Mewaspadai Liberalisasi Syariah di Balik Narasi ‘Wanita Haid Boleh Puasa’

كاَنَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Dulunya kami ditimpa haid, maka kami diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.
(HR. Al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 761, lafadz di atas menurut lafadz Al-Imam Muslim)

Oleh. Miliani Ahmad
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Media sosial beberapa hari ini ramai memperbincangkan kontroversi tentang kebolehan wanita haid berpuasa. Kontroversi ini bermula saat sejumlah orang yang mengatasnamakan intetelektual Islam kontemporer membantah pendapat para ahli fiqih tentang keharaman wanita haid berpuasa.

Di antaranya Dr. Ahmad Imarah dari Mesir. Imarah berpendapat bahwa wanita haid boleh berpuasa. Hal ini didasari karena tidak ada satu pun dalil baik dari dalam Al-Qur’an maupun hadis yang melarang perempuan haid berpuasa. Menurutnya, perempuan tetap bisa menjalankan ibadah puasa Ramadan sekalipun darah haid masih keluar.

Lalu ada pula Prof.Abdul Aziz Bayindir dari Universitas Istanbul Turki. Bayindir menyatakan bahwa jika haid merupakan alasan yang menghalangi perempuan untuk berpuasa, maka seharusnya mereka tak diwajibkan untuk mengganti (qadha) puasanya, sebagaimana tidak wajibnya mereka meng-qadha salatnya karena haid. Ia pun mengqiyaskan kedudukan antara perempuan yang haid sama seperti orang yang sakit. Keduanya boleh memilih antara mau berpuasa atau tidak berpuasa.

Pendapat-pendapat ulama ini kemudian menjadi heboh lantaran diunggah di beberapa kanal media Indonesia, seperti di akun instagram milik mubadalah,id. Sontak saja pandangan yang menyelisihi pendapat mayoritas ulama fiqih ini mendapat penolakan.

Anwar Abbas Wakil Ketua MUI mengingatkan bahwa hukum haramnya wanita haid untuk berpuasa merupakan kesepakatan para ulama dan setiap muslim wajib untuk mematuhinya. Ia menyebut, wanita yang haid tidak menggugurkan kewajibannya untuk berpuasa. Mereka tetap wajib berpuasa dengan cara meng-qadhanya pada hari di luar bulan Ramadan. (detiknews.com, 03/05/2021)

Fenomena Berulang

Bukan sekali ini saja, kontroversi masalah gugat-menggugat hukum syariah mengemuka. Sebelumnya, hal demikian telah banyak muncul ke permukaan.

Kita maih mengingat di tahun 2005 lalu, seorang perempuan bernama Aminah Wadud secara vulgar menolak syariat tentang imam salat. Penolakan itu ditunjukkannya dengan menjadikan dirinya sebagai imam salat yang mengimami 100 jamaah laki-laki dan perempuan yang bercampur baur di Gereja Anglikan, Manhattan, New York. Wadud memiliki dalih bahwa tidak ada satu dalil pun di dalam Al-Qur’an yang melarang perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki.

Selain itu, ada pula penolakan makna “qowwam” pada surat An-Nisa ayat 34. dalam hal ini, kelompok feminis berpendapat bahwa makna qowwam pada ayat ini hanya menunjukkan bahwa laki-laki hanyalah sebagai pemberi nafkah atau pengatur urusan rumah tangga bukan sebagai pemimpin.

Seorang feminis asal India, Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa Asbab An-nuzul ayat ini tidak menyangkut masalah kepemimpinan akan tetapi mengenai domestic violence atau kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada masyarakat Arab jahiliyah.

Demokrasi Sekularisme Biang Masalah

Beberapa fakta di atas makin menunjukkan adanya upaya untuk menjauhkan umat Islam dari syariah yang lurus. Tak hanya di Indonesia tapi juga terjadi di belahan bumi lainnya. Berada di bawah jargon kebebasan berpendapat, kelompok-kelompok liberal terus berupaya meliberalisasi syariat agar tunduk dengan kepentingan dan pandangan mereka.

Meskipun mendapatkan berbagai penolakan, nyatanya hal tersebut tak menciutkan nyali mereka. Bagi mereka, selagi ruang gerak dan dukungan berbagai pihak masih terbuka lebar, tidak ada kata untuk berhenti menebarkan ide liberal. Mereka akan terus melakukan propaganda (di’ayah) melalui berbagai wasilah, tak terkecuali sosial media.

Tak hanya sampai disitu, pencekokan ide-ide rusak tersebut juga telah banyak dilakukan melalui forum-forum intelektual, diskusi-diskusi, penerbitan buku dan sebagainya. Tujuannya agar ide ini bisa diterima oleh semua kalangan khususnya umat Islam.

Kesemuanya ini wajar terjadi di dalam demokrasi. Tak hanya sekali namun akan terjadi berulang kali. Sebab, tabiat demokrasi memang akan selalu melahirkan pertentangan.

Secara mendasar demokrasi merupakan sebuah sistem yang menjamin kelangsungan kebebasan berpendapat. Apa pun itu termasuk kebebasan untuk menolak nash-nash syariah, implementasi syariah dan juga pendapat ulama-ulama muktabar. Semuanya dianggap legal meskipun menista ajaran Islam.

Semuanya boleh dilakukan dalam demokrasi. Tak hanya dengan mengutarakan pendapat, tapi juga bisa dilakukan dengan perbuatan. Maka tak heran, adanya kondusifitas yang demikian akan semakin menumbuhsuburkan lahirnya manusia-manusia liberal. Hasil pemikiran mereka bisa dilindungi bahkan amat mungkin mendapatkan payung hukum dari negara.

Jika demikian keadaannya, bagaimana nasib umat dan syariahnya? Selama demokrasi masih berjalan, bisa dikatakan selamanya umat dan ajaran syariahnya akan selalu menjadi bulan-bulanan kelompok liberal. Meskipun jumlahnya banyak, namun umat tak memiliki kekuatan untuk memutus pemikiran-pemikiran rusak.

Parahnya lagi, kondisi umat saat ini sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Umat dilemahkan dengan berbagai pemikiran liar. Mereka tak lagi memiliki kemampuan untuk memilah antara pemikiran yang benar dan yang liberal. Kelemahan ini semakin menjadi tatkala munculnya intelektual-intelektual dan ulama dari kalangan umat yang menjadi corong untuk menyesatkan umat. Pada akhirnya, umat akan mudah digiring untuk mengikuti cara pandang kelompok liberal, meskipun sedikit demi sedikit.

Tak hanya demokrasi, sekularisme yang menjadi asas pengaturan kehidupan juga memiliki kontribusi besar bagi rusaknya ajaran syariat. Sekularisme yang tak mengakui agama, tak akan pernah menganggap bahwa syariah merupakan satu-satunya jalan kebenaran. Syariah hanya akan dianggap sebagai pemanis saja, itu pun jika tak bertentangan dengan konsep dasarnya. Bagi sekularisme, bukan syariah yang mesti dirujuk dalam menuntaskan masalah, akan tetapi akal manusialah yang memegang kendali. Akal dianggap menjadi komponen pokok dalam menentukan suatu kebenaran atau bukan.

Rusaknya sistem ini telah membuat pemikiran manusia nihil iman. Manusia akan sangat gampang mempermainkan nash-nash syariah bahkan terkadang mengutak-atiknya sesuai kepentingan mereka. Dalam menafsirkan nash pun, manusia tak lagi menggunakan kaidah-kaidah yang benar dalam memahami dalil. Kaidah yang sering digunakan adalah kaidah maslahat yang menjadi ciri khas sifat manusia liberal.

Menanti Tangan Negara

Amat disayangkan jika kejadian seperti ini hanya dianggap angin lalu. Sebagai sebuah negeri yang mayoritas muslim, sudah seharusnya ada langkah nyata yang bisa dilakukan pemerintah untuk melindungi syariah Islam. Jika kondisi berkembanganya pemikiran liberal ini didiamkan, bukan tidak mungkin upaya dari kelompok-kelompok liberal akan menjadi semakin agresif.

Namun sayang, harapan untuk mendapatkan perhatian dan langkah penyelesaian sepertinya masih belum menampakkan hilalnya. Sebab, sistem demokrasi sekularisme yang telah lama bercokol di negeri ini akan membuat keinginan umat menjadi terhambat. Meskipun umat telah mengerahkan kemampuannya, tetap saja akan berat terasa. Apalagi dalam tata aturan demokrasi saat ini, akan sangat mustahil mampu melahirkan kebijakan yang bisa menghentikan bahkan mempidanakan pihak-pihak pengusung ide kebebasan.

Sesungguhnya saat ini umat membutuhkan kehadiran negara sejati, yaitu sebuah negara yang mampu menjaga umat dan syariahNya. Negara ini hanya akan lahir dari rahim Islam yang memiliki kesempurnaan bukan dari rahim demokrasi sekularisme. Dengan kelengkapan tata aturannya, negara yang demikian akan mampu memproteksi kemurnian ajaran Islam, diantaranya;

Pertama, membentuk keimanan yang kokoh pada diri rakyatnya. Dengan keimanan yang kokoh, tak akan ada manusia di antara individu rakyatnya yang berani melecehkan ajaran syariah. Apalagi sampai melakukan penafsiran yang menentang nash-nash yang sudah disepakati para ulama.

Untuk mewujudkan hal ini negara bisa melaksanakan sistem pendidikan yang berbasis pada akidah Islamiyah. Negara juga wajib memastikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi untuk mengajarkan kurikulum yang sesuai dengan pemikiran Islam. Pada akhirnya output pendidikan pun mampu menjadi penopang bagi tegaknya masyarakat yang islami.

Kedua, memfilter setiap pemikiran rusak dan merusak agar tidak menyebar di tengah-tengah masyarakat. Untuk langkah ini, negara wajib melakukan pengawasan terhadap konten-konten yang beredar, baik di media mainstream ataupun sosial media. Tidak boleh ada satu pun konten yang melanggar rambu-rambu syariah, apalagi konten menyimpang yang tak sesuai dengan nash syariah. Jika didapati, maka negara bisa melakukan langkah-langkah kuratif untuk menyelesaikannya.

Ketiga, tak hanya pada media, langkah kuratif juga akan berlaku pada individu maupun kelompok-kelompok yang secara gamblang menunjukkan penentangannya terhadap nash syariah. Kepala negara wajib menjatuhkan sanksi kepada siapa saja dengan sanksi yang memberi efek jera. Tak hanya bagi pelakunya tapi juga berlaku untuk masyarakat pada umumnya.

Demikianlah, yang semestinya bisa dilakukan oleh negara. Hanya saja umat masih butuh kesabaran menanti negara sejati yang memiliki fungsi sebagai perisai (junnah) bagi umat. Negara sejati ini merupakan negara yang dulu pernah ditegakkan Rasulullah Saw., yang kemudian amanah kepemimpinannya berlanjut kepada para khalifah sesudah wafatnya beliau. Inilah negara yang dikenal dalam sejarah, yakni negara Khilafah Islamiyah.

Khatimah

Para ulama telah bersepakat mengenai larangan bagi wanita haid untuk berpuasa dan wajib meng-qadhanya di hari-hari lain di luar Ramadan. Hal ini berdasarkan nash-nash yang ditemui pada hadis, di antaranya hadis dari ‘Aisyah r.a

كاَنَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Dulunya kami ditimpa haid, maka kami diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.
(HR. Al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 761, lafadz di atas menurut lafadz Al-Imam Muslim)

Begitupula hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah Saw. bersabda,

“Bukankah wanita itu bila haid ia tidak salat dan tidak puasa?” Para wanita menjawab, “Iya.” Rasulullah berkata, “Maka itulah dari kekurangan agamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 304)

Imam Ibnu Qudamah juga berkata,“Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak halal untuk berpuasa, bahkan keduanya harus berbuka di bulan Ramadan dan mengqadhanya. Bila keduanya tetap berpuasa maka puasa tersebut tidak mencukupi keduanya (tidak sah)….” (Al-Mughni, kitab Ash-Shiyam, Mas’alah wa Idza Hadhatil Mar’ah au Nafisat)

Al-Imam An-Nawawi pun berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak wajib salat dan puasa dalam masa haid dan nifas tersebut.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/250)

Demikanlah, tidak ada satu pun perselisihan di antara pendapat nash dan ulama muktabar tentang larangan wanita haid berpuasa. Wajib bagi umat untuk merujuk pendapat yang rajih ini dan meninggalkan pendapat-pendapat yang bersumber dari pemikiran liberal.

Wallahua’lam bish-showwab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Agar Diri Tak Mudah Kecewa
Next
Salah Kaprah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram