"Adanya alih fungsi lahan yang mengakibatkan lahan pertanian kian hari kian sempit. Para petani terus merasa rugi dengan hasil panen mereka, biaya modal besar sedangkan hasil panen minim. Alhasil, tidak sedikit para petani yang banting setir untuk mencari pekerjaan lain agar terus bertahan hidup dan terkadang harus rela menjual tanah-tanah mereka kepada korporasi sebagai modal usaha yang lainnya."
Oleh. Khaziyah Naflah
(Kontributor NarasiPost.Com dan Freelance Writer)
NarasiPost.Com-Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Lirik lagu dari Koes Plus dengan judul "Kolam Susu" memiliki makna yang dalam. Lagu tersebut menggambarkan bahwa negeri ini merupakan negeri yang sangat subur. Hal tersebut memang tidak diragukan lagi, sebab Indonesia ini pun mendapatkan julukan sebagai negeri agraris yakni negeri para petani.
Namun, hal tersebut kini seakan hanya sebuah khayalan semata. Pasalnya, Indonesia saat ini dilanda berbagai krisis pangan. Bahkan, impor berbagai jenis bahan pangan dari beberapa negara (luar negeri) pun membanjiri Negeri Pertiwi ini. Seperti halnya impor gula yang dinyatakan akan masuk ke dalam Republik Indonesia secara bertahap pada Maret-Mei 2023 yang ditargetkan sekitar 99 ribu ton gula kristal putih (GKP).
Hal ini disampaikan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas)/ National Food Agency (NFA) yang akan menambah pasokan gula pasir dari luar negeri. Keputusan impor gula ini merupakan hasil perhitungan Prognosa Neraca Pangan yang disusun oleh Badan Pangan Nasional. Pasalnya, produksi gula dalam negeri yang telah dimaksimalkan oleh pemerintah pada periode Januari-Desember 2023 diperkirakan sekitar 2,6 juta ton, sedangkan kebutuhan akan gula nasional pada 2023 sekitar 3,4 ton. Sehingga, kekurangan tersebut harus ditutup dengan impor (detikfinance.com, 26/03/2023).
Impor nyatanya menjadi tradisi yang sulit untuk dihilangkan oleh negeri ini, dari mulai dari bahan bakar hingga pangan. Dia menjadi solusi praktis bagi penguasa untuk menyelesaikan problem kekurangan dalam pemenuhan pasokan pangan di dalam negeri. Padahal, negeri ini notabenenya merupakan negeri yang luas nan subur yang seyogianya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Jelas hal ini menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa di negeri yang subur justru impor jadi solusi? Jika ditelisik, hal ini akibat beberapa faktor. Di antaranya, lepasnya tanggung jawab negara dalam menunjang produksi pertanian. Di era modern ini seyogianya pemerintah memberikan sarana dan prasarana yang canggih kepada para petani untuk menunjang keberhasilan panen yang berlimpah serta mampu memproduksi gula yang berkualitas.
Namun, alih-alih menunjang produksi pertanian, yang ada negara justru kian membebani petani dengan mencabut berbagai subsidi dengan berbagai dalih, mulai dari subsidi pupuk, bibit, dan lain-lain. Hal ini jelas membuat petani kelabakan, biaya ongkos mahal sedangkan hasil panen sangat minim yang berimbas pada kurangnya hasil produksi.
Kemudian, adanya alih fungsi lahan yang mengakibatkan lahan pertanian kian hari kian sempit. Alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan perumahan ataupun industri nyatanya kian tampak. Ini akibat para petani terus merasa rugi dengan hasil panen mereka, biaya modal besar sedangkan hasil panen minim. Alhasil, tidak sedikit para petani yang banting setir untuk mencari pekerjaan lain agar terus bertahan hidup dan terkadang harus rela menjual tanah-tanah mereka kepada korporasi sebagai modal usaha yang lainnya. Sehingga, para korporasi pun memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan untuk mendapatkan materi dengan cepat, yakni menyulapnya menjadi perumahan ataupun industri.
Di sisi lain, produksi industri lokal dari para petani pun harus bersaing dengan gula impor. Biaya produksi yang mahal membuat industri lokal harus menekan harga tebu dari para petani yang mengakibatkan para petani kecewa. Belum lagi, kualitas hasil produksi petani pun terkadang dianggap belum memenuhi kualitas dari gula yang baik. Alhasil, para petani harus menelan kekecewaan hingga terkadang mereka harus membabat tebu dan membakar hasil panen untuk melampiaskan kekecewaan mereka. Apalagi penguasa nyata lebih memihak pada pengusaha atau pemilik modal dari pada para petani.
Inilah kejamnya penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menyandarkan segala sesuatu hanya berbasis keuntungan dan pada kebebasan kepemilikan. Hal itu membuat negara tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya, salah satunya kebutuhan akan gula pasir. Pemenuhan ini justru jatuh di tangan para korporasi. Alhasil, para korporasi jelas bermain untung rugi kepada rakyat, pun distribusi jelas tidak akan bisa merata ke seluruh rakyat. Dengan kata lain, hanya mampu dijangkau oleh orang-orang kaya saja, sedangkan rakyat miskin harus gigit jari.
Belum lagi adanya asas kebebasan dalam kepemilikan, baik lahan ataupun sumber daya alam. Selama memiliki modal, maka mereka bisa mengembangkan dan memiliki lahan seluas apa pun dan untuk bisnis apa pun yang mereka inginkan tanpa adanya syarat. Alhasil, lahan pertanian pun jelas disulap oleh para pemilik modal untuk dijadikan berbagai prasarana lainnya, mulai dari mal hingga perumahan.
Sistem ekonomi kapitalisme pun erat kaitannya dengan pasar bebas serta liberalisasi perdagangan, yang hal ini membuat produk dalam negeri akan cenderung kalah dengan produk luar negeri yang lebih murah dan berkualitas. Selain itu juga, negara-negara berkembang pun dibuat lemah di hadapan negera-negara maju, bahkan memunculkan adanya ketergantungan impor terhadapnya. Sebab, dalam sistem ekonomi kapitalisme ada perjanjian ekonomi yang hanya menguntungkan para oligarki.
Sehingga itu jelas akan menggerus kedaulatan negara berkembang seperti Indonesia, ia juga tidak akan mampu menciptakan ketahanan pangan sendiri. Sebab, mereka dalam penguasaan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat. Alhasil, rakyat lagi yang menjadi korban.
Hal ini berbeda ketika sistem ekonomi Islam menjadi pijakan. Islam memandang jika pemenuhan hajat hidup orang banyak, termasuk pemenuhan gula pasir merupakan kewajiban negara untuk memastikan jika seluruh rakyat dapat menjangkaunya.
Sehingga, negara diwajibkan agar mampu menciptakan ketahanan pangan tanpa bergantung kepada negara-negara lain, apalagi negara-negara muhariban hukman (negara yang memusuhi Islam) seperti Amerika Serikat. Bahkan, negara Islam diwajibkan untuk menempuh berbagai tindakan kewaspadaan terhadap mereka dan dilarang menjalin hubungan diplomatik. Sehingga, negara Islam dilarang keras melakukan kerja sama dan dia akan mampu memandirikan diri sendiri. Tercatat dalam sejarah kejayaan Islam, peradaban Islam menjadi kiblat bagi para pemimpin negara lain dalam berbagai aspek, salah satunya ekonomi.
Ada beberapa hal yang akan dilakukan oleh khalifah/pemimpin untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan.
Pertama, negara memaksimalkan sektor pertanian. Dalam hal ini negara memastikan setiap orang yang memiliki lahan pertanian untuk mengelolanya. Jika mereka tidak memiliki modal, maka baitulmal akan memberikan modal kepada para petani agar memungkinkan mereka untuk menggarap tanahnya. Negara tidak ada akan membiarkan ada lahan pertanian yang terlantar ataupun mati. Negara menetapkan kebijakan, jika ada tanah yang terlantar ataupun mati selama tiga tahun berturut-turut, jika terjadi maka negara akan mengambilnya dan diberikan kepada siapa saja yang ingin mengelolanya dan memagarinya.
Dalam memaksimalkan hasil panen negara pun turut andil besar untuk mendorong meningkatkan hasil panen yang berlimpah dan berkualitas. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan berbagai sarana dan pra sarana pertanian yang canggih, serta pembangunan insfratruktur untuk menunjang keberhasilan panen tersebut, seperti bendungan. Kemudian, negara juga memberikan subsidi berupa bibit yang unggul serta pupuk dan lainnya.
Negara pun memfasilitasi laboratorium dan universitas pertanian untuk melakukan berbagai penelitian di dalam bidang pertanian, seperti menemukan bibit unggul, cara bercocok tanam yang bagus dan cepat panen, obat pembasmi hama, dan lainnya. Hal ini untuk menunjang keberlangsungan serta keberhasilan di sektor pertanian.
Kedua, negara pun mengatur distribusi pangan merata agar seluruh rakyat bisa menjangkaunya. Tidak dibenarkan ada praktik-praktik nakal, seperti monopoli pasar, penimbunan, dan lainnya yang bisa merusak harga di pasaran. Negara juga memberikan sanksi tegas bagi yang melakukan praktik-praktik nakal. Tak hanya itu, negara juga memastikan jika persaingan industri dilakukan secara baik.
Ketiga, negara bersama dengan para ahli/ilmuwan memetakan mana lahan yang subur dan kurang subur. Lahan yang kurang subur dijadikan sebagai lahan perumahan atau industri, sedangkan lahan subur dijadikan lahan pertanian. Tidak boleh dilakukan alih fungsi lahan, apalagi penguasaan lahan oleh para oligarki yang hanya untuk meraih keuntungan individu.
Dengan demikian, swasembada pangan pun akan mampu diwujudkan. Apalagi di Indonesia terkenal dengan negeri yang luas dan subur, sumber daya manusianya pun banyak karena dia juga terkenal dengan negara agraris. Maka, bukan tidak mungkin jika Indonesia melakukan swasembada pangan, termasuk gula.
Hanya saja, butuh regulasi yang mendukung terjadinya swasembada pangan tersebut secara baik dan itu hanya bisa diwujudkan di dalam sistem ekonomi Islam. Sebab, pijakan sistem ekonomi Islam adalah bagaimana menciptakan kemaslahatan bagi rakyat, bukan hanya mengejar keuntungan semata. Wallahu a'lam bishawab.[]