”Untuk itulah, jangan berharap! Karena layanan kesehatan dalam sistem kapitalisme berprinsip, 'Tidak ada makan siang gratis', sungguh pilu!"
Oleh. Nur Hajrah MS
(Kontributor NarasiPost.Com dan Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
NarasiPost.Com-Wacana terkait santunan atau bantuan untuk korban gagal ginjal akut (Acute Kidney Injury, AKI) mengundang banyak tanya dari masyarakat. Pasalnya, semenjak Menteri Kesehatan Budi Gunadi memberikan angin segar terkait rencana santunan tersebut (28/2/2023) belum ada kepastian hingga saat ini. Justru rencana ini malah menuai polemik.
Kemenkes telah menyampaikan perihal rencana ini kepada Menteri Sosial Tri Rismaharini. Karena sebelum memberikan bantuan kepada para korban, rencana ini harus melalui proses verifikasi terlebih dahulu oleh Kemensos. Namun, Tri Rismaharini justru menyatakan bahwa, Kemensos tidak memiliki anggaran untuk menyantuni para korban Gagal Ginjal Akut (GGA). Justru beliau menyarankan untuk menggandeng platform seperti Benih Baik dan Kita Bisa, agar masyarakat bisa saling membantu dengan ikut menyumbang melalui platform tersebut. Sehingga, untuk persoalan ini tidak sepenuhnya memakai anggaran dari pemerintah. Selain itu, Tri Rismaharini juga menyampaikan bahwa, anggaran untuk setiap balai Kemensos mengalami penurunan hingga Rp300 miliar. Begitu pun dengan anggaran bencana turun hingga 50 persen. Itulah mengapa Kemensos menolak untuk mengeluarkan anggaran bantuan bagi korban gagal ginjal akut. (Kompas.com, 21/03/2023)
Solusi Tambal Sulam
Terkait persoalan ini tentu saja sangat memprihatinkan. Bagaimana mungkin, pemerintah yang seharusnya mendengarkan dan memenuhi keinginan masyarakat justru saling lempar tanggung jawab. Bukannya mewujudkan rencana tersebut, malah memberikan solusi yang seolah-olah tidak mau terbebani dengan keluhan masyarakat, dengan alasan anggaran tidak mencukupi. Lantas, yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah dengan memberi santunan tersebut maka permasalahan akan selesai? Lalu, bagaimana dengan penyebab utama banyaknya kasus penderita GGA?
Perlu diketahui, gagal ginjal saat ini menempati peringkat kesepuluh penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Jika merujuk pada penyebab paling umum gagal ginjal, Diabetes Melitus (DM) merupakan penyebab yang paling umum. Faktanya, penderita diabetes saat ini tidak hanya menyerang orang tua, anak muda pun mulai terserang penyakit ini, termasuk anak-anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat, kasus diabetes pada anak meningkat 70 kali lipat sejak 2010. Saat ini ada sekitar 1.645 anak di 15 kota Indonesia yang tercatat menderita diabetes. Ali Ghufron Mukti selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan pun mengatakan, pada awal 2018 hingga akhir 2022 kasus DM pada anak meningkat drastis, yaitu mencapai 1000 kasus. (BBCNews.com, 6/2/2023).
Sementara itu dilansir dari Tempo.co, per 5 Februari 2023 jumlah kasus anak yang menderita GGA mencapai 326 kasus. Sebanyak 116 penderita telah dinyatakan sembuh dan sebanyak 204 penderita dinyatakan meninggal dunia yang tersebar di 27 provinsi Indonesia. (6/2/2023).
Jika merujuk pada data di atas, seharusnya fokus pemerintah adalah menyelesaikan permasalahan ini sampai ke akar-akarnya. Khususnya terkait apa saja yang menyebabkan kasus DM ini bisa meningkat drastis yang berujung pada gagal ginjal. Bukan malah saling lempar tanggung jawab, dengan mengeluarkan rencana akan memberikan santunan bagi penderita GGA. Namun pada akhirnya rencana ini justru hanya berakhir wacana. Ya, bisa dikatakan solusi tersebut hanyalah solusi tambal sulam yang mengundang kekecewaan masyarakat.
Fakta lainnya, walaupun BPOM telah mengeluarkan perintah untuk berhenti melakukan produksi dan distribusi sejumlah obat yang dikonsumsi penderita GGA untuk sementara waktu. Serta menarik beberapa jenis obat cair yang dicurigai penyebab GGA pada anak. Namun hal ini dilakukan BPOM hanya sebagai bentuk kewaspadaan, karena belum ditemukan secara pasti penyebab utama meningkatnya kasus GGA pada anak. Untuk itulah Kemenkes bekerja sama dengan berbagai pihak, mulai dari BPOM, ahli Epidemiologi, IDAI, para guru besar, Farmakologi, Labkesda DKI dan Puslabfor Polri untuk melakukan riset faktor yang menyebabkan gangguan gagal ginjal akut.
Terlambat!
Dari hal ini muncullah pertanyaan, mengapa penelitian terkait penyebab utama gagal ginjal pada anak baru dilakukan sekarang? Padahal, kasus ini sudah ada bertahun-tahun. Apakah memang harus menunggu peningkatan kasus secara signifikan baru melakukan tindakan? Jika memang demikian, hal ini tentu saja sangat terlambat untuk dilakukan, apalagi melihat semakin banyak korban yang berjatuhan. Penelitian terhadap penyebab suatu penyakit memang sangat penting untuk dilakukan, sebagai penentu langkah apa yang perlu diambil untuk upaya pencegahan dan keberhasilan dalam penanganan. Karena segala sesuatu yang berkaitan dengan nyawa manusia harus ditangani secara cepat dan pasti, bukan dengan bermodalkan insting apalagi coba-coba.
Dari sini dapat dilihat bagaimana lalainya penguasa saat ini. Di tengah kecanggihan teknologi yang begitu maju, sepertinya tidak ada alasan untuk tidak mengetahui penyebab utama dari kasus yang telah terjadi bertahun-tahun ini, apalagi sampai terlambat melakukan tindakan. Memang penelitian ini pasti membutuhkan anggaran yang besar, tetapi sudah menjadi kewajiban negara untuk selalu berupaya memenuhi dan melindungi setiap kebutuhan masyarakatnya apalagi yang berkaitan dengan nyawa.
Jangan Berharap!
Namun, berharap pada penguasa yang telah condong pada paham kapitalisme untuk menangani hal ini sama halnya bagai mengail kucing hanyut, ya percuma dan sia-sia belaka. Jangan pernah berharap pada kekayaan negeri yang melimpah akan membantu, karena selama kekayaan negeri ini masih ada dalam cengkeraman para kapitalis, masyarakat akan seperti pengemis yang mengharapkan bantuan. Apalagi fokus pemerintah saat ini adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga anggaran lebih banyak difokuskan ke hal tersebut dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Lihat saja ketika penderita gagal ginjal meminta santunan yang telah dijanjikan, justru berakhir kekecewaan dengan alasan anggaran tidak mencukupi. Lalu untuk apa keberhasilan pada bidang ekonomi jika masih banyak masyarakatnya yang hidup jauh dari kata sejahtera? Untuk apa keberhasilan tersebut jika penguasanya tidak sungguh-sungguh dan amanah dalam mengurus urusan rakyat dalam berbagai aspek? Untuk itulah, jangan berharap! Karena layanan kesehatan dalam sistem kapitalisme berprinsip, "Tidak ada makan siang gratis", sungguh pilu.
Berharap pada yang Pasti
Upaya penanganan kesehatan dan pelayanan kesehatan termasuk persoalan gagal ginjal akut hanya bisa tuntas dilakukan jika sistem saat ini dirombak dengan sistem yang amanah. Jika berharap pada penguasa yang berpaham kapitalisme berujung kekecewaan, tentu lain halnya jika berharap pada sistem pemerintahan Islam atau Khilafah. Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang amanah dan dirahmati oleh Allah Swt. yang menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunah sebagai satu-satunya sumber hukum.
Islam begitu menghargai setiap nyawa manusia, pemimpinnya atau khalifah akan selalu berusaha peduli dengan urusan rakyatnya dan melindungi mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Khalifah adalah pengurus urusan umat dan ia bertanggung jawab terhadap urusan mereka." (HR. Al-Bukhari).
Dalam konsep jaminan kesehatan dan layanan kesehatan pada dasarnya Khilafah memahami bahwa:
Pertama, jaminan dan pelayanan kesehatan adalah kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi negara sebagaimana kebutuhan pokok lainnya. Sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan dasar atau pokok masyarakat, Khilafah tidak akan menyerahkannya ke pihak swasta atau meminta bantuan platform.
Kedua, Khilafah akan bertanggung jawab penuh menjamin kebutuhan kesehatan dan layanan kesehatan masyarakat. Dalam hal penyakit dan atau wabah yang menjangkiti masyarakat, Khilafah akan berusaha untuk segera menangani dan mengatasinya agar tidak semakin banyak memakan korban atau menyebar luas. Khilafah akan selalu cepat tanggap dalam bertindak, baik itu dalam penanganan maupun pencegahan. Semua layanan kesehatan pun akan diberikan secara gratis dengan kualitas yang terbaik, tanpa memandang status sosial, jabatan, suku ras, dan agama.
Ketiga, Jika dana di baitulmal tidak mencukupi maka Khilafah akan memungut pajak dari harta orang kaya sesuai syariat Islam. Pemberlakuan pajak pun hanya bersifat sementara dan dipungut sesuai kebutuhan saja. Sehingga, sistem kesehatan dalam Islam tidak mengenal kata pembayaran iuran jaminan kesehatan ataupun asuransi kesehatan, karena hal ini adalah suatu yang diharamkan oleh Allah Swt.
Keempat, upaya promotif preventif atau upaya peningkatan dan pencegahan, khususnya bagi kesehatan masyarakat. Khilafah akan selalu mengingatkan masyarakatnya untuk menjaga kesehatannya serta menjaga pola hidup yang sehat dan baik. Selain itu, Khilafah juga akan berusaha menjaga makanan ataupun minuman yang beredar di masyarakat, yaitu harus sesuai syariat Islam. Baik itu dari segi bahan baku, pengelolaan hingga pada tahap distribusi.
Dengan demikian masyarakat tidak perlu khawatir jika ia menderita suatu penyakit, karena Khilafah tidak akan hanya sekadar memberikan santunan, tetapi juga akan menjamin kebutuhannya dan keluarganya selama ia sakit yakni memberikan uang saku dan pelayanan kesehatan yang terbaik.
Terakhir, walaupun Khilafah sudah berupaya menjamin kesehatan masyarakatnya, namun sakit adalah hal yang di luar kendali manusia. Ia akan datang tanpa izin dan sepengetahuan manusia. Namun, sebagai seorang mukmin atau warga negara Khilafah yang bertawakal kepada Allah, pasti tidak akan merasa risau akan sakit yang dideritanya. Karena ia mengimani sakit tersebut adalah salah satu ujian iman baginya yang harus dihadapinya. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah Swt. akan menguji hamba-Nya dengan penyakit, hingga penyakitnya menghapus dosa-dosanya." (HR. Al-Hakim).
Maka sesungguhnya upaya penanganan kesehatan yang terbaik dan amanah hanya bisa diterapkan dalam satu sistem pemerintahan yang amanah dan dirahmati oleh Allah Swt., dan ini hanya bisa diterapkan oleh Daulah Khilafah Islamiah.
Wallahu a'lam bish-shawab.[]