"Mudik dilarang demi putusnya mata rantai penyebaran Covid -19 namun berbanding terbalik dengan kebijakan pemerintah yang dikeluarkannya."
Oleh Dewi Fitratul Hasanah
(Pendidik Generasi dan Pemerhati Publik)
NarasiPost.Com-Tak terasa bulan Ramadan telah mendekati penghujung dan hari raya Idul Fitri pun nyaris di pelupuk mata.
Ketika hari kemenangan ini tiba, sudah menjadi tradisi bagi umat Islam untuk merayakannya. Mereka yang jauh di perantauan tentunya hendak melepas kerinduan kepada sanak dan handai taulan, utamanya orangtua di kampung halaman. Sebab hitungan tahun tersekat jarak dan jauh diri telah tertawan.
Bagi umat Islam, bisa berkumpul dan berlebaran bersama orang terdekat yang dicintai tentulah merupakan sebuah kebahagiaan dan rasa syukur yang tak bisa tergantikan. Itulah yang menjadi alasan mengapa dari tahun ke tahun, hari raya Idul Fitri diwarnai dengan aktivitas mudik atau pulang ke kampung halaman.
Sayangnya mudik di tahun ini kembali terhalang seperti tahun lalu. Masih dengan alasan yang sama, yaitu mencegah penyebaran Covid-19. Sebagaimana kita tahu, hingga hari ini angka pasien Covid-19 belumlah melandai. Walaupun 10.373.963 orang penduduk telah divaksinasi, namun belum bisa dijadikan standar bahwa Covid-19 telah hilang.
Begitu besar harapan rakyat agar Covid-19 ini berhasil tertangani, sayangnya hingga kini Covid-19 belum juga sampai di titik henti.
Dua tahun sudah rakyat bertahan dan menanti. Namun, upaya yang dilakukan pemerintah terasa serampangan. Masih segar di ingatan, bagaimana kebijakan mudik yang berpolemik di tahun lalu, dimana mudik dilarang tapi pulang kampung diizinkan, armada transportasi dioperasikan berikut bandara penerbangan dibuka dan WNA justru didatangkan. Semua kebijakan tersebut bersifat ambigu dan menuai gaduh. Pun, nyatanya tak berhasil memutus penyebaran wabah Covid-19.
Dan kali ini, kebijakan yang rancu kembali tersuguh. Pemerintah kembali melarang mudik. Namun, larangan tersebut tak sejalan dengan kebijakan lainnya seperti, berwisata dipersilakan, WNA diperbolehkan masuk dan yang terbaru rakyat justru diimbau untuk berbelanja baju lebaran.
Dikutip dari WE.co.id, 24/04/21, Menkeu, Sri Mulyani mengimbau rakyat agar berbelanja baju baru. Sri Mulyani meminta masyarakat tetap menyambut Lebaran dengan penuh suka cita. Jangan lupa, kata dia, kegiatan belanja menjelang Lebaran seperti membeli baju baru harus tetap berjalan. Tujuannya agar kegiatan ekonomi tetap berjalan.
Meskipun yang dimaksud Sri Mulyani adalah ajakan untuk berbelanja secara online, namun tak semua orang mau dan bisa berbelanja via online. Berangkat dari imbauan tersebut, tak lama, kemudian beberapa pusat perbelanjaan semakin dibanjiri pengunjung.
Sebagaimana diberitakan Liputan6.com (3/05/2021), pasar Tanah Abang kembali disesaki pengunjung.
Meskipun Pemprov DKI akan mengurangi jumlah pintu masuk ke Pasar Tanah Abang dan polisi menggunakan pengeras suara untuk mengimbau protokol kesehatan kepada pengunjung, serta KRL tujuan tersebut ditiadakan, namun terlambat, nyatanya desakan dan kerumunan pengunjung tetap berlanjut tak terelakkan.
Apa hendak dikata, rakyat yang masih abai dengan prokes juga tak sepenuhnya salah. Pasalnya, kebijakan yang diberikan antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya sangat tak selaras dan saling tumpang tindih. Persis seperti memutar kaset lama yang telah kusut.
Jika memang serius melarang mudik demi putusnya rantai penyebaran wabah Covid-19, maka seharusnya dilarang pula kebijakan-kebijakan yang masih memberi ruang bebasnya interaksi manusia dalam segala hubungan sosial, ekonomi dan muamalah lainnya. Sebab kebijakan-kebijakan tersebut memiliki potensi yang sama bahkan lebih berbahaya dibanding memperbolehkan mudik.
Sayangnya sistem yang diterapkan di negeri ini adalah sistem demokrasi-kapitalisme. Dimana sistem ini selalu menakar setiap kebijakan dari aspek materi. Terlihat betul betapa nyawa rakyat tidak lebih berarti dibanding kepentingan ekonomi. Pilunya lagi, perbaikan ekonomi yang diperjuangkan tersebut, nyatanya sampai detik ini, nyaris tak pernah benar-benar dirasakan oleh rakyat secara keseluruhan.
Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim, pemerintah seyogianya mengadopsi bagaimana cara Islam menangani wabah. Sedari awal, Islam telah menunjukan kepiawaiannya sebagai agama sekaligus pedoman terlengkap dalam menghadapi/menjalani segala persoalan, baik skala individu maupun skala negara, termasuk ketika negara dilanda wabah. Jika sedari awal cara-cara Islam menangani wabah tersebut diadopsi dan diterapkan, tentu meniscayakan wabah segera enyah tersingkirkan. Bukan hanya agar ekonomi berjalan, tapi juga nyawa serta kesejahteraan rakyat pun otomatis terselamatkan.
Sebab sistem yang bersumber dari Allah ini sangat melindungi tiap-tiap jiwa rakyatnya. Sebagaimana sebuah hadis :
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai, Turmudzi 1455).
Jelaslah sudah bahwa Islam tak pernah berkompromi dengan kebijakan yang mengancam nyawa rakyatnya. Jika Islam diterapkan, pastilah akan memberikan kebijakan-kebijakan yang saling terpadu. Karenanya, jiwa dan kesejahteraan rakyat pun akan benar-benar berada dalam jaminan dan penjagaan.
Sudah saatnya negeri ini menerapkan kembali sistem Islam dengan mencampakkan sistem demokrasi-kapitalisme yang ada. Bagaimanpun juga, solusi jitu takkan lahir dari aturan yang rancu.
Wallahua’lam bishshawab.[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]