"Posisi penting kaum muslim di mata para politikus hanyalah soal jumlah. Jumlah kepala yang menjelma menjadi suara di pemilihan. Namun, muruah dan ajarannya tak pernah dibela. Lantas, masihkah kaum muslim kembali teperdaya?"
Oleh. Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pesta demokrasi akan segera datang. Meski masih ada jarak dua tahun, namun para politikus sudah gencar bersafari politik. Momen Idulfitri pun, menjadi momen tepat untuk safari keliling mencari kawan dan dukungan.
Sedangkan posisi kaum muslim sebagai penduduk terbesar di Indonesia, terus merasakan kecewa lantaran janji-janji yang tak dipenuhi hingga menjadi bualan basi. Kaum muslim didekati hanya dijadikan sebagai gudang suara. Namun setelah terpilih, kaum muslim menjadi penderita dengan banyak tuduhan fitnah dan perombakan ajaran agamanya. Lantas yang menjadi pertanyaan, akankah dalam pemilu kali ini kaum muslim masih teperdaya?
Safari Menjelang Pemilu
Jamak diketahui, jika menjelang pemilu, para politikus akan mencari dukungan dengan berbagai cara. Baik melakukan kunjungan, memberi bantuan, hingga metode merakyat yang pernah dicontohkan salah satu capres. Banyak cara yang digunakan untuk mencari simpati rakyat. Tergantung situasi dan kondisi.
Kali ini, berbagai media sedang menyorot mantan capres dari partai Gerindra pada pemilu 2019 lalu, yang saat ini memperoleh jabatan sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. Dalam rangka Idulfitri, Prabowo melakukan silaturahmi ke berbagai petinggi, mulai dari presiden, pemimpin partai PDIP, hingga gubernur. Tentu safari politiknya kali ini menjadi sorotan. Sebab, pada periode sebelumnya Gerindra melawan sengit capres petahana dari partai PDIP, yakni Joko Widodo.
Bahkan, rakyat pun sangat antusias mengikuti euforia debat dua capres dengan karisma yang berbeda ini. Kala itu keduanya sama-sama memiliki pendukung loyal. Prabowo sendiri, mendapat banyak dukungan dari umat Islam. Umat Islam yang menginginkan kebaikan dalam negerinya memilih Prabowo dengan alasan Prabowo lebih berpihak pada Islam dan kaum muslim.
Namun sayang, impian menjadikan Prabowo menjadi kepala negara kandas. Sebab Jokowi menang telak di angka 55,50 persen. Sedangkan Prabowo mendapat 44,50 persen suara.
Hebatnya kaum muslim di Indonesia, mereka terus mendukung Prabowo. Hingga muncul dua kubu pendukung Jokowi dan Prabowo, meski pemilu telah usai. Sayangnya, kepercayaan kaum muslim ternodai dengan merapatnya Prabowo pada petinggi PDIP. Yang selanjutnya diikuti dengan diangkatnya Prabowo menjadi Menhan.
Habis Manis Sepah Dibuang
Pepatah lama, "Habis manis sepah dibuang" menjadi kiasan yang pas untuk merujuk kondisi umat Islam pada saat pemilu. Bagaimana tidak? Hampir seluruh calon petinggi pasti tak absen menyambangi pesantren, para ulama, dan habaib menjelang pemilu. Begitu pula tak lupa blusukan dengan rangkaian janji-janji suci bak pahlawan ditebar.
Namun, jauh panggang dari api. Sebagian besar janji tak terealisasi. Umat pun kecewa. Apalagi, ketika agama Islam mulai dimonsterisasi. Dengan dalih war on terorism, banyak kaum muslim yang ditangkap bahkan dieksekusi tanpa adanya surat penangkapan bahkan bukti. Para ulama yang hanif juga dipersekusi, syariat Islam mulai diberedeli satu per satu. Dari soal kerudung hingga azan.
Posisi penting kaum muslim di mata para politikus hanyalah soal jumlah. Jumlah kepala yang menjelma menjadi suara di pemilihan. Namun, muruah dan ajarannya tak pernah dibela. Lantas, masihkah kaum muslim kembali teperdaya?
Demokrasi Tak Perjuangkan Islam
Kaum muslim akan selalu mempunyai mimpi agar syariat agamanya diterapkan. Namun, keinginan itu hanya akan bertahan menjadi mimpi semata di sistem demokrasi. Sebab, demokrasi tak akan pernah memberi ruang bagi agama untuk berkuasa. Dengan kata lain, demokrasi tak akan pernah memperjuangkan Islam.
Hal ini sejalan dengan sistem kapitalisme. Sistem yang mengusung pemisahan agama dari kehidupan. Maka agama akan ditempatkan pada posisinya dalam sistem kapitalis, yakni dalam ranah pribadi. Agama tak boleh mendominasi. Apalagi menjadi sistem dalam institusi negara. Mimpi!
Maka selayaknya kaum muslimin sadar, bahwa memperjuangkan Islam dalam sistem demokrasi bagai mimpi di siang bolong. Layaknya fatamorgana di panasnya cuaca.
Pemimpin Ideal
Dalam Islam sendiri, telah memiliki pakem atau standar dalam memilih seorang pemimpin, yang disebut sebagai Khalifah. Pemilihan seorang khalifah harus sesuai dengan syarat in'iqad, (legal). Hal ini dikemukakan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Ajhizah Daulah Al-Khilafah fil Hukmi wal Idaroti yakni:
1. Muslim
Allah berfirman dalam surah An-Nisa' ayat 141 yang berbunyi: "Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum mukmin."
Dalil tersebut menjelaskan bahwa kaum kafir tidak akan diberikan jalan untuk menguasai kaum mukmin. Sedangkan menjadi pemimpin/khalifah merupakan jabatan yang mengharuskan meriayah atau mengurus kaum muslim melalui hukum. Maka, pengangkatan khalifah dari orang kafir tidak sah, dan juga tidak wajib untuk menaatinya.
2. Laki-laki
Seorang khalifah juga disyaratkan dijabat oleh seorang laki-laki. Dalilnya berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari : "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan"
3. Balig
Seorang khalifah juga harus balig. Hal ini juga berdasarkan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud yang menyatakan bahwa telah diangkat pena (diangkat beban hukum) dari anak-anak hingga ia mencapai usia balig. Anak-anal yang belum balig tidak sah mengelola urusan, apalagi mengurus orang lain. Sebab ia bukanlah seorang mukalaf yang dibebani hukum.
4. Berakal
Sebagaimana dalil anak-anak yang belum balig diangkat pena darinya, seorang khalifah juga tidak bisa diangkat jika dirinya tidak berakal (gila). Sebab, mengurusi dirinya sendiri saja belum mampu, apalagi mengurusi urusan umat. Oleh karena itu, orang yang tidak berakal tidak dibebani taklif hukum.
5. Adil
Orang yang fasik tidak sah diangkat sebagai seorang khalifah. Adil menjadi syarat legal pengangkatan khalifah diambil dari surah Ath-Thalaq ayat 2. Ayat tersebut mensyaratkan seorang saksi yang adil. Padahal orang yang kedudukannya lebih tinggi daripada seorang saksi adalah khalifah. Maka lebih utama lagi jika disyaratkan bagi Khalifah.
6. Merdeka
Budak adalah milik dari tuannya. Ia tidak mempunyai wewenang untuk mengurus dirinya. Tentu, ia juga tidak berwenang menentukan urusan orang lain.
7. Mampu
Orang yang akan diangkat sebagai khalifah harus memiliki kemampuan dalam menjalankan syariat Islam secara kaffah. Mahkamah Mazalim nantinya akan menentukan kelemahan-kelemahan yang tidak diperbolehkan ada dalam diri khalifah.
Demikianlah standar memilih pemimpin dalam Islam. Maka pemimpin yang berkamuflase sebagai kutu loncat bukanlah pilihan tepat. Sebab, ia akan meloncat pada sesuatu yang memiliki manfaat. Padahal manfaat bukanlah standar yang harus dipegang. Namun hukum syaraklah standar yang harus dijadikan patokan.
Khatimah
Oleh karena itu, seorang muslim harus memiliki standar pasti dalam memilih pemimpin. Jangan sampai teperdaya lagi. Janganlah terperosok pada lubang yang sama berkali-kali. Sebab, hal itu menampakkan kebodohan hakiki yang harusnya jauh dari kaum muslimin. Pilihlah seorang pemimpin yang bersedia menerapkan syariat Islam secara kaffah. Yang menepati janji dan adil pada rakyatnya. Dan semua hal tersebut tidak akan pernah di dapat dalam sistem demokrasi kapitalisme saat ini.
Allahu a'lam bish-showwab[]