Menakar Efektivitas Perppu Perampasan Aset

"Tak ada harga mati untuk korupsi. Apalagi jika sudah berbicara dengan kacamata Islam, maka para koruptor dan calon koruptor akan berpikir ribuan kali untuk korupsi. Sebab, syariat Islam memang hadir sebagai penyelamat manusia dari gulita kekufuran dan pencegah berbagai kejahatan, termasuk korupsi."

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Korupsi di negeri ini telah menjelma menjadi semacam kanker kronis yang terus menyebar dan menggurita. Sebarannya pun telah merata dari pusat ke daerah dan dari rakyat jelata hingga pejabat negara. Tak hanya itu, para pelakunya pun semakin kreatif dalam memanipulasi hasil korupsi yang dilakukannya. Salah satunya melalui Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tak tanggung-tanggung, sebanyak 491 ASN di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diduga melakukan TPPU dengan total transaksi sebesar Rp349 triliun.

Mencuatnya dugaan transaksi ilegal dalam jumlah fantastis melalui TPPU, telah memunculkan berbagai desakan dari elemen masyarakat agar Presiden Jokowi segera menerbitkan Perppu Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. Salah satunya tuntutan dari Kelompok Masyarakat Sipil Gerakan Tuntaskan Reformasi, yang mendukung Menkopolhukam Mahfud MD menindak kejahatan TPPU.

Dalam pernyataannya, Sekretaris Jenderal Kelompok Masyarakat Sipil Gerakan Tuntaskan Reformasi, Dedi Prihambudi mengatakan, penerbitan Perppu tersebut akan membantu Menkopolhukam Mahfud MD mengungkap secara terang benderang kejahatan TPPU. Menurutnya lagi, tidak ada jalan bagi presiden selain mengeluarkan Perppu tersebut guna mengatasi kesulitan-kesulitan hukum untuk mengembalikan aset negara, baik untuk pembangunan maupun meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, menurut Dedi, presidenlah pihak yang paling bertanggung jawab atas pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. (tempo.co, 03/04/2023)

Minim Keseriusan

Banyak pejabat negara berkata, korupsi merupakan permasalahan darurat yang harus segera diatasi. Mereka juga menyebut, satu-satunya cara ampuh menciptakan efek jera bagi koruptor adalah pemiskinan. Sayangnya, apa yang mereka ucapkan justru selalu kontradiktif dengan apa yang terus dilakukan. Artinya, antara perkataan dengan praktiknya benar-benar jauh panggang dari api.

Untuk memutus kejahatan TPPU, seharusnya dibuat regulasi yang lebih tajam demi melahirkan efek jera. Kebijakannya pun seharusnya dibuat sejak awal. Pasalnya, dugaan kejahatan TPPU sudah terendus sejak 2003 silam. Namun, meski belasan tahun sudah berlalu, tidak ada upaya serius dari negara untuk menyelesaikan kejahatan TPPU. Buktinya adalah temuan transaksi mencurigakan di lingkungan Kementerian Keuangan yang diungkap oleh Menkopolhukam sekaligus Ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Mahfud MD, saat rapat dengar pendapat bersama DPR.

Ketidakseriusan pemerintah juga terlihat dari molornya pengesahan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana (kini diusulkan menjadi Perppu), yang sudah ada di DPR sejak 2006 lalu. Sayangnya, sudah hampir dua dekade berlalu, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana hanya sekadar menjadi rancangan. Artinya, jangankan disahkan, pembahasannya pun belum dilakukan. Meski masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, tetapi sampai saat ini pembahasannya tetap jalan di tempat.

Lantas, apa sejatinya alasan pemerintah tak kunjung mengesahkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana? Padahal, pemerintah sudah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 silam dan melakukan ratifikasi dengan membuat UU Nomor 7 Tahun 2006. Fakta ini saja sudah menggambarkan bahwa pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang tidak serius mengesahkan RUU tersebut secepatnya. Atau dapat dikatakan, negara telah kalah dengan para koruptor yang semakin canggih dalam melakukan pencucian uang.

Tarik-ulur Kepentingan

Berharap pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana secepatnya dilakukan, tampaknya akan sulit terjadi di tengah banyaknya kepentingan di tubuh DPR. Hal ini tercermin dalam rapat dengar pendapat Menkopolhukam dengan Komisi III DPR RI. Saat itu, Mahfud MD meminta kepada Ketua Komisi III Bambang Wuryanto, agar secepatnya mengesahkan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal.

Namun, Bambang justru berterus terang bahwa anggota dewan hanyalah kader yang tunduk pada ketua umum partai. Ia bahkan meminta pemerintah untuk berbicara pada para ketua partai terlebih dahulu. Sungguh menggelikan sikap wakil rakyat, tetapi inilah gambaran para dewan yang terhormat. DPR yang seharusnya mewakili rakyat, mewakili aspirasi dan kehendak rakyat, nyatanya hanya berperan sebagai wakil partai. Artinya pula, RUU ini akan sulit disahkan jika masih terdapat banyak kepentingan apalagi jika tidak ada persetujuan dari para ketua umum partai.

Fakta tersebut tidaklah mengherankan. Pasalnya, jika Perppu Perampasan Aset disahkan, maka dapat menjadi bumerang bagi pihak-pihak tertentu sekaligus akan mengusik zona nyaman mereka. Para pengamat menyebut, ada sejumlah pihak yang berpotensi memiliki kaitan kuat dengan isu-isu ini. Pertama, terkait dengan para elite politik. Kedua, para pemilik korporasi besar yang justru memiliki hubungan cukup kuat dengan kekuasaan.

Di sisi lain, untuk membuat sebuah RUU disahkan, setidaknya pemerintah dan DPR mesti satu pemahaman. Jika ada salah satu pihak yang tidak berkomitmen, mustahil rasanya RUU tersebut bisa disahkan. Apalagi jika keduanya sama-sama tidak memiliki komitmen. Tarik-ulur kepentingan inilah yang membuat sebuah Perppu maupun UU tak kunjung disahkan. Andai pun berhasil disahkan, tetap tidak ada jaminan bahwa Perppu tersebut bisa menjadi solusi tuntas memberantas TPPU.

Gurita Korupsi

Korupsi dan demokrasi ibarat simbiosis mutualisme. Keduanya berjalan beriringan bagai tangan dan kaki. Korupsi butuh sistem yang memberi jalan bagi para koruptor, sedangkan demokrasi berperan sebagai lahan subur bagi korupsi. Demokrasi tak mengenal baik dan buruk, apalagi halal dan haram. Hanya satu standar baku yang terus melekat sepanjang perjalanan demokrasi, yakni kepentingan dan manfaat. Demokrasi pun telah melahirkan budaya korupsi yang mengakar kuat di negeri ini.

Korupsi memang bukan salah individu semata. Mengguritanya korupsi dengan berbagai modus dan kreativitasnya adalah hasil penerapan spirit sekularisme di negeri ini. Jelaslah ketika hukum Allah dipinggirkan, maka akan lahir kebijakan zalim yang hanya berlandaskan akal semata. Termasuk lahirnya para pejabat dan penguasa yang tidak amanah. Mereka duduk di singgasana negara hanya demi seonggok kekuasaan. Dengan prinsip kebebasan ala demokrasi tersebut, mustahil rasanya RUU atau Perppu ini akan efektif memberantas TPPU. Sebagaimana UU dan Perppu lainnya yang tak mampu menjadi solusi tuntas.

Korupsi Enyah dengan Sistem Islam

Tak ada harga mati untuk korupsi. Apalagi jika sudah berbicara dengan kacamata Islam, maka para koruptor dan calon koruptor akan berpikir ribuan kali untuk korupsi. Sebab, syariat Islam memang hadir sebagai penyelamat manusia dari gulita kekufuran dan pencegah berbagai kejahatan, termasuk korupsi.

Islam tak hanya mampu memutus gurita korupsi, bahkan mampu menutup celah korupsi para pejabat negara. Agar korupsi tak tumbuh subur, maka negara (Khilafah) akan melakukan upaya preventif yang dapat mencegah korupsi. Langkah-langkah tersebut di antaranya:

Pertama, pemilihan aparatur negara harus berdasarkan profesionalitas dan integritas semata. Bukan pada koneksitas dan nepotisme sebagaimana lazim terjadi dalam sistem demokrasi. Bagi aparatur peradilan misalnya, mereka wajib memenuhi kriteria kapabilitas (kifayah) dan berkepribadian Islam. Sebab, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda dalam hadis riwayat Al-Bukhari,

"Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat."

Kedua, pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawai wajib dilakukan oleh negara. Hal ini pun pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab kepada para bawahannya. Bahkan, Umar pernah menulis sebuah pesan kepada Abu Musa Al-Asy'ari, yang berbunyi, "Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok."

Ketiga, gaji yang layak wajib diberikan oleh negara kepada aparatnya. Hal ini guna mencegah tindakan korupsi aparat negara karena gaji tidak mencukupi. Abu Ubaidah pun pernah mengatakan kepada Khalifah Umar, "Cukupilah para pegawaimu agar mereka tidak berkhianat."

Keempat, suap dan hadiah bagi para aparat negara adalah haram. Karenanya Islam melarang para pejabat negara menerima hadiah, sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,

"Siapa saja yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang ia ambil di luar itu adalah harta yang curang."

Kelima, negara akan melakukan perhitungan kekayaan bagi seluruh aparatnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jika ada penambahan harta yang tidak wajar selama menjabat. Sebagaimana yang pernah dilakukan Khalifah Umar terhadap para pejabat pada awal dan akhir jabatannya.

Keenam, teladan pemimpin menjadi faktor penting dalam Islam. Sebab, kebanyakan manusia cenderung mengikuti orang yang dianggap terpandang dalam masyarakat. Karena itu, teladan yang baik para pemimpin akan membuat masyarakat mengikuti kebiasaan para pemimpinnya.

Ketujuh, wajib adanya pengawasan oleh negara dan masyarakat. Suatu ketika Khalifah Umar bin Khaththab pernah dikritik oleh seseorang ketika hendak menetapkan batas maksimal mahar yakni sebesar 400 dirham. Hingga pengkritik Umar berkata, "Engkau tidak berhak menetapkan itu, hai Umar."

Jika langkah preventif sudah dilakukan negara tetapi korupsi masih juga terjadi, maka syariat Islam akan menanganinya dengan langkah kuratif, yakni memberikan tindakan hukum yang tegas dan setimpal. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan menjadi pelajaran bagi yang lainnya. Hukuman untuk para koruptor masuk dalam kategori ta'zir, yakni yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Hukumannya pun bertingkat mulai dari yang paling ringan yakni berupa teguran, sampai yang paling berat yaitu hukuman mati. Penentuan hukuman pun disesuaikan dengan tingkat kejahatannya.

Khatimah

Kejahatan korupsi dan yang sejenisnya hanya mampu diberantas oleh sistem yang menjadikan akidah sebagai dasar, yakni Islam. Hanya saja, penerapan langkah preventif dan kuratif dalam hal pencegahan korupsi hanya bisa dilakukan jika ada negara yang menaunginya. Negaranya pun harus berlandaskan syariat Islam, yakni Khilafah. Sebab, korupsi adalah masalah sistemis yang hanya bisa diselesaikan dengan sistem lainnya. Karena itu, menjadi kewajiban semua umat Islam untuk memperjuangkan penerapan syariat Islam agar keberkahan, kesejahteraan, dan keamanan menjadi nyata. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
72 Persen Muslim Buta Aksara Al-Qur'an, kok Bisa?
Next
Jepang Tak Seindah Sakura
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram