“Dinasti politik merupakan strategi para elite politik untuk mengabadikan kekuasaan dengan tujuan membudidayakan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui generasi, lingkungan, serta pemerintahan yang dikendalikannya.”
Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Filipina terjebak dalam cengkeraman dinasti politik. Masyarakat dibuat lupa akan keberingasan rezim Marcos Senior. Kini, sosok Marcos Junior tampil menebar pesonanya membius rakyat akan janji kesejahteraan dan kemajuan. Dinasti politik memang dijadikan strategi jitu oleh para elite politik untuk melanggengkan kekuasaannya melalui trah keturunannya. Wajar jika negeri ini dijuluki “The Capital of Political Dynasty.”
Dilansir dari Suara.com (8/5/2022) bahwa penghitungan suara sementara pemilu Filipina 2022 dimenangkan Marcos Jr. -putra sang diktator Ferdinand Marcos yang pernah mencengkeram negeri Lumbung Padi Asia ini selama 21 tahun- dan wakilnya Sara Duterte -putri sang penguasa petahana - melalui pemilu. Marcos Jr., mengantongi lebih dari dua pertiga suara mengalahkan saingan utamanya Leni Robredo. Dengan begitu dinasti Marcos dan Duterte berhasil mencapai pucuk kekuasaan Filipina.
Bagaimana sebenarnya awal perjalanan dinasti politik yang membelenggu Filipina? Dengan terpilihnya Marcos Jr., Cina ataukah AS yang akan diuntungkan? Lantas, sistem alternatif apakah yang menutup peluang terjadinya politik dinasti?
Akar Dinasti Politik di Filipina
Filipina merupakan negara kepulauan yang terletak di Lingkar Pasifik Barat, salah satu negara republik pengemban demokrasi di Asia Tenggara. Negara ini mengembangkan sistem cocok tanam padi yang sangat maju hingga dijuluki "Lumbung Padi Asia."
Filipina merupakan koloni Kerajaan Spanyol (1565-1821), baru menjadi provinsi Spanyol pada 1821-1898. Negara ini dinamai Filipina setelah diperintah oleh penguasa Spanyol, Raja Felipe II. Gerakan Katipunan sukses mendeklarasikan kemerdekaan Filipina dari Spanyol pada 1896. Namun sayang, setelah lepas dari Spanyol, Filipina jatuh ke pangkuan Amerika Serikat (AS). Selama Perang Dunia II, Jepang menginvasi Filipina. Namun, AS berhasil merebutnya kembali pada tahun 1945. Kemudian di tahun berikutnya, AS resmi mengakui kemerdekaan Republik Filipina pada 4 Juli 1946.
Sejak Filipina ada dalam penjajahan asing, keluarga elite yang kini menjelma menjadi dinasti politik telah eksis dalam pemerintahan Filipina. Mereka menggenggam dan mewariskan berbagai jabatan strategis pada generasi keturunan dengan memanipulasi suara, bahkan tak segan melakukan tindak represif.
Kekuasaan memompa kekuasaan. Makin lama berkuasa, makin kuat cengkeraman kekuasaannya. Pada paruh pertama abad 20, ada sekitar 319 dinasti politik yang merengkuh kekuasaan silih berganti. Mereka menduduki berbagai jabatan publik melalui pemilu. Namun, tak bisa dimungkiri, keluarga Marcos merupakan dinasti politik terkuat di Filipina, berikut keluarga Duterte yang diwakili Sara sebagai calon wakil presiden mendampingi Marcos Jr.
Dinasti Politik Marcos Kontroversial
Keluarga Marcos memang mempunyai reputasi politik yang kontroversial. Marcos senior memangku takhta secara diktator (1965-1986). Rezimnya terkenal represif, sebab pernah memberlakukan status darurat militer selama 9 tahun (1972-1981). Marcos senior telah menciduk, melempar dalam bui, dan mengintimidasi ribuan rival politiknya dari kalangan senator, jurnalis, aktivis, hingga rakyat jelata (petani).
Jalan pintas pun ditempuh, Kongres Filipina dilumpuhkan, Marcos senior memerintah dengan dekret presiden, mengamendemen konstitusi demi melanggengkan kekuasaannya yang semula dibatasi maksimal dua periode saja. Bukan hanya itu, berbagai pelanggaran HAM juga korupsi akut merajalela di lingkaran dinasti politik, khususnya keluarga Marcos.
Imbasnya, rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan akut. Rakyat Filipina muak dan akhirnya menyatukan kekuatan melalui people power untuk menumbangkan rezim Marcos senior. Pascatumbang, keluarga Marcos lari ke pengasingan di Hawaii dengan menggondol uang senilai $15 juta dolar (Rp218 miliar) dan berbagai perhiasan milik Imelda Marcos, sang mantan ratu kecantikan Filipina yang menjadi istri dari Marcos senior.
Tak lama, Istana Malacanang dirangsek rakyat Filipina yang terbakar amarah. Mereka menyaksikan kemewahan di kediaman keluarga Marcos yang berbanding terbalik dengan kondisi rakyat. Diduga dinasti ini telah melakukan korupsi besar-besaran selama menjabat. Namun sayang, hingga kini tak ada satu pun keluarga Marcos yang tersentuh hukum.
Pada 1989, Marcos senior meninggal dalam pengasingan. Dua tahun berikutnya, Imelda dan anak-anaknya termasuk Marcos Jr. alias Bongbong diizinkan kembali ke Filipina. Mereka memilih tinggal di provinsi Ilocos Norte yang menjadi basis pendukung sang diktator. Di sinilah keluarga Marcos mulai membangun kekuatan politik dari nol.
Mereka merambah jabatan publik dan menyapu habis jabatan strategis di Ilocos Norte. Kemudian giat berkampanye demi menaklukkan kembali Istana Malacanang, mengulang kejayaan keluarganya di masa lalu. Akhirnya pada tahun 2022, dinasti politik Marcos kembali ke pucuk kekuasaan Filipina.
Kemenangan Marcos Jr. dalam pemilu menjadi comeback sekaligus rehabilitasi politik bagi dinasti Marcos. Ini tak lepas dari strategi politiknya dalam memanfaatkan media sosial (Facebook,Tiktok, YouTube, dan lainnya) untuk menjaring suara kaum milenial yang tak hidup di masa pemerintahan ayahnya.
Marcos Jr. memanipulasi sejarah dengan menyebut masa diktator ayahnya itu dengan istilah ‘masa keemasan Filipina' yang ditandai dengan stabilitas politik dan pembangunan infrastruktur besar-besaran. Para pendukungnya yang sempat merasakan ‘manisnya uang hasil korupsi’ khususnya di daerah Ilocos Narte mengatakan bahwa rezim Marcos senior berhasil meratakan kesejahteraan bagi rakyat Filipina.
Siapa sangka, kondisi dalam negeri mendukung kampanye Marcos ini. Tiga dekade setelah tumbangnya Marcos senior, korupsi dinasti politik dan ambisi oligarki makin menggila, kesenjangan sosial makin menganga. Ekspektasi rakyat Filipina akan terjadinya reformasi ekonomi, politik, dan sosial semakin pudar dari tahun ke tahun. Ini dijadikan peluang oleh Marcos Jr. Untuk menjual nostalgia ‘masa keemasan Filipina' di bawah pemerintahan ayahnya.
Persaingan Geopolitik AS-Cina
Filipina merupakan titik temu dari proxy war yang dimainkan AS-Cina dalam kacamata geopolitik. Wilayah maritimnya mencakup Laut Cina Selatan yang selama ini diperebutkan AS-Cina. Oleh karena itu, dinamika politik Filipina tidak bisa dilepaskan dari kendali dua negara ini.
Marcos senior bertakhta di Filipina sekitar 20 tahun. Awalnya dia merupakan sekutu AS, namun sejak tahun 1975 mulai berpaling ke Cina. Aksi people power rakyat Filipina tahun 1986 tidak berdiri sendiri, tentu saja ada kekuatan besar di belakangnya, siapa lagi kalau bukan negeri Paman Sam. Termasuk kemenangan Marcos Jr. saat ini diduga ada ‘invisible power’ dari negeri Tirai Bambu.
Rupanya Marcos Jr. memang memiliki kedekatan dengan Cina sejak belia, ibunya kerap kali membawanya ke Beijing sebagai upaya soft approach sekaligus memuluskan bisnis keluarganya di negara ini. Saat ini dia sedang menggarap kesepakatan baru dengan Presiden Cina Xi Jinping atas perairan yang diperebutkan di Laut Cina Selatan. Selain itu, dia tengah mengonsep kerja sama pragmatis dengan Cina dalam pengembangan gas alam dan minyak di Laut Filipina Barat.
Sebaliknya, hubungan Marcos Jr. dengan AS terbilang renggang. Hal tersebut dipicu oleh insiden terkait perintah pengadilan AS untuk membayar uang senilai $2 miliar dolar dari harta yang pernah dijarah keluarga Marcos kepada para korban di masa pemerintahan pendahulunya. Hingga kini Marcos Jr. mangkir dan enggan mengunjungi negara adidaya itu.
Tampak jelas, keberpihakan rezim di Filipina saat ini condong ke arah mana. Negara berkembang memang sulit lepas dari cengkeraman kapitalisme Barat dan Timur. Gerak-gerik politik dalam negeri senantiasa dipantau dan dikendalikan asing.
Setali Tiga Uang
Tak hanya Filipina, Indonesia pun mempraktikkan hal yang sama. Di negeri Zamrud Khatulistiwa ini, lahirnya dinasti politik merupakan hal yang lumrah dalam kontestasi demokrasi. Para elite politik menghalalkan money politic untuk membeli hati rakyat. Kekuasaan yang paling banyak diincar dinasti politik adalah eksekutif dan legislatif. Kekuasaan yang dilahirkan kental dengan budaya feodal yang sarat dengan kediktatoran dan praktik monopoli atas birokrasi pemerintahan, anggaran, dan sumber daya alam.
Dinasti politik dianggap sebagai jalan pintas untuk meraih ambisi kekuasaan. Kandidat doktor politik Universitas Northwestern AS, Yoes C Kenawas mengungkapkan bahwa keberadaan dinasti politik dan partai politik ibarat ‘botol yang bertemu tutupnya’. Keduanya klop dan saling melengkapi, sehingga terjadi simbiosis mutualisme. Dinasti politik butuh partai untuk bernaung, sebab jalur independen jauh lebih berisiko dalam tahap penyaringan dan verifikasi. Sementara itu, kebutuhan parpol akan dinasti politik dalam hal pembiayaan operasional partai (Suara.com, 16/12/2020).
Dinasti politik menyempitkan peluang kalangan lain berkontestasi dalam jalur pemerintahan. Kecuali dia memiliki kedekatan dengan oligarki dan dukungan penuh dari para pengusaha kapitalis. Dinasti politik merupakan strategi para elite politik untuk mengabadikan kekuasaan dengan tujuan membudidayakan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui generasi, lingkungan, serta pemerintahan yang dikendalikannya.
Dinasti Politik Bersemayam dalam Demokrasi
Demokrasi menjadi habitat asli dinasti politik. Lihat bagaimana ia tumbuh subur dan merekah dalam sistem ini. Sebab, demokrasi merestui kehadirannya bahkan konstitusi tidak pernah mengeluarkan larangan dinasti politik ikut berpartisipasi dalam pemilu. Lemahnya pembinaan dan pengkaderan partai pun ikut andil, walhasil brand keluarga lebih dipertimbangkan ketimbang partai. Gayung bersambut, masyarakat pun tidak anti terhadap dinasti politik. Inilah kondisi yang di -setting demokrasi dalam menumbuhsuburkan praktik dinasti politik.
Demokrasi memang menjadi biang masalah. Demi sebuah eksistensi, demokrasi memberi lahan bagi dinasti politik untuk berkolaborasi secara intim dengan money politic, kapitalisme media, dan patronasi politik (pemanfaatan sumber daya negara kepada individu atas dukungan elektorat mereka). Ini wajar, mengingat demokrasi lahir dari akidah sekularisme yang menjadi landasan sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme menjunjung tinggi prinsip-prinsip liberal (kebebasan). Ada empat pokok liberal yang dianut, yakni kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan kepemilikan. Inti dari liberalisme adalah kebebasan individu, begitu pula halnya dengan politik. Inti dari politik adalah hak-hak individual. Oleh karena itu, dinasti politik bukan hanya diizinkan, bahkan wajib dibela. Sebab, hal itu dianggap sebagai bagian dari hak individu yang bersifat krusial.
Oleh karena itu, mendambakan suatu negara yang terbebas dari cengkeraman dinasti politik merupakan sesuatu yang mustahil, jika demokrasi kapitalis masih menjadi sistem pemerintahannya. Butuh keseriusan untuk mengenyahkan sistem busuk ini, jika rakyat benar-benar ingin mengecap manis dan tulusnya pengurusan rakyat oleh penguasanya.
Islam Tawarkan Politik Bersih nan Ideal
Sesungguhnya dunia saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan global. Rakyat haus akan sosok pemimpin ideal dan tulus menyayangi rakyatnya. Rakyat butuh sistem alternatif yang jitu menyolusikan problematik secara tuntas. Rakyat rindu kehidupan yang adil dan sejahtera.
Kapitalisme dan komunisme (sosialisme) nyatanya gagal memenuhi harapan rakyat. Kedua sistem ini hanya cocok diperuntukkan bagi para durjana yang haus kekuasaan. Harapan terakhir tertumpu pada Islam. Lantas, bagaimana pengaturan Islam dalam memosisikan penguasa sebagai pe-riayah umat agar tetap on the track? Mengingat sejarah pun mengguratkan kepemimpinan berdasarkan trah pernah terjadi di masa Khilafah.
Kepemimpinan dalam Islam jauh dari fakta politik dinasti yang sarat korupsi. Islam mewajibkan penguasa untuk memenuhi 7 kriteria yakni muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil dan kafa’ah (kompeten). Adil maknanya terikat dengan syariat Islam. Sedangkan, memutuskan perkara dengan adil artinya selain individunya adil, juga harus menerapkan sistem yang adil. Allah Swt. berfirman dalam surah At-Thalaq ayat 2 yang artinya, “…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian.”
Untuk memenuhi kriteria adil, seorang calon pemimpin dalam Islam akan diteropong rekam jejaknya sepanjang hayat. Sehingga, tampak jelas dia termasuk orang yang adil atau fasik. Tidak perlu ada politik pencitraan, cukup tampil senatural mungkin.
Begitu pula dengan money politic, tidak akan serta merta diterima oleh rakyat. Sebab, masyarakat Islam paham bahwa uang hasil rasuah adalah haram. Begitu pula dengan para penguasanya, tak perlu repot-repot menggelontorkan uang untuk membiayai kecurangan itu.
Utamanya, dalam proses pemilihan pemimpin dalam Islam tidak perlu menghambur-hamburkan waktu dan dana. Sebab, waktunya sangat singkat, prosedurnya cepat dan sederhana, sehingga efektif dalam menentukan siapa pemimpin yang layak.
Pun demikian halnya dengan kriteria kompeten (kafa’ah), maknanya memiliki kapasitas dan komitmen untuk mengemban amanah kepemimpinan dalam ranah kekuasaan. Seorang calon pemimpin akan disoroti kelihaiannya dalam mengurusi urusan umat berdasarkan track record sirah politiknya. Islam menutup peluang politisi karbitan naik ke panggung kekuasaan Islam. Sebab, calon pemimpin haruslah seorang negarawan yang visioner dan memahami konstelasi global.
Kriteria adil dan kompeten pada calon pemimpin akan mampu mencegah praktik dinasti politik yang rawan korupsi dan kesewenang-wenangan. Jika pun terjadi penyimpangan model politik dinasti dalam torehan sejarah kekhilafahan masa lalu, ketahuilah bahwa itu bukanlah ajaran Islam. Melainkan, malapraktik syariat yang tidak perlu ditiru apalagi menjadi rujukan di masa depan.
Khatimah
Kepemimpinan yang direkomendasikan Islam itu adalah Khilafah, dengan khalifah sebutan bagi kepala negaranya. Inilah kepemimpinan ideal dambaan umat manusia. Rezim yang adil dan terpercaya yang bernaung dalam sistem yang benar dan ridai Allah Swt.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]