"Persoalan kesejahteraan rakyat merupakan tanggungjawab pemerintah, bukan terletak pada permasalahan THR yang keluarnya hanya setahun sekali. Seharusnya yang menjadi perhatian pemerintah adalah bagaimana bisa memberikan kesejahteraan kepada pekerja secara utuh dalam menjalani roda ekonomi kehidupan."
Oleh. Reni Adelina
(Kontributor Narasipost)
NarasiPost.Com-Berkah Ramadan mendatangkan suasana yang menyenangkan bagi seluruh pekerja di tanah air, karena tradisi pembagian THR sudah berada di depan mata. Kebahagiaan ini datang, pasalnya ada tambahan nilai lebih berupa uang yang akan didapat saat menjelang hari raya tiba. THR ini diberikan oleh sebuah perusahaan atau atasan kepada para pekerjanya.
Tahun ini, pemberitaan soal THR pun kembali menjadi perbincangan hangat. Pemerintah dan media mengumumkan akan memberikan peringatan dan sanksi tegas jika ada perusahaan yang tidak memberikan THR atau mencicil uang THR kepada pekerjanya karena alasan pandemi.
Dilansir dari laman tirto.id (3/4/21), Kementerian Ketenagakerjaan RI mewajibkan perusahaan membayar Tunjangan Hari Raya (THR) Idulfitri 2022 secara penuh kepada pekerja. Pemerintah tidak memberikan relaksasi kepada perusahaan dalam pembayaran THR karena alasan pandemi Covid-19. Tentunya kebijakan ini didasari pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja atau buruh di perusahaan.
THR, Solusi Sejahtera?
Menyoal kebijakan pemerintah tentang pembahasan THR tahun ini, sebenarnya bisa diapresiasi. Kita bisa melihat dari sisi positifnya, di mana pemerintah mengingatkan dengan tegas kepada para pengusaha agar memberikan hak-hak pekerja berupa THR Keagamaan, atau tidak boleh dicicil karena alasan pandemi. Namun di sisi lain, sebaiknya pemerintah wajib memandang secara luas bahwa THR bukanlah jaminan kesejahteraan bagi para pekerja, melainkan itu merupakan hak pekerja yang telah diatur dalam perundang-undangan.
Persoalan kesejahteraan rakyat merupakan tanggungjawab pemerintah, bukan terletak pada permasalahan THR yang keluarnya hanya setahun sekali. Seharusnya yang menjadi perhatian pemerintah adalah bagaimana bisa memberikan kesejahteraan kepada pekerja secara utuh dalam menjalani roda ekonomi kehidupan.
Berbicara kesejahteraan pekerja, tentu tidak bisa mengandalkan THR semata. Fakta di lapangan menunjukkan kesejahteraan para pekerja belum terjamin karena upah atau gaji yang diterima masih sangat minim, mengingat kebutuhan bahan pokok semakin meroket. Fenomena harga barang serba naik semakin menggelinding. Hal ini terbukti dari penjelasan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang mengatakan bahwa dunia saat ini sedang mengalami inflasi global, terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang mengalami 7,5 persen inflasi dan tentunya hal ini akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. (Bisnis.com, 16/2/22)
Islam dengan Sistem Ekonomi yang Solutif
Jika melihat sejarah peradaban Islam di masa kegemilangannya, para Khalifah atau pemimpin negara mengambil sebuah kebijakan, yakni menjadikan mata uang negara Islam pada saat itu adalah dinar dan dirham. Di mana kedua mata uang tersebut berbahan emas dan perak. Keunggulan dari emas dan perak inilah yang mengantarkan negeri-negeri Islam terhindar dari inflasi. Sehingga sistem roda perekonomian dapat terkendali.
Di sisi lain roda perekonomian dalam sistem Islam sangat menghindari riba yang haram hukumnya. Pemasukan negara pun tidak berdasarkan investasi, utang luar negeri maupun pungutan pajak. Pemasukan negara diambil dari pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam yang tepat. Semua tertata rapi, karena asas kepemilikan negara, umum dan individu di atur dengan sebaik-baiknya.
Akad ijarah antara pekerja dan atasan juga sangat diperhatikan. Tidak saling menzalimi satu dengan yang lain. Sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Majah, "Berikan upah pekerja sebelum keringatnya kering." Peraturan-peraturan yang diambil para Khalifah pada saat itu bukan berdasarkan pemikiran manusia. Hal ini bersandar pada syariat Islam yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka menjadikan aturan Allah sebagai pedoman dan petunjuk hidup agar kehidupan sejahtera.
Ketika melihat deretan problematika umat semakin menumpuk, termasuk persoalan kesejahteraan, maka ini membuktikan bahwa umat Islam mengalami sebuah kemunduran. Terlihat dari sisi mata uang yang berawal dinar dan dirham kemudian diubah menjadi mata uang dalam bentuk logam dan kertas pada umumnya. Kemunduran berpikir dan bersikap pun semakin menjadi-jadi. Kemunduran ini tentu ada penyebabnya. Saat manusia meninggalkan aturan dari Sang Pencipta, maka karut-marut persoalan hidup semakin mendera. Termasuk dalam hal kesejahteraan.
Sistem kehidupan hari ini bernama kapitalisme. Kapitalisme dengan asas liberal demokrasi adalah sistem kehidupan yang tidak bersandar pada aturan Sang Pencipta. Memisahkan agama dari kehidupan. Sistem Kapitalisme gagal total dalam menjamin kesejahteraan. Tentunya sangat berbeda dengan sistem Islam yang menggunakan aturan agama dalam kehidupan, baik bersifat individu hingga negara.
Setelah melihat fakta-fakta sejarah Islam dari para Khalifah pada masa lalu, sudah selayaknya dijadikan pelajaran dan diperjuangkan demi kesejahteraan kehidupan, baik di dunia maupun akhirat kelak. Tidakkah kita ingin berjuang mengembalikan kejayaan Islam?
Wallahua'lam[]