Tren Berobat ke Luar Negeri, Dokter Kurang Kompetensi atau Sistem Kesehatan Perlu Dibenahi?

”Sebaik-baiknya berobat di luar negeri dengan segala fasilitas dan kecanggihannya, tetap saja ada biaya yang harus dikeluarkan. Kesehatan tetap menjadi komoditas yang dikomersialkan.”

Oleh. dr. Ratih Paradini
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Bapak Jokowi dalam cuitan Twitternya berkicau “Hampir 2 juta orang Indonesia masih memilih berobat ke luar negeri setiap tahun. Kurang lebih 1 juta ke Malaysia, 750 ribu ke Singapura, sisanya ke Jepang, Amerika, Jerman, dll. Gara-gara ini, kita kehilangan devisa Rp165 triliun karena modal keluar.”

Hal ini mendapat respons para netizen yang ramai-ramai curhat tentang pengalaman buruknya sebagai pasien di Indonesia hingga komparasi tentang pengalaman yang didapatkan berobat di luar negeri. Banyak yang menilai dokter Indonesia kurang kompetensi, kurang berempati, asuransi kesehatan sulit dilunasi, hingga waktu tunggu lama sekali.

Sebagai salah satu tenaga kesehatan di negeri ini saya merasa miris. Di satu sisi saya rasa setiap nakes menginginkan pelayanan optimal terhadap pasien dan kesehatan terjamin untuk semua kalangan. Namun di sisi lain, ada banyak faktor yang menyebabkan sistem kesehatan di negeri kita tertinggal dibandingkan negara lainnya.

Kalau bicara tentang kompetensi, saya rasa dokter di Indonesia tidak kalah dengan dokter luar negeri. Sampai saat ini saya pribadi belum menemukan studi tentang perbandingan IQ, kecerdasan atau kompetensi antara dokter Indonesia dengan dokter luar negeri. Apalagi di Indonesia sendiri untuk menjadi dokter tidak mudah, harus menyelesaikan studi preklinik 3,5-4 tahun, ditempa dengan jadwal kuliah dan praktikum padat, ditambah tugas yang beraneka ragam, kemudian lanjut pendidikan profesi dokter (co-ass) selama 2 tahun dengan segala liku-likunya. Selama menjalani pendidikan profesi ini, saya merasakan langsung bagaimana tekanan ketika bekerja di RS kadang tak sempat tidur, mandi atau makan karena melayani pasien semalaman ditambah tugas-tugas referat, laporan kasus persentase jurnal dan lain sebagainya.

Setelah selesai tahap pendidikan profesi, perjuangan belum berakhir. Sebab, untuk mendapatkan gelar dokter harus lulus ujian kompetensi dengan menyelesaikan 150 soal dalam waktu 200 menit. Ujian kompetensi ini skalanya nasional dengan standar yang cukup tinggi. Sehingga, setelah semua pengorbanan dan upaya untuk dapat gelar dokter, ujung-ujungnya malah diremehkan dan dianggap tak kompeten rasanya nyelekit.

Namun, setiap orang punya hak untuk menilai termasuk pasien dan setiap nakes harus siap untuk dinilai. Kritik bisa jadi sarana introspeksi agar pelayanan medis dan komunikasi nakes lebih baik lagi. Kalaupun memang dianggap banyak yang berobat keluar negeri karena dokter kurang kompetensi, lantas apa masalah yang perlu diperbaiki? Apakah dalam dunia pendidikan kedokteran saat ini ada yang belum cukup? Apakah perlu ditambah waktu belajar, ditambah materi pembelajaran atau inovasi pembelajaran? Apakah syarat perpanjangan STR yang mewajibkan dokter untuk selalu update ilmu dengan ikut seminar atau workshop ber-SKP IDI selama ini belum cukup?

Meski kewajiban itu harus dijalani dokter dengan membayar sendiri biaya yang tidak sedikit, belum lagi bila dokter dari daerah harus datang ke kota dengan tambahan biaya akomodasi juga. Apakah masih perlu dokter dibebani pelatihan-pelatihan lain agar bisa dinilai kompeten? Artinya alih-alih menyalahkan dokter dalam negeri, seharusnya masalah kompetensi dokter tidak sekadar diserahkan kepada dokter, harus ada sistematika kebijakan negara yang menunjang untuk menyelesaikan hal tersebut.

Alasan Berobat ke Luar Negeri

Ada berbagai macam alasan orang lebih memilih berobat di luar negeri salah satunya karena waktu tunggu yang lebih singkat. Di Indonesia rasio jumlah dokter dan pasien tidak ideal, sehingga jumlah dokter yang sedikit dengan jumlah pasien yang membludak membuat pasien lama menunggu, itu pun setelah dapat giliran hanya bisa diperiksa rata-rata 3-5 menit saja. Waktu tugas di Puskesmas, saya pun merasakan menangani hampir ratusan pasien dengan jadwal kerja dari jam 8-12 saja, mau tidak mau pertemuan dengan pasien jadi singkat.

Di Indonesia pada tahun 2020 WHO mencatat jumlah dokter sekitar 170.338 orang. Bila jumlah tersebut dibagi untuk setiap 10.000 penduduk, rasio dokter di Indonesia hanya sebesar 6,23 pada 2020. (datainidonesia.id, 24/10/2022).

Rasio tersebut adalah yang terendah urutan ketiga dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Padahal, WHO mematok rasio idealnya adalah satu dokter per 1.000 populasi. Bahkan, masih ada 518 puskesmas di Indonesia belum memiliki dokter. (Nasionaltempo.co, 12/12/2022)

Selain itu, keterbatasan jumlah tenaga ahli dibandingkan besarnya jumlah penduduk serta tidak meratanya sebaran tenaga kesehatan menjadikan beberapa pasien yang memerlukan tindakan medis tertentu harus menunggu giliran dulu.

Alasan lainnya adalah faktor biaya. Biaya kesehatan di luar negeri bisa lebih murah. Salah satu alasannya karena faktor pembebasan pajak, contohnya di Penang Malaysia, pajak alat kesehatan 0%.

Sedangkan di Indonesia alat kesehatan masih banyak impor dan termasuk dalam klasifikasi pajak barang mewah. Apalagi insentif untuk pajak alat kesehatan dicabut pasca turunnya kasus covid19 di Indonesia. Dr. Didi Dewanto SpOG Koordinator Wilayah Persatuan Rumah Sakit (Korwil Persi) Surabaya menggambarkan contoh perbandingan biaya kesehatan di Indonesia untuk bayi tabung misalnya di Indonesia dibanderol sekitar Rp70-80 juta, sedangkan di Malaysia kisaran Rp40-50 juta. Di Vietnam lebih murah lagi antara 25-40 juta (Suarasurabaya.net, 20/09/2021)

Dari ulasan-ulasan tersebut bisa disimpulkan menitikberatkan masalah kesehatan hanya pada kompetensi dokter saja rasanya kurang bijak, problem masyarakat yang lebih memilih berobat di luar negeri tidak bisa disimplifikasi hanya karena dokter kurang kompetensi melainkan ada beragam masalah kebijakan kesehatan yang memang perlu dibenahi.

Pengobatan Terbaik

Sebaik-baiknya berobat di luar negeri dengan segala fasilitas dan kecanggihannya, tetap saja ada biaya yang harus dikeluarkan. Kesehatan tetap menjadi komoditas yang dikomersialkan. Dalam penerapan sistem sekulerisme kapitalisme negara hanya sebatas regulator bukan pihak yang benar-benar menanggung biayanya kesehatan masyarakat. Di Indonesia misalnya dengan adanya BPJS negara berlepas tangan terhadap tanggungan biaya kesehatan karena rakyatlah yang saling melakukan subsidi silang lewat premi yang dibayarkan, kalaupun ada yang masuk anggota PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang preminya dibayarkan oleh pemerintah itu pun tidak banyak. Tahun 2022 peserta PBI tercatat 544.333 jiwa (bpjs-kesehatan.go.id, 19/09/2022), bila dibandingkan jumlah rakyat miskin di Indonesia tahun 2022 sebanyak 26,36 juta orang (bps.go.id, 16/01/2023), artinya masih banyak rakyat miskin yang belum mendapatkan haknya untuk terdaftar sebagai penerima bantuan iuran BPJS. Bahkan, tidak jarang saya pribadi mendapat pasien yang tiba-tiba BPJS PBInya dinonaktifkan secara sepihak tanpa pemberitahuan.

Problem kesehatan bukan hanya terjadi di Indonesia, di negara maju sekalipun yang biaya kesehatannya murah dan benar-benar disubsidi pemerintah, namun mereka tetap harus menanggung pajak yang sangat tinggi, misalnya saja Swedia pajak penghasilan 57,19% atau Belanda 51,75%. Sehingga saat ini rasanya hanya mimpi bila ada pengobatan dengan pelayanan yang optimal, fasilitas lengkap, dan tanpa biaya.

Namun, ternyata di era Khilafah sistem kesehatan dibiayai oleh negara dengan fasilitas lengkap, tanpa memungut sepeser pun biaya kesehatan dari rakyat pernah terjadi. Sejarah mencatat dalam buku At-Tafawwuq al-Ilmi fi al Islam (Keunggulan Saintifik dalam Islam) karya Amir Ja’far Al Arsyadi, dikisahkan ada seorang seorang pemuda Prancis yang mengirim surat kepada ayahnya di Paris, pemuda tersebut menulis surat saat sedang dirawat di Bimaristan (rumah sakit) di Kota Cordoba pada masa Kekhalifahan Umayyah. Pemuda tersebut menuturkan bahwa ia dirawat di bagian bedah dan perawatan sendi, tempatnya bersebelahan dengan perpustakaan, ruang pertemuan dan kuliah kedokteran. Ia menuturkan Bimaristan sangat bersih, tempat perawatan laki-laki terpisah dengan perempuan, tempat tidurnya sangat nyaman dengan bantal ditutupi dengan kain putih Damaskus yang halus serta seprei terbuat dari bahan mewah yang lembut. Air bersih selalu tersedia di kamar melalui saluran pipa, tak lupa penghangat ruangan untuk musim dingin pun ada. Tiap kamar juga dilengkapi dengan kompor serta makanan terjamin dengan menu yang lezat, saking enaknya banyak pasien enggan pulang karena ingin selalu menikmati makanannya. Bukan saja saat sakit, namun pascapemulihan pasien yang telah selesai dirawat akan diberi pakaian baru dan uang sejumlah 5 dinar agar tidak perlu bekerja sementara waktu. Luar biasa, bukannya mengeluarkan uang untuk mendapat fasilitas pengobatan bahkan pasien diberi uang saku setelah keluar dari rumah sakit.

Potret seperti ini terjadi pada masa pemerintahan Khilafah Islamiah dengan pengaturan sistem kesehatan berbasis syariah dan ditopang oleh sistem politik dan ekonomi yang mumpuni membuat negara mampu memberikan pelayanan optimal untuk masyarakat. Dalam Islam jelas bahwa kesehatan adalah hak mendasar masyarakat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, Rasulullah saw. bersabda, "Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Al-Bukhari).

Dicontohkan pula oleh Baginda Nabi Muhammad saw. ketika diberi hadiah seorang dokter dari Raja Mauqoqis (wilayah Mesir), beliau menggunakan dokter tersebut untuk mengobati masyarakat secara cuma-cuma sekaligus memberikan gaji yang layak atas jasanya. Kegemilangan sistem kesehatan Islam juga dipuji oleh Will Durant dalam The Story of Civilization ia mengatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarawan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun".

Sistem kesehatan unggulan seperti ini bukan mimpi atau sekadar kisah sejarah yang diromantisasi, namun ia adalah bukti bahwa bila sistem Islam yang diterapkan akan memberikan rahmat bagi semesta alam. Untuk merasakannya perlu perjuangan agar ideologi Islam bisa diterapkan dalam kehidupan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
dr.Ratih Paradini Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Air Sumber Kehidupan
Next
Kemiskinan Ekstrem : Dampak Kegagalan Struktural
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram