“Istilah Islam Merah Putih sengaja dimunculkan dalam rangka mencegah politik identitas. Anehnya hanya politik Islam yang disebut sebagai politik identitas. Sejatinya, Islam Merah Putih justru memecah belah dan menghantam umat Islam.”
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Beberapa pekan terakhir, umat Islam di Indonesia kembali dihadapkan dengan pernyataan Islam Merah Putih yang dicetuskan oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani. Direktur Eksekutif Jaringan Moderasi Beragama Indonesia Islah Bahrawi menyampaikan bahwa gagasan Islam Merah Putih merupakan penangkal hadirnya politik identitas.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa konsep Islam Merah Putih menghadirkan keseimbangan antara nasionalisme dan agama, sehingga ruang atau celah bagi siapa saja yang memakai politik identitas atas nama agama menjadi tertutup. Menurutnya, hal ini tidak perlu diperdebatkan seolah menjadi aliran baru dalam Islam seperti sebelumnya orang mempermasalahkan Islam Nusantara (Bekaci.suara.com, 28/04/2022).
Adanya pernyataan Puan Maharani terkait Islam Merah Putih adalah pikiran keliru dan tidak relevan. Sebab, bagi seorang muslim, nasionalisme adalah pemahaman yang bertentangan dengan Islam. Memisahkan antara agama dengan kehidupan menampakkan cara pandang sekuler. Merah putih ya merah putih, Islam ya Islam satu tidak terbagi-bagi. Cara pandang Puan bukan intelek tetapi ngawur dan menyesatkan. Bahayanya masyarakat akan mundur kembali pada dikotomi sebagaimana di awal perdebatan ideologi negara antara golongan kebangsaan (merah) dan kelompok Islam (putih).
Islam Merah Putih memecah belah dan menghantam umat Islam. Selama ini berasumsi ada yang salah pada umat putih, dinilai tidak 'merah putih'. Katanya dalam rangka mencegah politik identitas. Anehnya hanya politik Islam yang disebut sebagai politik identitas. Sementara itu, sekuler, sosialis, komunis, kristiani, pragmatis, nasionalis bukan politik identitas? Durjana! Lebih celaka lagi bila yang dimaksud Islam Merah Putih adalah Islam yang tergabung dalam komunitas PDIP, sedangkan selain itu bukan Islam Merah Putih. Pendekatan segmentasi dari pengelompokan Islam seperti ini tentu membuat bodoh dan menyesatkan.
Terlebih, diksi Islam Merah Putih di kalangan grass root sangat mudah ditafsirkan bermacam-macam. Kentara adanya perbandingan Islam di tempat lain tidak lebih baik dari Islam di Negara Merah Putih. Gawatnya, kesan-kesan yang muncul diopinikan seolah-olah di negara lain konflik terjadi karena Islam atau orang Islam, bukan faktor sosial, ekonomi, politik, atau ideologi.
Kekuatan Politik Islam
Menyosialisasikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin adalah cara terbaik, bukan dengan membuat diksi baru yang justru menjegal politik Islam. Secara istilah, diksi, dan kenyataan tidak bisa mengutik-ngutik, kecuali kepada makna kebaikan. 'Merah Putih' yang seharusnya menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Islam, bukan sebaliknya. Tidak ada kata sepakat untuk menjadikan Indonesia sebagai Islam Merah Putih. Islam jauh sangat mulia dibandingkan dengan Merah Putih.
Kekuatan politik Islam ini memang pantas diakui karena memiliki keistimewaan yang tidak terdapat pada kekuatan politik sekuler. Politik Islam dibangun berdasarkan akidah Islam dan untuk menerapkan Islam di dalam negeri dan dakwah ke luar negeri. Hakikatnya, politik Islam adalah pengurusan urusan umat atas dasar kebenaran dan keadilan.
Akidah Islam yang mendorong kaum muslim memiliki perhatian terhadap dunia, menyebarkan Islam ke seluruh penjurunya dan mengatur dunia dengan syariat Islam. Inilah konsep politik yang sesungguhnya, yakni mengurusi seluruh urusan umat manusia. Sebab, syariat Islam hakikatnya adalah solusi bagi seluruh aspek kehidupan.
Politik adalah inti dari aturan Islam dan kekuatan politik Islam terpancar dari kekuatan akidah dan kebenaran hukum-hukumnya dalam menyelesaikan persoalan kehidupan manusia. Kekuatan politik Islam berbeda dengan politik sekuler.
Pertama, kekuatan hujah. Kekuatan hujah adalah kekuatan berasaskan dalil yang dipakai oleh umat Islam dalam melakukan tindakan karena pada dasarnya semua perbuatan seorang muslim harus terikat hukum syarak. Kewajiban menjadikan Islam sebagai pedoman hidup dalam semua lini kehidupan termasuk politik memiliki pijakan hujah yang tidak terbantahkan. Ayat-ayat Al-Qur'an dengan jelas memerintahkan umat agar mengambil dan menerapkan hukum-hukum Allah dan meninggalkan pembuat aturan hukum selain-Nya.
Kedua, kekuatan motivasi. Kekuatan motivasilah yang menjadi mesin penggerak umat Islam untuk melakukan tindakan. Dengan landasan dalil yang jelas, maka motivasi terbesar umat dalam mendakwahkan Islam sebagai aturan kehidupan di tengah-tengah masyarakat adalah rida Allah berupa pahala dan surga. Bagi umat, motivasi ini akan mampu mengantarkan kerelaan mengorbankan waktu, tenaga, harta benda, dan nyawanya untuk perjuangan Islam politik. Ketiga, kekuatan massa. Berangkat dari kekuatan hujah dan motivasi, massa Islam politik sangat militan.
Kekuatan politik Islam membuat kemenangan hanya persoalan waktu, tinggal menunggu pertolongan Allah. Upaya-upaya mengadang kebangkitan politik Islam akan sia-sia, begitu pun Islam Merah Putih itu mengada-ngada, meracuni, tipu daya duniawi, dan buatan Puan Maharani. Ketahuilah bahwa Islam dari Sang Ilahi yang akan dibawa sampai mati. Politik Islam tidak akan berhenti bergema dan ide Khilafah semakin melangit.
Firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 208 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan jangan kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia adalah musuh yang nyata bagimu.”
Wallahu A'lam Bish-Shawwab[]