Islamofobia Meracuni Intelektual

“Kaum intelektual yang dihasilkan dari negara yang mengadopsi sekularisme hanya akan menghasilkan generasi yang materialistis cara pandangnya, hedonis dalam gaya hidupnya, individualistis ketika bermasyarakat, dan bersikap pluralisme saat memandang agama.”

Oleh. Dira Fikri

NarasiPost.Com-Islamofobia seperti tiada habisnya menjadi racun di tengah kehidupan masyarakat, bahkan di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Prof Budi Santosa Purwokartiko, Rektor ITK Balikpapan baru-baru ini ramai dikabarkan akibat memosting status yang oleh publik dinilai mengandung rasis dan xenophobic. Tulisan Prof Budi yang diunggah tanggal 27 April 2022 lalu dipermasalahkan netizen karena menyinggung perihal kalimat yang kerap digunakan dalam ajaran Islam seperti, insyaallah, barakallah dan qadarullah. Dia juga menulis mengenai alat penutup kepala (hijab) seperti ala manusia gurun.

Banyak kalangan menganggap bahwa tulisan Prof. Budi masuk dalam kategori diskriminasi karena posisi beliau saat itu sebagai salah satu tim pewawancara Departemen Keuangan dalam Program Beasiswa LPDP yang diselenggarakan Kemenristekdikti. Dari postingannya, publik menilai bahwa mahasiswa yang taat beragama (baca: Islam) tidak layak lolos untuk mendapatkan beasiswa LPDP menurut standarnya.

Dari profil Prof. Budi, kita mengetahui bahwa perjalanan akademiknya tidak bisa dianggap biasa saja. Selain sebagai alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB), dia kemudian meraih gelar master dan doktor dari University of Oklahoma, Amerika Serikat. Dia sering menjadi dosen tamu dan narasumber dalam Program Mobilisasi Dosen Kemenristekdikti, serta penasihat pengurusan akreditasi prodi-prodi dan akreditasi institusi (AIPT) ITK sejak 2015.

Hal ini tidak lepas dari paham sekularisme yang telah mengakar menjadi pemikiran, nilai-nilai dan standar yang diemban masyarakat kita, tak terkecuali oleh para intelektual. Sekularisme yang memisahkan agama di ruang publik yang mengatur urusan masyarakat menjadikan agama kerdil dan hanya boleh ditampakkan di ruang privasi semata. Hal inilah juga yang menjadikan cikal bakal stigma radikal yang dianggap sebagai dosa nomor satu di dunia akademisi.

Kaum intelektual yang terbentuk dari negara yang mengadopsi sekularisme hanya akan menghasilkan generasi yang materialistis cara pandangnya, hedonis dalam gaya hidupnya, individualistis ketika bermasyarakat, dan bersikap pluralisme saat memandang agama. Islam seolah dianggap sama seperti agama lain yang hanya mengatur urusan ritual semata.

Orientasi para intelektual hari ini hanya bersifat materialistis duniawi. Seperti dinyatakan Prof. Budi bahwa lulusan terbaik kelak hanya akan berhenti untuk mengisi posisi-posisi BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Tidak ada tujuan yang bersifat visioner yang mengubah kondisi negara ini menjadi lebih baik. Di tengah gempuran permasalahan di negeri ini yang tak kunjung usai, seyogianya para intelektual juga mampu menjadi pribadi unggul yang tampil ikut andil untuk menentukan arah negeri ini.

Islam menentukan tujuan pendidikan untuk menciptakan generasi yang berkepribadian Islam. Di saat yang bersamaan juga menguasai tsaqafah Islam dan ilmu pengetahuan berupa sains dan teknologi untuk memudahkan kehidupan. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, membagi ilmu dalam dua kategori dilihat dari sisi kewajiban menuntutnya. Pertama, ilmu yang dikategorikan sebagai fardu ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini adalah ilmu-ilmu tsaqafah Islam, yakni pemikiran, ide dan hukum-hukum (fikih) Islam, bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumul qur’an, ulumul hadits dan sebagainya. Kedua, ilmu yang dikategorikan sebagai fardu kifayah, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian dari umat Islam. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini adalah sains dan teknologi serta berbagai keahlian, seperti kedokteran, pertanian, teknik dan sebagainya, yang sangat diperlukan bagi kemajuan material masyarakat.

Proses pendidikan juga dimaknai sebagai proses transformasi atau perubahan kemampuan potensial individu peserta didik menjadi kemampuan nyata untuk meningkatkan taraf hidupnya lahir dan batin. Sehingga, jika pendidikan tidak menghasilkan generasi yang beradab, taat pada Rabbnya, memberikan kemanfaatan dirinya untuk sesama serta berakhlak, itu dianggap bahwa proses pendidikan telah gagal. Kelulusan itu tidak hanya ditentukan sebatas angka, IPK maupun nilai yang tinggi tidak lantas menjadi jaminan bahwa seseorang telah berhasil. Karena taraf kehidupan seseorang tidak lantas meningkat sejalan dengan tingginya nilai akademik tersebut. Dalam pendidikan Islam, kelulusan lebih dinilai dari aspek penerapannya dalam kehidupan, karena sejatinya ilmu memang harus diterapkan dan bermanfaat dalam kehidupan.

Maka tidak aneh jika membaca sejarah kegemilangan Islam zaman dahulu, kita akan mengenal sosok seperti Ibnu sina, Al-Farabi, Al-Khawarizmi, Jabir bin Hayyan, Al-Kindi, Al-Battani, dan lain sebagainya. Sebagian besar dari mereka adalah polymath yaitu seseorang yang pengetahuannya tidak terbatas hanya pada satu bidang. Bahkan, karya-karya mereka menjadi fondasi bagi penemuan-penemuan sains modern saat ini. Para ilmuwan dan intelektual muslim ini bukan hanya jago di bidangnya, namun mereka juga orang-orang yang menguasai agamanya, karena memahami bahwa fondasi segala ilmu adalah ilmu agama.

Islamofobia adalah hasil dari ditegakkannya sekularisme di negeri ini. Islamofobia tentu saja akan membahayakan generasi. Maka selama negeri ini masih mengembannya, permasalahan hidup masyarakat tak akan kunjung tuntas, karena sesungguhnya solusi itu ada pada Islam yang ditegakkan secara sempurna. Maka intelektual harusnya bisa mengambil peran penting ini, sebagai upaya perbaikan generasi dengan membersihkan pemikiran-pemikiran rusak di luar Islam, sekaligus bersungguh-sungguh dalam dakwah Islam untuk membumikan Islam kaffah.

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (TQS. An-Nisa: 65)

Wallahu’alam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Dira Fikri Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mentalitas Sepilis Mewarnai Generasi di Bekasi?
Next
Covid-19 Belum Usai, Hepatitis Akut Mengintai
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram