"Memang sangat disayangkan, mengapa pemerintah lagi-lagi memberikan kebijakan yang dinilai membatasi mobilitas umat Islam pada Lebaran nanti. Padahal sebelumnya ada pagelaran Pertamina Grand Prix of Indonesia atau MotoGP Mandalika 2022. Yang di mana pemerintah tidak mensyaratkan vaksin booster."
Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bulan Ramadan sudah tiba, umat muslim menyambut penuh suka cita. Berharap di Idulfitri bisa bertemu keluarga. Berkumpul bersama sanak saudara. Tapi apalah daya, nyatanya ada syarat yang harus dibawa.
Beberapa waktu lalu, pemerintah resmi memberikan lampu hijau bagi umat muslim yang hendak mudik Lebaran Idulfitri 1443 Hijriah. Setelah dua tahun sebelumnya, aktivitas mudik dilarang karena kondisi Indonesia masih tinggi angka kasus Corona (Covid-19). Namun, untuk mobilitas mudik, pemerintah mewajibkan sejumlah syarat yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Salah satu syaratnya adalah mewajibkan pemudik sudah menyelesaikan vaksin dosis dua dan booster. (cnnindonesia.com, 26/03/2022)
Lantas, kebijakan pemerintah atas diberlakukannya syarat mudik, menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa kebijakan ini sejatinya tidak adil bagi umat muslim, benarkah demikian?
Kebijakan Setengah Hati bagi Umat Muslim
Umat muslim yang akan mudik, bagi yang sudah menerima vaksin booster, maka tidak diminta melampirkan hasil negatif pemeriksaan Covid-19. Sedangkan warga yang baru menerima vaksin dua dosis diharuskan melakukan pemeriksaan rapid test antigen, dan warga yang baru menerima vaksin Covid-19 satu dosis diharuskan menyertakan hasil negatif Covid-19 dari tes PCR. (cnnindonesia.com, 26/03/2022)
Kebijakan ini lantas menarik perhatian publik yang kemudian dibandingkan dengan kebijakan pemerintah lainnya. Komentar datang dari Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay, yang menilai bahwa tidak memungkinkan semua pemudik bisa mendapatkan vaksinasi Covid-19 booster jelang Lebaran Idulfitri. Saleh mengakui bahwa program vaksin booster sudah berjalan beberapa bulan terakhir. Namun, penyuntikan vaksin booster ke masyarakat tidak bisa dilakukan secara bersamaan karena keterbatasan waktu dan kapasitas vaksinator yang ada juga terbatas. (cnnindonesia.com, 26/03/2022)
Berdasarkan data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, capaian vaksinasi Covid-19 dari total sasaran 208.265.720 orang pada tanggal 29 Maret 2022 adalah vaksin dosis satu mencapai 94,23%, vaksin dua mencapai 76,26 % sedangkan vaksin booster baru mencapai 10.31%. Maka, wajar jika ada pendapat yang menyatakan bahwa kebijakan vaksin booster sebagai persyaratan mudik adalah suatu yang tidak realistis.
Faktanya, untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah juga menyiapkan posko vaksin dua dan booster. Namun, keberadaan posko tersebut sangat terbatas dan sangat tidak mungkin menjangkau keseluruhan kebutuhan vaksin mengingat tenaga vaksinator juga sangat terbatas. Hal ini sama artinya bahwa sebenarnya pemerintah tidak benar-benar mengizinkan umat muslim untuk mudik. Atau dengan kata lain, pemerintah membolehkan namun dengan prasyarat yang memberatkan. Inilah fakta bahwa sebenarnya kebijakan pemerintah memberikan lampu hijau untuk mudik adalah kebijakan setengah hati bagi umat muslim.
Inkonsistensi Kebijakan Pemerintah
Sebagaimana yang disampaikan Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Irwan, yang membandingkan kebijakan yang dibuat pemerintah saat ini dengan jelang perayaan Tahun Baru 2022 silam. Irwan menyampaikan, pada perayaan Tahun Baru 2022 lalu, pemerintah tidak mensyaratkan vaksin booster dan tidak mensyaratkan apa pun untuk mengontrol mobilitas massa. Irwan menilai pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan setiap kebijakan. Sehingga sering kali bingung dengan kebijakan yang dikeluarkan sendiri. (cnnindonesia.com, 26/03/2022)
Memang sangat disayangkan, mengapa pemerintah lagi-lagi memberikan kebijakan yang dinilai membatasi mobilitas umat Islam pada Lebaran nanti. Padahal sebelumnya ada pagelaran Pertamina Grand Prix of Indonesia atau MotoGP Mandalika 2022. Yang di mana pemerintah tidak mensyaratkan vaksin booster. Kemudian juga saat perayaan Imlek, Natal, dan Tahun Baru beberapa saat lalu pemerintah juga sama sekali tidak memberikan larangan mudik. Hanya mewajibkan penggunaan aplikasi PeduliLindungi, sertifikat vaksin, serta keterangan negatif tes antigen. Dan tidak mensyaratkan vaksin booster.
Inkonsistensi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah membuat umat muslim bertanya-tanya. Apa kiranya yang menjadikan pemerintah seakan berlaku tidak adil kepada umat muslim? Pemerintah berdalih pengetatan ini diambil karena melihat jumlah umat muslim yang akan melakukan mobilitas lebaran sangat besar. Maka, tetap diizinkan mudik namun perlu juga diberlakukan pengetatan. Jika kita mau berpikir detail, sebenarnya ini adalah alasan yang tidak layak disampaikan karena justru akan menambah luka pada hati umat muslim. Faktanya pemerintah tidak pernah berlaku tegas pada setiap pelanggaran (kerumunan) yang terjadi kecuali itu berkenaan dengan umat muslim. Misal, kasus kerumunan di mal pada saat perayaan Imlek beberapa waktu lalu, kemudian dibukanya kembali tempat pariwisata dengan dalih perekonomian, kemudian juga membolehkan dengan leluasa mobilitas orang keluar negeri maupun sebaliknya. Dan bahkan yang lebih disayangkan lagi, seringkali kerumunan yang terjadi muncul dari kebijakan atau program pemerintah itu sendiri.
Begitu seringnya publik dipertontonkan dengan inkonsistensi kebijakan pemerintah saat ini, menjadikan publik mulai hilang percaya kepada apa yang menjadi kebijakan pemerintah. Seperti tarik ulur kebijakan PPKM atas dalih menyelamatkan perekonomian juga tidak lantas sepenuhnya mampu membangkitkan perekonomian masyarakat. Namun, justru setiap PPKM mulai dilonggarkan, kasus Covid merangkak naik.
Rindu Pemimpin yang Adil
Memang susah menaruh harapan kepada pemimpin dalam sistem kapitalisme seperti sekarang ini. Manifestasi pemerintahan berasaskan demokrasi menjadikan setiap orang, sekalipun pemimpin, berlaku sesukanya atau berdasarkan perintah para "pemilik kuasa". Bahkan sering kali yang notabene rakyat harusnya menjadi prioritas, seakan menjadi warga nomor dua.
Umat membutuhkan konsistensi pemerintah dalam menjalankan setiap kebijakan. Sudah seharusnya pemerintah mampu menjadi teladan bagi masyarakat atas setiap kebijakan yang ambil. Jika memang pemerintah mau menghentikan pandemi dengan cara membatasi mobilitas masyarakat, harusnya itu diberlakukan untuk siapa saja tanpa melihat latar belakang agama maupun status sosial.
Pemimpin dalam daulah Islam atau Khalifah, senantiasa menghadirkan ruh dalam setiap aktivitas kepemimpinannya. Menjadikan rida Allah ta'ala sebagai satu-satunya tujuan yang ingin dicapai. Berkhidmat sepenuh hati dan pikiran dalam menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Karena Khalifah paham betul akan firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 8 : "Dan berlaku adillah karena keadilan lebih dekat dengan takwa."
Rasulullah sebagai pemimpin pun telah mencontohkan bagaimana seorang pemimpin harus berlaku adil kepada rakyatnya tanpa pandang bulu, sekalipun berkenaan dengan keluarganya. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari : "Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, Aku sendiri yang akan memotong tangannya."
Itulah gambaran keadilan pemimpin dalam pemerintahan Islam. Apakah kita tidak rindu akan keberadaannya? Semoga Allah memberikan umur panjang untuk berjumpa pemimpin adil yang menerapkan Islam secara kaffah. Amin ya Robbal'alamin.
Wallahu'alam bishowab.[]
Photo : Unsplash