”Semua dilakukan dengan memperhatikan kepentingan serta kemaslahatan kaum muslimin dan tidak melibatkan pihak asing. Sebab, keterlibatan asing berpotensi untuk mengganggu keamanan negara.”
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Untuk mendukung berbagai riset, Indonesia memiliki lembaga penelitian bernama BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Sayangnya, sejak lembaga ini berdiri, berbagai masalah terus bermunculan. Yang terbaru adalah permasalahan dalam pengelolaan pendapatan, belanja, dan aset tahun anggaran (TA) 2021-2022. Hal ini dikemukakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Achsanul Qosasi, Anggota III BPK menyampaikan adanya kelemahan dalam pengamanan aset tetap tanah BRIN serta ketidaksesuaian pengelolaan kendaraan dinas roda empat BRIN dengan ketentuan. Di samping itu juga terdapat permasalahan dalam pengelolaan aset tetap peralatan dan mesin pada eks Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman yang belum diperbarui. Ada juga yang belum diketahui keberadaannya, seperti yang terjadi pada sebagian aset pada tiga Kawasan Sains dan Teknologi (KST) BRIN.
Qosasi menjelaskan hal itu saat menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan tujuan tertentu (DTT), kepatuhan atas pengelolaan pendapatan, belanja, dan aset TA 2021-2022. (Cnnindonesia.com, 10/4/2023)
Nah, apa saja dan bagaimana pengelolaan aset BRIN, permasalahan yang dihadapi, serta bagaimana solusinya dalam Islam?
BRIN dan Permasalahan yang Dihadapi
BRIN didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) serta Perpres 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional. Tujuan didirikannya BRIN adalah untuk menjalankan penelitian dan pengembangan. Di samping itu juga melakukan pengkajian dan penerapan, investigasi, serta inovasi. Semua dilakukan secara terintegrasi.
Sebelum BRIN didirikan, Indonesia telah memiliki empat lembaga penelitian nonkementerian. Yaitu, LAPAN, BATAN, LIPI, BPPT, dan LBM Eijkman. Di samping itu juga ada Kemristek serta 69 litbang K/L. Para peneliti di masing-masing lembaga penelitian tersebut melakukan riset sesuai dengan keilmuan mereka, tanpa ada campur tangan atau kepentingan pihak lain.
Setelah BRIN berdiri, berbagai lembaga penelitian tersebut dilebur ke dalamnya. Berbagai aset lembaga riset tersebut kemudian diambil alih oleh BRIN. Misalnya BPPA (Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer) di Pasuruan yang sebelumnya dikelola oleh LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional). Selanjutnya, aset tersebut bakal dimasukkan dalam nomenklatur tipe Kawasan Kemitraan Eksternal yang pemanfaatannya dapat bekerja sama dengan pihak swasta.
Tujuan peleburan lembaga-lembaga riset ke dalam BRIN adalah untuk efisiensi serta penghematan anggaran. Namun, efisiensi itu justru mengurangi efektivitas. Salah satunya adalah keharusan antre dalam elektronik layanan sains jika hendak menggunakan laboratorium. Hal ini bisa berlangsung selama berbulan-bulan tanpa adanya kejelasan.
Hal itu diperparah dengan minimnya dana riset. Sebelum dibentuk BRIN, dana riset yang diberikan ke berbagai lembaga penelitian mencapai sekitar 24 triliun rupiah. Setelah peleburan, dana yang dianggarkan untuk BRIN jauh di bawah itu, yaitu hanya sebesar 7 triliun rupiah.
Akibatnya, para peneliti harus menggunakan dana pribadi saat melakukan riset. Demikian pula ketika mereka hendak melakukan publikasi internasional dengan reputasi menengah ke atas. Ironisnya, publikasi internasional itu sendiri terjebak pada kepentingan bisnis kapitalis global. (Detik.com, 8/2/2023)
Pengelolaan Aset Negara dalam Sistem Kapitalis
Menurut UU Nomor 1 Tahun 2004, yang disebut sebagai aset negara atau barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu juga barang yang diperoleh dengan cara yang sah, baik melalui hibah, pelaksanaan perjanjian/kontrak, atau diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan, serta barang yang diperoleh berdasarkan keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Aset negara dapat berupa tanah, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, dan lainnya.
Aset negara merupakan benda yang berharga. Karena itu harus dikelola dengan baik. Faktanya, pengelolaan aset negara belum optimal. Masih banyak temuan BPK (Badan Pengawas Keuangan) yang menunjukkan hal itu. Misalnya, banyak barang yang rusak, tidak tercatat, atau hilang. Banyak juga aset berupa tanah atau bangunan yang terlantar (idle), atau tidak digunakan dengan baik (underutilized). Hal ini membuka kesempatan kepada mereka yang tidak berhak untuk memanfaatkan dan bahkan mengakui sebagai hak miliknya. Buruknya pengelolaan ini dapat merugikan keuangan negara.
Karena itu, pemerintah yang bertanggung jawab mengelola aset negara, berusaha untuk mencari strategi yang tepat. Salah satunya adalah dengan melakukan revaluasi (penilaian kembali) aset. Di samping itu, pemerintah juga bekerja sama dengan pihak ketiga untuk keperluan bisnis. Misalnya, mengalihkan fungsi gedung pemerintah menjadi hotel.
Kerja sama dengan pihak ketiga ini dapat dilakukan karena adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2020 tentang Pembiayaan Infrastruktur melalui Hak Pengelolaan Terbatas. Melalui peraturan ini, pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan badan usaha dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur. Dalam Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa badan usaha yang dapat terlibat dalam pengelolaan aset negara adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara), badan usaha swasta yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas), badan hukum asing, serta koperasi.
Sedangkan aset negara yang dapat dikelola oleh berbagai badan usaha tersebut meliputi BMN (Barang Milik Negara) yang dimiliki kementerian atau lembaga dan aset BUMN. Aset BUMN itu meliputi infrastruktur jalan tol, transportasi, sumber daya air, air minum, sistem pengelolaan sampah, serta pengelolaan limbah. Di samping itu juga infrastruktur minyak, gas bumi, ketenagalistrikan, telekomunikasi dan informatika, serta energi yang terbarukan. (Okezone.com, 4/3/2020)
Saat ini, BRIN telah bekerja sama dengan UMKM serta start-up di bidang teknologi dan informatika. Salah satunya bekerja sama dengan PT. Gerlink Utama Mandiri dalam penyediaan ventilator saat pandemi covid-19.
Kerja sama dengan pihak swasta, apalagi swasta asing ini tentu sangat berisiko. Sebab, aset-aset itu dapat dikuasai oleh swasta pribumi, bahkan asing. Dalam kondisi seperti ini, aset tersebut berpotensi dijual atau disalahgunakan, sehingga membahayakan kepentingan negara.
Keterlibatan swasta dalam pengelolaan aset negara terjadi karena pemerintah hanya terpaku pada keuntungan materi. Sedangkan keamanan negara serta rakyat menjadi urusan berikutnya. Hal ini terjadi karena diterapkannya sistem kapitalis. Karena itu, kebijakan yang diambil senantiasa berpijak pada upaya untuk memperoleh keuntungan materi. Padahal, mereka diangkat sebagai pemimpin untuk mengurusi kepentingan rakyat, bukan untuk berbisnis mencari keuntungan.
Pengelolaan Aset Negara dalam Islam
Jika dalam sistem kapitalis tidak dibedakan antara kepemilikan umum dengan kepemilikan negara, tidak demikian dengan Islam. Dalam Islam, negara memang memiliki wewenang untuk melakukan pengelolaan terhadap kepemilikan umum dan negara. Namun, negara bukanlah pemilik dari harta milik umum.
Harta milik umum akan dikelola oleh negara agar seluruh rakyat dapat memanfaatkannya. Misalnya, minyak bumi, barang tambang yang jumlahnya sangat banyak, sungai, hutan, dan sebagainya. Semua itu tidak boleh dimiliki oleh swasta atau pribadi.
Sedangkan harta negara adalah harta yang menjadi hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya berada di tangan negara. Misalnya tanah yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun (tanah mati), kantor atau gedung lembaga negara, gedung sekolah dan universitas yang dibangun oleh negara, dan sebagainya. Harta negara boleh diberikan kepada individu dengan memperhatikan kemaslahatan kaum muslimin.
Sebagai pihak yang berwenang mengelola harta negara, bukan berarti negara bertindak seperti pedagang, produsen, atau pengusaha. Negara hanya melakukan pengaturan dalam rangka ri'ayah syuun al-ummah (pemeliharaan urusan umat) untuk meraih kemaslahatan serta memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, tujuannya bukan untuk mencari keuntungan.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh negara dalam mengelola aset negara. Pertama, melakukan penjualan atau penyewaan tanah atau bangunan. Khusus untuk pertanian, hanya dilakukan penjualan, bukan penyewaan.
Kedua, mengelola tanah ladang yang ditumbuhi pepohonan. Tanah seperti ini dapat dikelola dengan pihak lain berdasarkan hasil produksinya. Misalnya, seperempat, sepertiga, atau separuhnya. Rasulullah saw. telah melakukan hal ini dengan penduduk Khaibar, Wadil Qura, dan Fadak yang telah menyatakan ketundukannya terhadap kekuasaan Islam.
Ketiga, mengelola tanah pertanian yang luas dengan menyewa atau mempekerjakan orang. Keempat, menghidupkan tanah-tanah rawa, hutan belukar, dan sebagainya agar siap ditanami. Kelima, membagikan tanah kepada masyarakat. Misalnya kepada orang yang berjasa kepada Islam, petani yang membutuhkan, dan sebagainya.
Demikianlah pengelolaan aset negara dalam Islam. Semua dilakukan dengan memperhatikan kepentingan serta kemaslahatan kaum muslimin dan tidak melibatkan pihak asing. Sebab, keterlibatan asing berpotensi untuk mengganggu keamanan negara. Allah Swt. berfirman dalam surah An-Nisa [4]: 141,
"Dan Allah sekali-kali tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin."
Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.[]