"Umat muslim adalah umat mayoritas di negara ini, namun sering kali mendapatkan pengerdilan dari penguasanya sendiri. Ketidakadilan yang dirasakan akan semakin memperdalam jurang ketidakpercayaan rakyat terhadap penguasa. Dalam mengurusi kebutuhan rakyat, pemerintahan dalam sistem kapitalisme tidak akan pernah murni menjalankan amanahnya semata-mata demi kepuasan rakyat."
Oleh. Dian Afianti Ilyas
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setelah dua tahun sebelumnya pemerintah melarang masyarakat Indonesia untuk mudik lebaran akibat pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan bahwa mudik pada perayaan Idulfitri 2022 kini diperbolehkan. Hal ini diutarakannya pada saat konferensi pers daring dari Istana Merdeka pada Rabu, 23 Maret 2022. (cnnindonesia.com, 26/3/2022)
Kabar ini bak angin segar bagi perantau yang tengah mengadu nasib di kota-kota besar. Mudik lebaran adalah momentum yang dinanti-nantikan, sebab menjadi ajang sekali setahun untuk menyambangi sanak saudara di kampung halaman.
Namun, lampu hijau yang diberikan pemerintah ternyata disertai sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi oleh calon pemudik, yakni wajib untuk merampungkan vaksin primer (dosis satu dan dua) serta booster. Dengan terpenuhinya prasyarat tersebut, calon pemudik tidak perlu melampirkan hasil negatif pemeriksaan Covid-19. Jika calon pemudik belum menerima vaksin booster, maka harus menunjukkan hasil negatif tes RT-PCR bagi yang baru mendapatkan vaksinasi dosis pertama. Sedangkan mereka yang telah vaksinasi dosis kedua cukup melampirkan hasil negatif rapid test antigen. (republika.co.id, 23/3/2022)
Prasyarat inilah yang kemudian menimbulkan polemik dan menuai protes dari masyarakat, khususnya umat muslim. Sebab melihat kebijakan yang bergulir senantiasa bersifat "tajam" jika berkaitan dengan ibadah dan perayaan agama Islam, namun kebijakan rezim menjadi "lunak" jika menyangkut perhelatan lainnya. Mengapa demikian?
Kepercayaan Masyarakat Kian Redup
Pagelaran MotoGP Mandalika yang baru saja usai, serta perayaan Imlek, Hari Natal, dan tahun baru beberapa waktu lalu—yang tidak ada ketentuan vaksin booster dalam penyelenggaraannya—adalah sederet fakta yang menyiratkan kesan ketidakadilan pemerintah terhadap rakyatnya. Padahal, perayaan-perayaan tersebut tidak ada bedanya dengan mudik lebaran, sama-sama menyebabkan kerumunan dan interaksi antarmanusia.
Selain itu, pemerintah juga memberikan pelonggaran kepada Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN), yang mana mereka bisa terbebas dari karantina hanya dengan menunjukkan hasil tes negatif RT-PCR dan telah vaksin dosis kedua, sama sekali tidak diwajibkan untuk vaksin booster. Padahal, pemudik maupun PPLN sama-sama memiliki faktor risiko penularan. Jika benar pemerintah serius dalam menangani pandemi ini, tentunya tidak akan memberikan perlakuan yang berbeda.
Apabila merujuk pada Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 11 Tahun 2022, masyarakat yang telah menerima vaksin dosis kedua seharusnya sudah tidak perlu lagi melampirkan hasil tes negatif Covid-19. Namun, kebijakan tersebut berubah menjelang umat muslim memasuki bulan Ramadan.
Inkonsisten kebijakan yang kerap kali dipertontonkan pemerintah tak ayal menjadi bumerang. Kepercayaan rakyat atas pelayanan publik hari ini kian redup, bahkan bisa memantik masyarakat untuk melanggar protokol kesehatan. Vaksinasi yang sejatinya adalah salah satu ikhtiar untuk menciptakan kekebalan tubuh dalam menghadapi Covid-19, akan dianggap sepele oleh masyarakat. Antusias untuk memproteksi diri pun lenyap. Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab memberikan pelayan terbaik justru menjadi penyebab masyarakat yang tak acuh akibat kebijakan yang plin-plan.
Momentum "Durian Runtuh"
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhub telah memproyeksikan bahwa hampir 80 juta orang akan melakukan perjalanan mudik lebaran tahun ini. Di sisi lain, laporan pemerintah pada 28 Maret 2022 menyebutkan bahwa capaian vaksin booster nasional baru menyentuh angka 9,75 persen. Data ini semakin menguatkan bahwa masyarakat yang memperoleh vaksin booster masih terbilang sedikit.
Dengan dikeluarkannya kebijakan vaksin booster sebagai syarat mudik, 80 juta orang yang diperkirakan akan mudik tersebut bisa dipastikan banyak yang belum mendapatkan vaksinasi booster. Mereka yang tetap ingin mudik pun kemudian harus mengambil opsi lain yaitu melakukan tes negatif Covid-19 agar dapat tetap pulang ke kampung halaman.
Andai pun masyarakat berupaya untuk merampungkan vaksin primer dan booster agar tak perlu membayar tes Covid-19, rasanya sulit terealisasi sebab rentang waktu antar tiap dosis vaksin harus menunggu beberapa bulan.
Kebijakan ini sungguh memberatkan para pemudik. Belum lagi jika dalam satu keluarga terdiri dari bapak, ibu, dan beberapa anak, maka mereka harus merogeh kocek yang tidak sedikit, apalagi mereka harus melakukan tes ketika pergi dan pulang. Bagi mereka yang tidak memiliki dana lebih, maka harus bersiap-siap gigit jari.
Tak ayal, momentum mudik ini bak "durian runtuh" bagi penyedia layanan tes Covid-19. Walau harga tes RT-PCR dan rapid test antigen telah turun dibandingkan tarif di awal pandemi, namun tetap saja para pebisnis dalam pusaran penyedia tes Covid-19 yang akan diuntungkan.
Andil Kapitalisme
Selama negara ini masih menerapkan sistem kapitalisme, selama itu pula rakyat akan terus merasakan perlakuan tidak adil atas kebijakan penguasa. Paham materialisme yang lahir dari sistem buatan akal manusia ini akan terus membentangkan "karpet merah" bagi para pengusaha. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan tidak lagi menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritas. Selama menghasilkan cuan, maka disitulah keberpihakan penguasa. Tak heran jika penetapan syarat vaksin booster terkesan tebang pilih, diwajibkan untuk perayaan yang satu dan tidak diwajibkan untuk perayaan yang lainnya, padahal sama-sama berpotensi terjadi penularan virus di dalamnya.
Umat muslim adalah umat mayoritas di negara ini, namun sering kali mendapatkan pengerdilan dari penguasanya sendiri. Ketidakadilan yang dirasakan akan semakin memperdalam jurang ketidakpercayaan rakyat terhadap penguasa. Dalam mengurusi kebutuhan rakyat, pemerintahan dalam sistem kapitalisme tidak akan pernah murni menjalankan amanahnya semata-mata demi kepuasan rakyat.
Lantas, adakah solusi jitu yang dapat ditempuh umat muslim hari ini?
Pemimpin Adil Hanya dalam Islam
Kita semua tentunya menginginkan agar pandemi ini segera berakhir, menyelamatkan banyak nyawa, dan kehidupan bisa berjalan normal seperti sebelumnya. Namun, melihat kebijakan pemerintah terkait mitigasi Covid-19 yang acapkali berubah-ubah, hingga membuat masyarakat pun menjadi abai dalam menjalankan protokol kesehatan, rasanya semua itu akan sulit terwujud jika berharap pada penguasa dalam sistem hari ini.
Islam meniscayakan hadirnya pemimpin sejati, pemimpin yang menegakkan aturan secara tegas tanpa tebang pilih, apalagi jika menyangkut nyawa rakyat. Kebijakan yang akan diambilnya tentu tanpa motif kepentingan, baik ekonomi ataupun politik.
Pemimpin dalam Islam—khalifah—sangat memahami betapa besar pertanggungjawaban akan amanah yang ada di pundaknya. Ketakwaan yang tersemai dalam naungan penerapan Islam kafah menjadikan seorang khalifah begitu berhati-hati dalam menetapkan sebuah kebijakan. Khalifah akan memperhatikan jangan sampai ada rakyatnya yang terzalimi. Rasulullah saw. bersabda dalam Hadis Riwayat at-Tirmidzi, "Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah pada hari kiamat dan paling jauh kedudukannya adalah pemimpin yang zalim."
Sikap konsisten khalifah akan memunculkan kepercayaan publik kepadanya. Kebijakan yang ia terapkan akan disambut oleh rakyat dengan sukacita. Rakyat akan mencintainya dan Allah akan menaunginya kelak ketika tidak ada naungan sama sekali. Rasulullah saw. bersabda dalam Hadis Riwayat Muslim, "Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah suatu amanah, dan di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan kecuali mereka yang mengambilnya dengan cara yang baik serta dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin yang baik."
Khatimah
Masuknya bulan Ramadan seharusnya menjadi momentum bagi penguasa hari ini untuk mengintrospeksi diri. Kebijakan plin-plan dan terkesan tebang pilih hanya akan membuat rakyat yang dipimpinnya kelak akan menuntutnya di hadapan Allah Swt.
Sudah saatnya umat beralih kepada sistem sahih berlandaskan wahyu Allah Swt., yakni sistem Islam. Niscaya keadilan segera hadir menyapa. Keberkahan akan turun dari arsy-Nya atas ketakwaan penguasa dan rakyatnya.
Wallahu 'alam bish showab.[]