Utang Luar Negeri Terus Menumpuk, Sinyal Stabilitas Keuangan Negara Kian Ambruk

"Upaya yang dilakukan oleh banyak negara, tak terkecuali negeri-negeri muslim di sistem kapitalis adalah dengan menggenjot sektor pajak juga menambah utang luar negeri."

Oleh. Rufaida Aslamiy

NarasiPost.Com-Bisa dipastikan, saat ini dalam sistem kapitalis keberadaan utang adalah suatu keniscayaan. Utang tidak bisa dilepaskan, karena menjadi salah satu komponen untuk kemajuan ekonomi, baik taraf individu ataupun negara. Bahkan, dalam sistem ini, anggaran pembiayaan APBN diambil dari pajak, dan juga dari utang. Utang yang dimaksud adalah Utang Luar Negeri (ULN). Kenapa harus berutang? Karena beranggapan bahwa utang ini adalah instrumen untuk menyelamatkan perekonomian bangsa, terlebih di kala pandemi seperti sekarang. Namun, apakah tepat pernyataan tersebut?

Keberadaan utang sebagai upaya untuk menyelamatkan warga negara sebenarnya tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat dewasa ini. Keberadaan orang miskin saja di negara kita tahun 2021 mencapai 26,50 juta orang atau 9,71%, (cnbcindonesia.com, 17/01/2022). Sementara Badan Pusat Statistik mencatat jumlah angka pengangguran di Indonesia sebanyak 9,1 juta orang pada Agustus 2021. Jadi sebetulnya masyarakat juga bisa menilai, menyelamatkan perekonomian dan warga negara yang dimaksud itu warga negara yang mana, apakah benar murni untuk rakyat atau untuk siapa?

Masyarakat saat ini sudah cukup dipusingkan dengan berbagai kebijakan zalim penguasa. Banyak kebijakan tidak memihak rakyat. Dana utang ribuan triliunan, ujung-ujungnya untuk infrastruktur. Pembangunan ibu kota, pembuatan tol, jembatan, dan lain-lain. Apakah rakyat kecil menikmati itu? Jelas tidak. Kalaupun ada, paling sebagian kecil dari jumlah total warga negara, terbatas hanya untuk orang-orang kaya saja. Sementara, utang kian membengkak. Akibatnya, pemerintah kian melakukan optimalisasi sumber- sumber pendapatan negara, khususnya dari sektor pajak. Siapa yang diperas? Ya rakyat lagi. Jadi tidak aneh, jika akhirnya PPN pun dinaikkan hingga 11 persen per tanggal 1 April 2022 kemarin, padahal banyak pihak yang melakukan penolakan.

Utang Luar Negeri Terus Menumpuk Tembus Rp7.000 Triliun

Dilansir dari Kompas.com (31/03/2022), utang luar negeri yang dimiliki pemerintah di era Presiden Jokowi per tanggal 28 Februari 2022, sudah menembus Rp7.014,58 triliun. Sangat signifikan apabila dibandingkan posisi sebelumnya atau per 31 Januari 2022 yakni Rp6.919,15 triliun. Itu artinya, dalam jangka waktu sebulan, utang negara bertambah sebesar Rp95,43 triliun. ‘Prestasi’ luar biasa dan sangat miris, bisa-bisanya rekor utang luar negeri menembus level di atas Rp7.000 triliun. Astagfirullah.

Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira, mewanti-wanti terkait potensi peningkatan rasio utang pemerintah pada tahun 2022. Dia memperkirakan, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun ini bisa berada di kisaran 45%-47%. Maka dari itu, Bhima menyarankan, pemerintah agar lebih bijak dalam mengelola utang, misalnya dengan menyusun skala prioritas belanja (Kontan.co.id, 9/1/2022).

Kapitalisme Sumber Kerusakan, Kembalilah pada Islam

Upaya terus dilakukan untuk memulihkan ekonomi pasca pandemi. Upaya yang dilakukan oleh banyak negara, tak terkecuali negeri-negeri muslim di sistem kapitalis adalah dengan menggenjot sektor pajak juga menambah utang luar negeri. Padahal, kalau kita berkaca pada apa yang dipraktikkan Rasulullah dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam melakukan praktik sistem keuangan sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Begitu juga para khalifah (pengganti Rasulullah) setelah Beliau saw., mereka membuat Baitul Mal yang berbeda aktivitasnya dalam hal melakukan pungutan.

Pungutan yang dilakukan dalam Islam tidak seperti kebijakan fiskal atau sistem pajak dalam sistem demokrasi sekuler sekarang ini. Dalam demokrasi sekuler, negara akan memangkas atau mengurangi pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat. Sementara dalam sistem Islam, pungutan selalu mengacu kepada tingkat produktivitas.

Dalam Baitul Mal kita kenal ada pungutan atas tanah yang disebut dengan kharaj yaitu pungutan atas tanah kharajiyah (Islam tersebar ke wilayah itu dengan proses penaklukan terlebih dahulu), ada ushr yang juga disebut dengan sistem zakat pertanian, kemudian juga ada sistem pungutan yang dikenakan terhadap pribadi-pribadi manusia yang dia tidak memilih untuk masuk Islam dan dia bertahan pada agamanya disebut dengan jizyah. Kemudian juga ada beberapa pungutan yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan yang disebut dengan sistem zakat perdagangan.

Kalau kita bandingkan sistem pungutan dalam Islam dengan sistem pajak hari ini jelas berbeda sekali. Dalam Islam justru yang menjadi acuan adalah adanya produktivitas pada aset yang dipungut termasuk juga ada kepastian yang disebut dengan haul. Islam mengatur adanya kepastian rentang waktu satu tahun tidak terjadi penurunan aset, ada batas minimal, dan dipastikan pula bahwa harta/aset yang dipungut negara tidak memangkas income (pemasukan) seseorang. Jadi penghasilan itu tidak kena pajak kalau dalam Islam, karena bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Adapun zakat, jelas ada batas nisab dan haulnya.

Sistem keuangan negara dalam sistem bernegara ala demokrasi selalu diselesaikan dengan dua pilihan saja yakni; pertama, mengambil utang yang menggunakan sistem riba, kedua adalah dengan mengenakan tarif pajak yang setinggi-tingginya. Itulah langkah yang sama sekali tidak pernah diambil sebagai pilihan di dalam sistem Islam. Semua diserahkan pada satu mekanisme pemungutan yang telah diatur dalam syariat Islam dan dipraktikkan dalam sejarah peradaban Islam yang agung selama berabad-abad lamanya dan benar-benar dirasakan keadilannya.

Produktivitas pendapatan negara dalam Islam begitu besar, selain karena pengoptimalan pengelolaan kekayaan milik umum dan juga milik negara. Pengelolaannya tidak diserahkan pada swasta (asing), ditambah sistem pungutan yang tidak memangkas income atau kebutuhan masyarakat untuk perolehannya. Inilah sebuah sistem yang sempurna dan tidak bisa ditandingi oleh sistem pungutan fiskal mana pun. Begitu juga dalam hal sistem keuangan negara, maka akan kita lihat keunggulan sistem Baitul Mal ini, yaitu kemampuannya untuk mengelola keuangan negara dengan sangat baik, efektif, dan efisien. Negara bisa dikelola tanpa tingkat pembiayaan yang tinggi. Berbeda sekali dengan sistem demokrasi sekuler hari ini.

Peradaban kapitalisme dalam membiayai keuangan negaranya membutuhkan pembiayaan yang sangat tinggi dan juga boros. Sementara Islam dalam hal pengeluarannya, akan memperhatikan tingkat urgensinya. Kebutuhan pokok masyarakat akan diutamakan. Sementara untuk pembangunan infrastruktur akan dilihat dari sisi skala prioritasnya. Dalam Islam banyak biaya yang bisa dipangkas, semisal tidak ada tunjangan jabatan, biaya untuk kepentingan pribadi, berbagai operasionalnya banyak yang justru nihil biaya. Karena posisi seorang pemimpin dan rakyatnya bukan hubungan tuan dan majikan (ajir dan mustajir), tapi seorang pemimpin dia adalah pelayan sekaligus pengayom umat. Sehingga, seorang pemimpin dia tidak akan mengambil yang bukan haknya selain dipenuhi kebutuhan pokoknya saja. Misal, tidak akan ada istilahnya anggaran untuk gorden rumah dinas senilai miliaran rupiah. Jelas, ini hanya ada di sistem kapitalis tentunya.

Dalam pengelolaan keuangan negara, maka mentalitas para pejabat sistem Islam akan mengedepankan sikap takwanya. Dia senantiasa menyadari bahwa segala sesuatu yang digunakan dalam operasional negara adalah berasal dari harta umat yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Selain sisi aspek ketakwaan, juga ditopang oleh sistem akuntabilitas yang sangat baik, pengawasan yang baik, termasuk juga pengawasan yang berasal dari masyarakat luas. Amar makruf nahi mungkar akan dikedepankan.

Mekanisme seperti ini telah dipraktikkan dalam peradaban Islam, sejak dibawa oleh Rasulullah dan diterapkan di Madinah sebagai sebuah negara, kemudian diteruskan oleh para sahabat setelahnya. Sistem Islam memang tidak pernah tertandingi oleh sistem-sistem lainnya dalam hal pengelolaan sumber pemasukan negara dan juga pengeluarannya. Jadi, jikalau kita benar-benar realistis dan ingin keluar dari permasalahan kebijakan fiskal dewasa ini, jelas bukan dengan utang luar negeri ataupun pajak yang terus memalak rakyat, tapi kembali kepada aturan yang benar yang sudah digariskan Islam dan juga syariatnya. Penerapan syariat Islam secara kaffah di tengah-tengah kehidupan inilah akan hadir memberikan solusi, tidak dengan sistem riba ataupun menguras harta rakyat. Karena sejatinya sinyal ambruknya sistem keuangan kapitalis itu telah nyata adanya. Allah Swt. telah mengingatkan kita: "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya Iarangan dari Tuhannya, laIu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang Iarangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali mengambil riba, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekaI di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 275)

Wallahua’lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ummu Firda Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Harga-Harga Naik di Bulan Ramadan, Inikah Parsel Tahunan?
Next
Said bin Amir Al-Jumahi, Gubernur yang Takut kepada Fitnah Dunia
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram