Tridimensi Aktivasi Hagia Sofia dalam Kontestasi Kaum Nasionalis-Sekuler di Turki

"Meskipun Erdogan berhasil mengembalikan Hagia Sofia menjadi masjid, namun pada hakikatnya baik Erdogan atau Ataturk, keduanya sama-sama pemimpin yang berhaluan nasionalis-sekuler dalam menjalankan pemerintahannya. Keberpihakan Erdogan terhadap umat Islam tidak sedikit dipandang oleh para analis politik sebagai sebuah sikap populis saja."

Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Ramadan adalah bulan yang paling dinantikan oleh kaum muslimin di belahan bumi mana pun. Statusnya yang begitu spesial di antara bulan-bulan lainnya menjadikannya selalu memiliki tempat khusus di hati umat. Salat tarawih yang menjadi satu-satunya ibadah yang hanya dilakukan saat bulan ini pun menambah nilai lebih Ramadan. Sebagaimana sabda baginda Rasulullah saw. yang artinya, “Barang siapa melakukan qiyam Ramadan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni” (HR. Bukhari). Imam Nawawi menjelaskan bahwa makna ' qiyam Ramadan' spesifik ditujukan kepada salat tarawih. Dengan demikian, ganjaran pahala bagi yang total beribadah di dalamnya pun menanti untuk dipanen kelak di yaumil hisab.

Ramadan tahun ini bertambah spesial dengan sampainya kabar menggembirakan dari negeri 'pewaris Khilafah' sana. Turki menyimpan banyak sekali jejak sejarah kemilau peradaban Islam, salah satunya masjid Hagia Sofia. Masjid ikonis di Istambul ini pasalnya mulai aktif kembali digunakan untuk menggelar salat tarawih. Salat tarawihnya sendiri tentu sudah lumrah bagi kaum muslimin, namun beda ceritanya jika salat ini akhirnya digelar lagi di Hagia Sofia setelah 88 tahun lamanya berfungsi sebagai museum (Daily Sabah, 01/04/2022).

Nama Hagia Sofia mungkin sudah tak asing lagi di telinga kaum muslimin. Bahkan, tak sedikit yang ingin mengunjunginya setelah 3 masjid suci di Makkah, Madinah, dan Palestina. Diubahnya status Hagia Sofia menjadi masjid pada tahun 2020 lalu, memberikan angin segar di tengah gempuran pandemi Covid-19 yang sedang mengganas kala itu.

Kilas Balik Perjalanan Hagia Sofia

Hampir 1500 tahun yang lalu, Hagia Sofia dibangun sebagai sebuah basilika bagi umat Kristen. Keberadaannya menjadi simbol kota yang kosmopolitan di masa peradaban saat itu. Nama Konstantinopel pun tak bisa dilepaskan dari keberadaan Hagia Sofia. Imperium Bizantium yang berkuasa dielu-elukan di berbagai penjuru dunia akan kemampuannya menjalankan kekuasaan.

Hagia Sofia dibangun dalam 3 periode yang memiliki dinamika masing-masing. Adapun Hagia Sofia yang berdiri kokoh saat ini, merupakan hasil dari konstruksinya yang ketiga setelah sempat dipugar dan dibakar dalam sebuah pemberontakan. Setelah berabad-abad berstatus sebagai gereja, barulah di masa penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453, Hagia Sofia dikonversikan menjadi sebuah masjid. Beberapa simbol ciri khas kekristenan ditutup dan direnovasi dengan kaligrafi dan arsitektur islami (History, 29/09/2020).

Hagia Sofia pun berganti menjadi salah satu ikon kedigdayaan Islam yang saat itu berada di bawah naungan Khilafah Usmaniyah. Dari menara-menaranya, syiar Islam dan keagungannya menggema luas, setelah berabad lamanya diramaikan dengan seruan-seruan yang menjauhkan manusia dari menauhidkan Allah. Namun Hagia Sofia, harus mengikhlaskan menara dan mimbarnya tak lagi difungsikan untuk dakwah Islam, sebab harus tunduk pada ketetapan rezim nasionalis-sekuler yang memusuhi Khilafah untuk mengubahnya menjadi sebuah museum.

Delapan dekade berlalu sejak Hagia Sofia hanya menjadi destinasi wisata, bukan untuk menyembah Ilahi, pergiliran kekuasaan kepada pemimpin yang disebut dekat dengan kalangan Islam —meskipun sejatinya tetap merupakan golongan nasionalis-sekuler— pun berhasil mengembalikan fungsi Hagia Sofia sebagai masjid. Perjalanan panjang Hagia Sofia dari menjadi gereja, masjid, hingga museum tentu menorehkan pelajaran berharga, khususnya kepada umat Islam. Setidaknya terdapat tiga dimensi yang bisa ditilik dari sekelumit kisah Hagia Sofia ini.

Dimensi Spiritual

Status Hagia Sofia yang dikonversi menjadi masjid tentu mengundang riuh sorak umat. Sampai-sampai ada yang menganalogikan bahwa Presiden Erdogan yang berhasil mengembalikan fungsi Hagia Sofia menjadi masjid itu sebagai ‘titisan kedua' dari Sultan Muhammad al Fatih, sang pembebas Konstantinopel. Meski ini adalah ‘pujian’ yang cukup berlebihan dan tidak sesuai fakta, tapi pandangan tersebut tentu dikarenakan girah beragama umat Islam, baik yang berasal dari Turki maupun mancanegara, sangat bisa terpacu dengan kondisi Hagia Sofia yang dapat dijadikan sebagai tempat menyembah Allah.

Apatah lagi saat bulan Ramadan ini, rasa bangga dan kerinduan akan jejak sejarah yang terpatri di Hagia Sofia seperti menyeruak dan memenuhi hati kaum muslimin yang merindu kebangkitan agamanya. Naluri beragama di bulan Ramadan yang termanifestasi dalam salat tarawih pun semakin terasa ketika melihat banyak di antara umat ini yang berduyun-duyun datang ke Hagia Sofia, demi mencicipi nikmatnya sujud di masjid penuh sejarah ini.

Dimensi Persaudaraan

“We are not brothers by blood, but we are brothers in iman” adalah satu ungkapan yang sering digunakan untuk menunjukkan persaudaraan yang didasarkan pada akidah. Ini jugalah yang tampak dari peristiwa historis tarawih pertama setelah 88 tahun di Hagia Sofia. Kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negara, melepaskan identitas nasional mereka untuk berada di saf yang sama saat melaksanakan salat. Hal ini sangat jelas menggambarkan betapa ikatan nasionalisme tidak relevan lagi jika itu menyangkut urusan akhirat.

Dimensi ini dipertegas oleh kalamullah dalam surat Ali-Imran ayat 103, yang berarti “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara…”

Kala Hagia Sofia difungsikan sebagai museum, dimensi ini tentu tidak terasa, karena yang datang ke sana sekadar bertujuan untuk pelesir dan mengagumi keindahan arsitektur dan nilai sejarah dari Hagia Sofia. Namun, umat Islam, yang secara akidah telah dipersaudarakan oleh Allah terlepas dari latar belakang asalnya, berhasil menjelaskan bahwa Hagia Sofia bukan hanya penting dari aspek arsitektur belaka, namun juga penting karena telah menghimpun saf umat yang terserak dan tersekat batas-batas negara bangsa yang ada hari ini.

Dimensi Politik

Di sinilah poin penting yang mungkin luput dari pandangan umat terkait diaktifkannya kembali Hagia Sofia sebagai masjid. Betapa masalah kepemimpinan sangat bisa memengaruhi dinamika keumatan, termasuk dalam hal tempat ibadah. Kelompok sekuler yang notabene sering menggaungkan bahwa masalah ibadah adalah urusan pribadi, namun jika itu berkaitan dengan rezim, tak segan mereka melanggar apa yang mereka ucapkan sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh rezim Mustafa Kemal Ataturk pasca ia mengabolisi Khilafah Islamiah dan menggantinya menjadi Republik Turki yang hingga kini masih eksis dalam kancah politik dunia. Dan dengan kepemimpinan jugalah, Hagia Sofia yang semula sebatas bangunan yang dikagumi keindahan dan nilainya, bisa diubah menjadi tempat yang digunakan untuk menyembah Allah, seperti yang ditunjukkan oleh Erdogan tahun 2020 lalu.

Hanya saja, yang menarik adalah bahwa meskipun Erdogan berhasil mengembalikan Hagia Sofia menjadi masjid, namun pada hakikatnya baik Erdogan atau Ataturk, keduanya sama-sama pemimpin yang berhaluan nasionalis-sekuler dalam menjalankan pemerintahannya. Keberpihakan Erdogan terhadap umat Islam tidak sedikit dipandang oleh para analis politik sebagai sebuah sikap populis saja, yang tidak lain dan tidak bukan bertujuan untuk mengukuhkan posisi kuasanya di kalangan umat Islam.

Khatimah

Fakta ini yang perlu dipahami oleh kaum muslimin, agar tak membuyarkan arah juang membangkitkan Islam dan umatnya. Kepemimpinan yang bersahabat dengan isu-isu islami, namun sejatinya tetap merupakan bagian dari pelanggeng sekularisme, maka dapat dipastikan bahwa kebangkitan itu masih harus menempuh perjalanan yang sangat panjang. Kekaguman terhadap sosok pemimpin pun nyatanya tetap harus dipandu dengan kerangka berpikir Islam yang jernih, yang tidak terpapar oleh virus-virus sekuler sedikit pun atau bahkan oleh benih ‘cinta buta’ belaka, sehingga membuat lupa akan hakikat perjuangan itu sendiri. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Iranti Mantasari BA.IR M.Si Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Pahala Puasa Raib, Kenali Sebab-sebabnya!
Next
Tirai Emas
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram