Pemecatan pekerja dan pemberian gaji rendah hanyalah salah satu dari kompleksnya permasalahan rakyat yang lahir dari sistem kapitalisme.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com- Pemecatan para pekerja kontrak kembali terjadi di negeri ini. Kali ini nasib nahas dialami oleh para pekerja yang bergerak di bidang kesehatan alias para nakes. Sungguh miris, mereka berdemonstrasi dengan harapan bisa mendapat kenaikan gaji, tetapi yang diterima justru kabar pemecatan. Kini, status pengangguran mengadang di depan mata.
Diberitakan oleh cnnindonesia.com (11/4/2024), Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit, memecat 249 tenaga kesehatan (nakes) non Aparatur Sipil Negara (non-ASN) setelah mereka berdemonstrasi menyuarakan aspirasinya. Demonstrasi dilakukan di Kantor Bupati Manggarai pada 12 Februari 2024 dan diikuti oleh sekitar 300 nakes. Dalam aksi protes kenaikan gaji di kantor bupati tersebut, nakes menuntut dilakukannya perpanjangan Surat Perintah Kerja (SPK) dan kenaikan gaji agar setara Upah Minimum Kabupaten (UMK).
Aksi serupa juga dilakukan oleh para nakes pada 6 Maret 2024 di DPRD Manggarai. Tak hanya menuntut kenaikan gaji, para nakes tersebut juga meminta pemerintah menaikkan tambahan penghasilan (tamasil). Selain itu, nakes juga meminta tambahan kuota seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2024. Tuntutan tersebut didasari fakta bahwa selama ini mereka hanya mendapatkan gaji sebesar Rp400–RP600 ribu per bulan. Upah tersebut dinilai tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Keputusan Tergesa-gesa
Pemecatan nakes non-ASN tersebut sempat menjadi topik pembicaraan di dunia maya pada 11 April 2024 lalu. Presiden Asosiasi Pekerja Kesehatan Seluruh Indonesia (APKSI), Sepri Latifan, pun menanggapi pemecatan tersebut. Sepri menyayangkan sikap sang bupati yang memecat nakes karena mengutarakan pendapatnya. Ia mengatakan, setiap warga negara sejatinya berhak menyampaikan pendapatnya di muka umum dan memperoleh perlindungan hukum.
Hal ini pun telah diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 pada pasal 5 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (liputan6.com, 12/4/2024). Setali tiga uang, Kepala Departemen Legal APKSI, Ardi Sulistiono, juga menyebut bahwa keputusan yang dilakukan Bupati Manggarai terkesan terburu-buru.
Keputusan pemecatan oleh bupati yang terkesan terburu-buru tersebut jelas tak memikirkan nasib para nakes ke depannya. Seorang pemimpin seharusnya responsif dan peka terhadap semua permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Bukan sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Hanya karena didemo menuntut kenaikan upah saja, langsung dipecat. Padahal, pemecatan bukanlah solusi, tetapi akan melahirkan problem turunan lainnya di tengah masyarakat. Salah satunya adalah menambah jumlah pengangguran.
Minim Kesejahteraan Para Nakes
Demonstrasi menuntut kenaikan upah memang sering terjadi di negeri ini. Bahkan, nyaris terjadi setiap tahun. Sebut saja saat peringatan Hari Buruh atau dikenal dengan May Day, yang mana para buruh terus melakukan demonstrasi menuntut perbaikan nasib dan kenaikan upah. Sayangnya, nasib mereka tak banyak berubah dari tahun ke tahun. Maraknya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para pekerja sejatinya menunjukkan bahwa kesejahteraan masih sebatas impian hingga harus terus diperjuangkan oleh rakyat di negeri ini.
Misalnya saja nakes non-ASN yang hanya diberi upah Rp400–Rp600 ribu per bulan. Hidup dalam sistem yang serba berbayar saat ini, tentu upah sebesar itu tidak akan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup. Apalagi harga-harga kebutuhan pokok kian melonjak dan semakin sulit dijangkau dengan upah yang hanya ratusan ribu tersebut.
Nasib nakes non-ASN memang miris. Meski mereka bekerja sebagaimana nakes ASN bekerja, tetapi mereka diberi upah yang jauh lebih rendah dari nakes ASN. Meski sama-sama lelah, tetapi tenaga mereka tidak mendapat apresiasi dari negara.
Sebut saja saat terjadi pandemi Covid-19, yang mana nakes ASN dan non-ASN sama-sama berjuang di garda terdepan dalam memberikan layanan kesehatan. Mereka dielu-elukan dan dipuja karena perjuangannya dalam memberi pelayanan terhadap masyarakat.
Namun, saat pandemi selesai, para nakes honorer seakan dilupakan. Fakta ini menunjukkan bahwa status honorer di negeri ini tidak mendapat penghargaan dari negara, meski bekerja di bidang yang sama dengan ASN. Hal ini sebagaimana dialami oleh salah seorang nakes honorer bernama Hetta yang telah bekerja selama hampir 14 tahun. Hingga kini ia merasa tak ada perubahan signifikan dalam hal kesejahteraan. Ia dan puluhan bahkan ratusan nakes honorer lainnya hanya diberi janji-janji yang tidak terbukti hingga kini. (cnnindonesia.com)
Negara Abai terhadap Kesejahteraan Nakes
Negara adalah penanggung jawab urusan rakyat. Sudah seharusnya negara menjamin kebutuhan seluruh rakyatnya termasuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan memudahkan rakyat dalam mengakses pekerjaan. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi jumlah pengangguran karena PHK. Namun, apa yang terjadi saat ini sungguh miris. Negara telah kehilangan perannya sebagai pengurus rakyat, bahkan menzalimi rakyatnya sendiri. Bukankah memecat para nakes hanya karena meminta kenaikan upah adalah bentuk kezaliman?
Jika seperti ini, pemerintah bukannya mengurangi pengangguran, justru menambah jumlah pengangguran di negeri ini yang sudah membeludak. Padahal, dampak PHK tidak hanya terjadi pada mereka, tetapi juga kepada keluarga yang menjadi tanggungan mereka. Ada anak-anak dan istri yang seharusnya dinafkahi, tetapi terputus nafkahnya karena PHK. Belum lagi, konflik keluarga yang bisa muncul karena permasalahan ekonomi, gizi buruk atau kurang gizi pada anak-anak, serta sulitnya akses pendidikan dan kesehatan karena kesulitan biaya.
Inilah pekerjaan rumah yang seharusnya diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintahlah yang seharusnya menjadi solusi atas permasalahan rakyat, bukan justru menambah beban bagi rakyat. Namun, inilah realitas pengurusan rakyat dalam sistem kapitalisme. Alih-alih menertibkan, pejabat negara justru menggunakan kekuasaannya untuk menekan dan memecat rakyatnya. Karena itu, berharap kesejahteraan dalam sistem yang tidak memprioritaskan kesejahteraan rakyat, ibarat melukis di atas air.
Jaminan Kesejahteraan dalam Islam
Jika kesejahteraan dalam sistem kapitalisme hanya sebatas angan, berbeda halnya dengan Islam. Islam adalah agama paripurna yang menjadi solusi terhadap seluruh persoalan manusia. Islam memandang bahwa negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab menjamin seluruh kebutuhan rakyatnya. Jaminan tersebut berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap individu seperti sandang, pangan, dan papan, negara melakukannya dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Karena itu, setiap laki-laki dewasa yang sehat maka wajib bekerja untuk menafkahi keluarganya. Sementara itu, bagi rakyat yang lemah maka akan diberi santunan oleh negara. Sedangkan untuk kesehatan, pendidikan, dan keamanan, negara memenuhinya secara gratis terhadap seluruh rakyat. Dengan kebijakan ini, maka rakyat tidak akan terbebani tanggungan yang berat karena ada jaminan dari negara.
Di sisi lain, Islam memiliki pandangan berbeda tentang upah bagi para pekerja. Upah tidak diberikan berdasarkan kebutuhan dasar pekerja atau dikenal dengan sebutan upah minimum sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme. Namun, upah diberikan berdasarkan nilai manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja. Dengan begitu, tidak ada kezaliman yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lainnya.
Selain memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, negara juga berperan sebagai pemutus konflik antara pekerja dengan pemberi kerja. Negara wajib hadir sebagai pemutus jika ada akad-akad yang zalim, upah tidak layak, upah tertunda, pekerja tidak bekerja sesuai akad yang disepakati, dll. Negara sangat peduli dan memikirkan betul agar rakyat yang berada di bawah tanggung jawabnya bisa memiliki pekerjaan.
https://narasipost.com/surat-pembaca/01/2021/keberadaan-nakes-menipis-indonesia-menangis/
Bagi para pemberi kerja maupun pejabat negara yang lalai dan zalim, maka patutlah merenungkan ancaman Allah Swt. dalam hadis riwayat Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah, "Ada tiga golongan pada hari kiamat nanti yang akan menjadi musuh-Ku. Siapa yang menjadi musuh-Ku, Aku akan memusuhi dia. Pertama, seseorang yang berjanji setia kepada-Ku, tetapi mengkhianatinya. Kedua, seseorang yang menjual orang merdeka, lalu memakan hasil penjualannya. Ketiga, seseorang yang mempekerjakan pekerja, lalu setelah pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, orang tersebut tidak memberi dia upahnya."
Khatimah
Pemecatan pekerja dan pemberian gaji rendah hanyalah salah satu dari kompleksnya permasalahan rakyat yang lahir dari sistem kapitalisme. Realitas tersebut akan terus berulang selama solusi yang diambil pun dari sistem rusak kapitalisme. Petaka ini hanya akan hilang jika sumber pemicunya dihilangkan, yakni sistem kapitalisme. Hanya dengan kembali pada Islam dan seluruh aturan yang lahir darinya, para pekerja termasuk nakes akan merasakan kesejahteraan hakiki.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Jadi bener-bener rindu akan hadirnya sosok pemimpin yang amanah dan peka terhadap semua permasalahan yang dihadapi rakyatnya.
Betul mbak Maya, semoga saat itu segera tiba ya
Ya Allah, miris melihat fakta yang ada di atas. Bukankah tugas pemerintah memang sebagai pengayom dan pengurus urusan rakyat?
Hanya dengan sistem Islam, semua pekerja mendapatkan hak nya dengan baik
Miris memang menyaksikan nasib pekerja di negeri ini.