”Dari sini terlihat bahwa penguasa lebih berpihak kepada oligarki daripada memikirkan nasib rakyat. Mereka justru memosisikan dirinya sebagai regulator semata.”
Oleh. Tatiana Riardiyati Sophia
(Kontributor NarasiPost.Com, Pegiat Literasi dan Dakwah)
NarasiPost.Com-Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih menjadi momok yang menakutkan bagi para pekerja di negeri ini. Bagaimana tidak, beberapa tahun terakhir banyak perusahaan yang memberhentikan sepihak ratusan bahkan ribuan buruhnya. Sebagaimana yang terjadi pada buruh PT. Kapal Api. Dikabarkan, kondisi PHK massal yang menimpa para buruh tersebut sebagai dampak pandemi Covid-19 tiga tahun yang lalu dan adanya perang antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan buruknya situasi ekonomi global.
Badai PHK ini melanda berbagai sektor industri seperti startup, ritel, tekstil, garmen, asuransi, otomotif dan sebagainya. Bukan hanya di dalam negeri, bahkan di negara berjuluk adidaya seperti Amerika Serikat pun tidak lolos dari gelombang pemutusan hubungan kerja ini.
Seperti yang dialami oleh Walmart, salah satu raksasa ritel di AS ini akan memangkas jumlah karyawannya sebanyak lebih dari 2000 orang di 5 gudang usaha mereka. Selain itu pesaingnya Amazon telah lebih dulu merumahkan 30.000 pekerjanya dari awal tahun 2023. (CNN Indonesia, 6 April 2023)
Dikutip dari situs Kumparan Bisnis, di negeri ini sendiri maraknya PHK mengakibatkan tingginya klaim terhadap asuransi Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dikeluarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan sebesar 35,6 miliar rupiah pada Februari 2023. Dana yang dicairkan ini digunakan untuk bertahan hidup bagi pekerja yang kehilangan pekerjaannya. Sebab, tidak semua perusahaan akan memberikan pesangon yang memadai bagi buruh yang dipecat.
Alasan utama banyak perusahaan memutus hubungan kerja ini tak lain adalah kondisi ekonomi yang sedang goyah. Resesi ekonomi yang terjadi mengakibatkan harga-harga barang kebutuhan melambung tinggi sehingga menyebabkan daya beli masyarakat menurun, akibatnya permintaan akan barang produksi berkurang.
Tak ayal demi menyelamatkan keuangan perusahaan, langkah awal yang diambil adalah memberhentikan para pekerja. Hal ini karena buruh/karyawan dianggap sebagai salah satu faktor produksi, sedangkan prinsip dalam kapitalisme adalah menekan biaya produksi setinggi-tingginya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya .
Sehingga, apabila sebuah perusahaan mengalami guncangan keuangan maka PHK adalah solusi yang sering diambil. Ditambah lagi dengan dukungan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah disahkan oleh penguasa negeri ini semakin melegitimasi para kapital untuk semena-mena memecat para pekerja yang dianggap tidak dibutuhkan lagi.
Dari sini terlihat betapa lemahnya posisi buruh/pekerja dalam suatu kontrak kerja. Mereka direkrut atau dipecat sesuai kebutuhan industri. Kemudian mereka akan diputuskan hubungan kerjanya dengan berbagai alasan, termasuk karena tenaga mereka telah digantikan oleh teknologi/sistem yang dianggap lebih efisien dibanding dengan memakai tenaga manusia.
Inilah bentuk kezaliman sistem kapitalisme terhadap para buruh. Cara pandang ini menyebabkan para kapital memandang para pekerjanya bukan sebagai aset yang mereka butuhkan tenaga dan keahliannya untuk mendukung kemajuan perusahaan, tapi semata-mata seperti barang yang habis manis sepah dibuang. Mereka tidak peduli dengan nasib para pekerjanya. Eksistensi perusahaan dan keuntunganlah tujuan mereka.
Hal itu sejalan dengan penguasa yang juga tidak berpihak kepada rakyat. Melalui UU Omnibus Law pemerintah malah memberi kemudahan bagi para tenaga kerja asing (TKA) untuk mengisi lapangan kerja yang tersedia di negeri ini terutama TKA dari Cina. Padahal skill yang mereka miliki juga minim, tetapi diberi upah dengan sangat tinggi. Sementara para pencari kerja di negeri ini dibiarkan berjuang mendapatkan pekerjaan yang seharusnya menjadi hak mereka.
Dari sini terlihat bahwa penguasa lebih berpihak kepada oligarki daripada memikirkan nasib rakyat. Mereka justru memosisikan dirinya sebagai regulator semata. Segala kebijakan yang dibuat bertujuan memuluskan dan melanggengkan dominasi para pemilik modal untuk menguasai harta kekayaan negeri ini yang sejatinya adalah milik rakyat. Sementara solusi yang diberikan kepada rakyat bersifat pragmatis dan sama sekali tidak solutif, seperti memberikan BLT, Kartu Prakerja, dan lain sebagainya.
Padahal, yang dibutuhkan rakyat adalah jaminan ketersediaan lapangan kerja bagi mereka. Di tengah harga kebutuhan pokok meroket serta banyaknya kewajiban yang harus dipenuhi, di saat yang sama pekerjaan malah tak punya. Negeri yang sangat kaya akan sumber daya alamnya ini harusnya mampu memenuhi kewajibannya menyediakan pekerjaan bagi setiap laki-laki dewasa agar mereka dapat memenuhi kewajiban nafkahnya kepada keluarga. Bukan malah diabaikan seperti saat ini, di-PHK secara massal justru di saat kondisi ekonomi dalam negeri tengah terpuruk.
Berbeda halnya jika permasalahan ini diatur dengan sistem Islam. Dalam Islam, pekerja dan pemberi kerja diatur sedemikian rupa. Mereka diikat dengan akad ijarah yang saling menguntungkan. Upah yang diberikan berupa kompensasi atas jasa pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan nilai kegunaannya.
Besaran upah tidak ditentukan oleh pemberi kerja, pengusaha, negara apalagi pekerja itu sendiri. Akan tetapi diserahkan kepada seorang ahli yang mampu menilai jasa dari sebuah pekerjaan. Tidak pula dihitung berdasarkan batas kebutuhan terendah hidup seseorang seperti UMR dan UMP dalam sistem kapitalisme. Demikian juga tidak boleh diberikan berdasarkan sedikit banyak produksi yang dihasilkan. Tetapi pada kesepakatan akad/kontrak kerja antara pekerja dan yang mempekerjakan (ajir dan musta’jir), termasuk bagaimana hak dan kewajiban keduanya tertunaikan seperti perlakuan musta’jir untuk tidak menunda upah bahkan menzalimi pekerja.
Rasulullah saw. bersabda: “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Yang paling penting Islam tidak memandang pekerja hanya sebagai bagian dari faktor produksi. Tapi melihatnya sebagai manusia yang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga, jika suatu industri mengalami penurunan permintaan barang atau ekonomi negara sedang merosot tidak akan berimbas pada penurunan gaji pekerja atau justru PHK.
Di samping itu negara menjamin kebutuhan rakyat berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Sehingga, masyarakat dalam sistem Islam tidak dipusingkan dengan pemenuhan kebutuhan pokok mereka, karena bisa didapatkan dan dinikmati dengan harga yang murah atau bahkan gratis.
Negara juga dengan sistem ekonominya yang paripurna akan menjaga kestabilan ekonomi di dalam negeri. Mendorong dunia usaha dengan melarang praktik ribawi, melarang transaksi keuangan nonriil, menetapkan mata uang berbasis emas dan perak dan menerapkan fiskal berbasis syariah. Sehingga, dengan demikian industri akan berkembang dan dapat menyerap tenaga kerja yang banyak.
Selain itu negara akan mengelola SDA-nya secara mandiri. Harta milik rakyat ini akan dikembalikan hasilnya kepada umat dalam bentuk berbagai jaminan yang akan dinikmati seluruh penduduk negeri muslim. Salah satunya adalah pendidikan yang berkualitas dan gratis, sehingga para pemuda memiliki skill yang mumpuni baik menjadi tenaga ahli atau teknis. Dengan demikian negara tidak perlu mempekerjakan orang-orang asing dan lapangan pekerjaan akan tersedia seluas-luasnya bagi masyarakat. Kondisi ideal tersebut hanya dapat diraih jika aturan Islam diperjuangkan dan kemudian diterapkan di seluruh negeri kaum muslim.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.