Jika tujuan utama untuk menekan penularan Covid-19, meminimalisasi mobilitas masyarakat agar tidak terjadi kerumunan, kenapa mudik dilarang tetapi pusat belanja dibuka lebar?
Oleh. Eni Imami, S.Si (Pendidik dan Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Lebaran atau Hari Raya Idulfitri adalah hari kemenangan bagi umat Islam. Setelah sebulan penuh berpuasa, Lebaran menjadi hari yang dinanti-nanti. Beragam tradisi umat Islam merayakan Lebaran pun dilakukan, salah satunya tradisi mudik. Ajang pulang kampung dari perantauan demi berkumpul dengan sanak saudara untuk bersilahturahmi.
Lebaran kali ini masih dalam situasi pandemi. Meski vaksinasi sudah dilakukan, bukan berarti negeri ini sudah bebas dari Covid-19. Masyarakat harus tetap menjaga protokol kesehatan. Oleh karena itu juga, untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19 akibat kerumunan, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik, yakni mulai tanggal 6-17 Mei 2021.
Tujuan dari kebijakan ini memang bagus. Dengan meminimalisasi mobilitas masyarakat, harapannya kasus Covid-19 tidak meningkat. Namun, di sisi lain ada kebijakan yang kontradiktif. Mudik dilarang tetapi sektor pariwisata digencarkan. Dengan entengnya mengarahkan masyarakat lebih baik berwisata di daerah setempat daripada mudik. Dengan berwisata bisa meningkatkan perekonomian daerah.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno memprediksi efek larangan mudik sejumlah tempat destinasi wisata akan diserbu masyarakat. Oleh karenanya ia meminta keran pariwisata dibuka sejak April 2021. (cnnindonesia.com, 08/04/2021)
Selain itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga mengimbau masyarakat tetap menyambut Lebaran dengan penuh suka cita. Menurutnya, kegiatan belanja menjelang Lebaran, seperti membeli baju baru harus tetap berjalan meski mudik dilarang. Tujuannya agar kegiatan ekonomi tetap berjalan. Hal ini disampaikan dalam keterangan pers APBN Kita, Kamis lalu (22/4/2021). (Wartaekonomi.co.id, 24/4/2021)
Sebagaimana diketahui, Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat banjir pengunjung. Terlihat jelas pengunjung rela berdesak-desakan tanpa memerdulikan protokol kesehatan demi belanja kebutuhan Lebaran pada 1 Mei yang lalu. Hal ini
menuai sorotan dari politikus Gerindra, Fadli Zon. Ia menilai adanya fenomena kebijakan tumpang tindih. Kebijakan tak sejalan dengan realita. Pemerintah terus mendorong peningkatan konsumsi masyarakat menjelang Lebaran. Namun di sisi lain, pemerintah juga berang terjadinya kerumunan di pusat perbelanjaan. (monitor.co.id, 03/05/2021)
Paradoks kebijakan jelang Lebaran begitu tampak. Jika tujuan utama untuk menekan penularan Covid-19, meminimalisasi mobilitas masyarakat agar tidak terjadi kerumunan, kenapa mudik dilarang tetapi pusat belanja dibuka lebar? Betul saja, kerumunan tidak terjadi di jalan tetapi terjadi di pusat-pusat perbelanjaan. Apa yang terjadi di Pasar Tanah Abang hanya salah satunya. Tak menutup kemungkinan juga terjadi di pusat perbelanjaan di berbagai daerah.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo angkat bicara menyoroti hal ini. Sejak awal kebijakan pemerintah sering kontradiktif. Prinsip pemutusan rantai penularan Covid-19 nyatanya tidak terimpelentasikan. Persoalan ekonomi adalah efek dari persoalan kesehatan. Menurutnya, jika pemerintah fokus menyelesaikan persoalan kesehatan maka persoalan ekonomi akan mengalami perbaikan secara otomatis. (cnnindonesia.com, 08/04/2021)
Alih-alih menyelesaikan persoalan pandemi dengan cepat, edukasi terhadap protokol kesehatan juga ambyar. Sektor ekonomi berjalan, kluster baru Covid-19 jadi ancaman. Inilah gambaran pengurusan rakyat oleh penguasa dalam sistem kapitalisme-sekuler, yakni sistem yang mencetak penguasa abai terhadap kemaslahatan rakyat, hanya mengejar profit oriented, serta berpihak pada para kapital.
Padahal urusan rakyat merupakan tanggung jawab besar bagi seorang kepala negara. Karena ia adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Hal ini disampaikan secara gamblang dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Hanya penguasa dalam sistem Islam yang memahami hakikat kepemimpinan seperti ini. Sebagaimana tatkala wabah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khatthab.
Umar bin Khatthab berupaya mengatasi wabah dengan berpedoman pada hadis Rasul Saw. "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR. Bukhari)
Hal itu sama dengan kebijakan lockdown. Selain itu, Umar bin Khatthab bersama 'Amru bin Ash, selaku Gubernur Syam tempat terjadinya wabah memisahkan interaksi antara penderita wabah dan masyarakat yang sehat. Hal ini ditempuh untuk memutus rantai penularan wabah. Pusat-pusat pengobatan juga didirikan di sana.
Kunci lain selain kebijakan penguasa adalah peran masyarakat. Kesadaran masyarakat akan bahaya wabah, serta kontribusinya dalam menjaga kesehatan menjadi penopang keberhasilan kebijakan penguasa. Hal ini terjadi karena visi dan misi masyarakat sama dengan negara. Negara menjaga dan mengurusi urusan rakyat dengan benar, hingga rakyat juga mencintai para penguasa. Alhasil, terjadi sinergi dan kepercayaan di antara rakyat dan penguasa.
Jelas saja hal ini berbeda dengan kinerja penguasa yang kerap mengkhianati rakyat dan menzaliminya. Rakyat acuh atas setiap kebijakan yang dikeluarkan. Karena merasa hidup dan matinya tidak bergantung pada pengurusan penguasa, tapi berjalan secara individual. Hal ini terjadi karena rakyat sudah hilang kepercayaan pada penguasa sistem kapitalisme-sekuler akibat kebijakan yang sering menyengsarakan rakyat.
Krisis dan pandemi sudah pernah terjadi di masa kepemimpinan Islam. Semua mampu dilewati tanpa harus mengorbankan banyak nyawa seperti saat ini. Semua karena peran negara dan masyarakat berasaskan pada ketundukannya pada solusi Islam. Prioritas utama memulihkan kondisi kesehatan. Negara dan masyarakat saling bergandengan tangan demi kemaslahatan. Inilah kunci kejayaan Islam selama berabad-abad yang silam. Allahu 'alam bis showab[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]