UAS, beberapa hari sebelum keberangkatan seluruh dokumen perjalanan sudah dipenuhi termasuk rute perjalanan. Bahkan, Immigration and Checkpoints Authority (ICA) Singapura pun sudah mengeluarkan arrival card.
Tak disangka, UAS dan seluruh rombongan yang sudah hampir ke luar pelabuhan, ditarik kembali masuk imigrasi. Tanpa wawancara dan penjelasan, UAS bahkan langsung ditahan dan dimasukkan ke dalam ruangan berukuran 1x2 meter yang beratap jeruji selama satu jam. Sementara rombongan beliau dimasukkan ke ruangan berbeda. Setelah beberapa jam ditahan imigrasi, UAS dan rombongan akhirnya dipulangkan kembali ke Batam. (Liputan6.com, 17/05/2022)
Polemik Deportasi sang Dai
Dideportasinya UAS dari Singapura tak ayal memantik dukungan dari kaum muslim di dalam negeri. Massa dari kelompok Pertahanan Ideologi Sarekat Islam (Perisai) kemudian menggelar demo di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Singapura di Jakarta pada Jumat, 20 Mei 2022. Mereka mengancam akan mengusir pihak Kedubes Singapura jika dalam tempo 2x24 jam tidak meminta maaf.
Dalam aksi protesnya, terdapat tiga tuntutan yang disampaikan massa Perisai ke Polda Metro Jaya. Pertama, mengecam dan mengutuk keras tindakan tidak menyenangkan dari imigrasi Singapura terhadap UAS. Kedua, meminta Kedubes Singapura memberikan klarifikasi dan meminta maaf secara terbuka. Ketiga, meminta agar Kedubes Singapura diusir karena negeri tersebut telah berani mengusir ulama yang dihormati rakyat Indonesia.
Setelah mendapat banyak desakan tentang alasan deportasi UAS, Kementerian Dalam Negeri Singapura akhirnya buka suara. Dalam sebuah pernyataan tertulisnya, Singapura mengungkap alasan penolakan tersebut. Di antaranya, Singapura mengungkit khotbah UAS tentang bom bunuh diri. UAS mengatakan dalam khotbahnya, dalam konteks konflik Israel-Palestina bom bunuh diri adalah sah dan dianggap syahid.
Dalam komentar selanjutnya, Kemendagri Singapura menganggap UAS sebagai penceramah ekstremis dan mengajarkan segregasi (memecah belah). Menurut mereka, hal ini tidak bisa diterima oleh masyarakat Singapura yang multiras dan multiagama. Selain masalah bom bunuh diri, UAS dianggap merendahkan anggota komunitas agama lain, seperti Kristen, dengan menggambarkan salib sebagai tempat ‘jin kafir’. Bahkan, UAS dianggap terang-terangan telah menyebut nonmuslim sebagai kafir. (Detik.com, 22/05/2022)
Islamofobia di ‘Kota Singa’
Label ekstremis yang disematkan pemerintah Singapura terhadap UAS sungguh berlebihan. Pasalnya, apa yang disampaikan UAS terkait konflik Israel-Palestina, salib, dan kafir, esensinya adalah bagian dari ajaran Islam dan bukan merupakan ciri-ciri ekstremis. Andai pun penolakan Singapura atas UAS sebagai bagian dari mekanisme pertahanan hidup (survival) –di mana UAS dianggap ancaman—hal ini tetaplah berlebihan. Sebab, secara tidak langsung mereka menganggap ulama dan ajaran Islam sebagai ancaman.
Memang benar, Singapura merupakan negara kecil yang diapit oleh negara-negara besar seperti Indonesia dan Malaysia. Sebagai negara kecil, Singapura memang didesain menjadi negara yang fokus pada survival. Sehingga, wajar jika ‘Kota Singa’ tersebut sangat berhati-hati terhadap segala sesuatu yang dianggap membahayakan. Terlebih, Singapura memiliki komposisi etnis Cina sebagai mayoritas, melayu yang lekat dengan identitas Islam, serta India. Karena itu, Singapura menjaga dirinya dari kondisi yang relatif rentan memantik ketidakstabilan. Salah satu bentuknya adalah adanya penolakan terhadap UAS.
Namun, Singapura kini tak seperti pada masa Perdana Menteri Lee Kwan Yew pada 1960-an. Saat itu terjadi segregasi ekonomi yang berdampak besar terhadap segregasi kultural (termasuk agama). Pada umumnya segregasi kultural terjadi karena adanya segregasi ekonomi. Apabila masalah ekonomi telah teratasi, maka masalah kultural akan aman. Saat ini ekonomi masyarakat Singapura, baik etnis Cina, Melayu, maupun India telah meningkat. Artinya, tidak perlu ada kekhawatiran adanya segregasi sosial atas kedatangan UAS.
Fakta tersebut sekaligus menegaskan bahwa Singapura tidak sedang menerapkan mekanisme bertahan hidup (survival). Namun, ‘Kota Singa’ tampaknya tengah didera gejala islamofobia akut sehingga menganggap ulama dan ajaran Islam membahayakan.
Tak bisa dimungkiri, gerakan islamofobia memang telah menjalar ke seluruh dunia tak terkecuali Singapura. Kekhawatiran ekstremisme yang menghinggapi Singapura adalah imbas dari paradigma global yang dicukongi oleh Amerika Serikat (AS) pascatragedi 11 September 2001. Peristiwa tersebut menjadi pejaka yang turut mengubah persepsi tentang Islam. Momentum tersebut pun tak pelak menyemai benih-benih islamofobia yang kini mengular ke seluruh dunia. Gerakan islamofobia yang tak mampu dibendung hingga kini, sekaligus menegaskan kegagalan PBB dan resolusinya tentang combating islamofobia (memerangi islamofobia) yang ditetapkan pada 15 Maret 2022.
Gagalnya Negara Menjaga Ulama
Penolakan dan perlakukan tidak menyenangkan dari imigrasi Singapura terhadap UAS nyatanya tak mampu disikapi tegas oleh pemerintah. Negara yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap rakyatnya, justru terkesan mengaminkan tindakan Singapura. Pemerintah pun mengaku tidak mampu berbuat apa pun, sebab diterima atau ditolaknya seseorang masuk negara lain adalah menyangkut kedaulatan negara tersebut.
Memang benar, menjaga kedaulatan adalah kewajiban setiap negara, termasuk Singapura. Namun, menjaga ulama juga menjadi kewajiban negara, khususnya Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Penolakan UAS oleh Singapura dengan dalih menjaga kedaulatan, sama saja menganggap UAS dan dakwah Islam sebagai ancaman.
Padahal, UAS adalah seorang ulama karismatik yang mendedikasikan hidupnya untuk dakwah. Seorang ulama adalah pewaris Nabi. Pewaris Nabi sejatinya tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Dengan ilmu, manusia akan selamat di dunia dan akhirat. Karenanya tak layak seorang ulama diperlakukan tidak hormat, apalagi oleh negara kecil seperti Singapura.
Tak hanya soal lemahnya penjagaan ulama, negara pun tak mampu bersikap tegas saat terjadi pengibaran bendera ‘kaum pelangi’ oleh Kedubes Inggris. Lemahnya sikap penguasa telah membuat negeri ini kehilangan muruah di mata bangsa lain. Tak lagi ditakuti, apatah lagi disegani.
Demokrasi Sekuler Biang Pelecehan terhadap Islam
Pasifnya peran negara dalam menjaga ulama dan kewibawaan negeri ini adalah wujud penerapan sistem demokrasi sekuler. Demokrasi yang menafikan aturan Tuhan telah nyata mengharamkan agama untuk mengatur manusia. Ketika agama dipinggirkan, maka kebijakan pembelaan agama bukanlah prioritas. Termasuk absennya negara dalam membela ulama.
Penerapan sistem demokrasi pun semakin memasifkan serangan terhadap Islam. Terlebih dengan berkembangnya pemikiran sekuler dan hak asasi manusia (HAM). Berlindung di balik kebebasan berekspresi, negara-negara kafir semakin lancang menghina dan merendahkan Islam dan syariatnya. Tak heran jika stigma teroris, ekstremis, maupun radikal seolah sengaja disematkan terhadap Islam. Demokrasi adalah sebuah ekosistem yang sama sekali tidak memiliki ruang untuk Islam. Inilah sejatinya watak asli demokrasi.
Penjagaan Islam terhadap Ulama dan Agama
Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Di antara keutamaan penerapan syariat Islam adalah menjaga agama. Karena itu, negara di bawah naungan Islam (Khilafah) tidak akan membiarkan individu, kelompok, maupun negara lain menghina dan merendahkan Islam. Termasuk tidak membiarkan penghinaan terhadap para ulama. Sebab, melalui lisan mereka syiar Islam tersebar ke seluruh dunia.
Islam pun memberikan penghargaan tinggi kepada para pewaris Nabi. Bahkan, Nabi saw. sendiri mengatakan bahwa tidak akan masuk surga bagi siapa saja yang tidak memuliakan ulama. Sebagaimana tertuang dalam hadis riwayat Ahmad, Thabrani, dan Hakim: “Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak, dan tidak memuliakan alim ulama.”
Jika individu saja wajib memuliakan ulama dan menjaga agama, apalagi negara. Sejatinya negaralah yang lebih berkewajiban memberikan penjagaan kepada ulama dan agama. Ketegasan penguasa akan membuat bangsa lain takut dan segan. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh para khalifah pada era keemasan Islam.
Seperti ketegasan Sultan Hamid II yang berkuasa pada 31 Agustus 1876 sampai 27 April 1909 M. Saat itu Sultan Hamid sangat murka kepada Prancis yang hendak mengadakan pertunjukan teater dengan menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai tokoh utama. Sang Sultan pun memanggil kedutaan Prancis dan melayangkan protes keras atas pementasan teater tersebut.
Tak hanya itu, Sultan Hamid pula yang pernah menolak keinginan Theodor Herzl untuk membeli tanah sebagai tempat bermukim bangsa Yahudi. Semua dilakukan sang Sultan semata-mata demi membela Rasul saw. dan kaum muslimin. Seorang khalifah tak akan rela satu muslim pun dihinakan, apalagi jika dia seorang ulama.
Khatimah
Kebijakan penguasa sekuler saat ini tak jauh dari kepentingan politik. Sedangkan kepentingan politik terbesar adalah kepentingan politik yang tidak berpihak pada Islam. Terlebih negara-negara di dunia saat ini menganut hukum nonintervensi (tidak ikut campur) terhadap urusan domestik negara lain. Karena itu, mustahil rasanya mengharapkan penguasa membela Islam dan ulama dari penghinaan negara lain. Negeri ini perlu merekonstruksi sistem hidup secara total, yakni dengan membuang demokrasi ke lubang sampah peradaban, kemudian menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah.
Wallahu ‘alam bishshawab[]
Photo : Pinterest