"Semata karena kerinduan yang begitu besar, akan tegaknya dinul Islam yang mampu mengakhiri segala problem pelik yang dihadapi umat, akibat berhukum menuruti paham ala kapitalis-liberal."
Oleh. Ana Nazahah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ramadan kali ini, umat masih diselimuti duka. Berbagai bencana masih saja menimpa negeri kita tercinta. Polemik pembangunan IKN, kisruh BPJS, mafia cukai, pun harga pangan yang kian menukik tinggi saat memasuki bulan Ramadan. Duka ini, tentunya menyesakkan hati. Namun, tak boleh menghalangi umat untuk bersuka cita menyambut bulan suci. Terlebih bagi mereka yang merindukan Islam kaffah tegak di bumi pertiwi.
Seruan Islam Kaffah
Sebagaimana dilansir Republika.co.id, Ahad (27/3/2022). Di mana pada hari yang sama ribuan umat Islam mengadakan agenda tarhib Ramadan. Agenda tersebut diadakan secara luring maupun daring. Tersebar di seluruh kota-kota besar di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan harapan Ramadan kali ini menjadi momen bagi umat untuk dekat dengan Rabbnya, mendorong umat menaikkan level ketaatan, sehingga terwujud jemaah yang bertakwa, hidup mulia dengan menerapkan Islam secara kaffah.
Tarhib Ramadan kali ini memang mengusung tema tersebut. Di mana ribuan umat turun ke jalan, bergerak rapi dan tertib sambil membawa pamflet yang bertuliskan “Back to syariat kaffah.” Semata karena kerinduan yang begitu besar, akan tegaknya dinul Islam yang mampu mengakhiri segala problem pelik yang dihadapi umat, akibat berhukum menuruti paham ala kapitalis-liberal.
Sebenarnya umat sudah sangat lelah dengan berbagai kebijakan yang nihil solusi. Berada dalam sistem kapitalisme hanya menambah penderitaan umat semakin menjadi-jadi. Sistem ini hanya mampu memberi akses orang-orang berduit untuk semakin eksis. Sementara rakyat dibiarkan menjerit terimpit masalah yang melilit. Karena itu, wajar saja jika umat merindukan sistem kehidupan yang berdasarkan syariat Allah. Hukum yang sejalan dengan fitrah manusia, tak akan menghasilkan kebijakan yang menganiaya.
Cita-cita umat sejalan dengan makna kata tarhib itu sendiri. Tarhib adalah masdar (kata benda) dari tasrif fi’il bab 1 wazan tashrif tsulatsy mazid yakni “Rahhaba-yurahhibu-tarhiban” yang bermakna luas, lapang dan terbuka. Jika diartikan secara istilah yakni keadaan di mana kaum muslim telah membuka segala peluang, kesempatan dan kelapangan diri menyambut bulan suci Ramadan dengan penuh persiapan, baik pemikiran atau fisik. Segala hal yang bisa menyukseskan ibadah Ramadan itu sendiri, yang telah ia rancang dengan baik.
Konsekuensi Iman
Jika kita mampu menyambut bulan suci nan berkah ini dengan sikap penuh keterbukaan, lapang dada, dan penuh perencanaan. Maka, bukankah sudah sewajarnya kita pun mampu menerima Islam dan masuk ke dalam Islam secara kaffah? Tidak tebang pilih dengan syariat-syariat Allah. Menerima segala hukum yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan, tanpa ada perasaan berat dan enggan. Itulah konsekuensi iman. Hal ini sejalan dengan perintah Allah, yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat ke 208, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah …”
Dari ayat di atas kita memahami, bahwasanya, hakikat berislam kaffah tersebut bukanlah sekadar keinginan. Bukan semata cita-cita atau sekadar keegoisan dari sekelompok jemaah. Sekali lagi bukan! Telah jelas penerapan Islam kaffah itu adalah perintah Rabb kita, takkan menjadi sunah, mubah, apalagi makruh perintah tersebut sekalipun rezim tidak senang dan melarang.
Hal itu karena Allah telah menyampaikan, melalui firman-Nya di surat Al-Ahzab ayat 36 yang artinya, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (lain) bagi mereka tentang urusan mereka ….”
Ya, begitulah! Sungguh tidak pantas bagi kita menolak ketetapan Allah yakni syariat-Nya secara kaffah, hanya karena segelintir orang tidak suka. Di mana letak ikrar iman jika kita berani menggadaikan syariat Allah hanya karena takut dipandang aneh dan dianggap manusia kadrun yang memperjuangkan hal-hal yang utopia?
Justru, mereka yang menentang syariat kaffahlah yang keliru. Mereka lebih meyakini ide kapitalistik ketimbang syariat Allah untuk menyolusi segenap masalah yang ada. Di saat sudah jelas di depan mata, ide ini tidak memberikan apa-apa selain memperpanjang duka dan kesengsaraan umat manusia. Sungguh inilah perjuangan utopia yang sesungguhnya.
Bagi orang-orang yang tetap mempertahankan ide-ide kufur ini, dengan cara meninggalkan syariat yang telah Allah tetapkan, maka Allah menggelari mereka sebagai kaum yang durhaka, sebagaimana Allah melanjutkan ayat di atas (QS. Al-Ahzab:36) sebagai ancaman bagi yang meninggalkan ketentuan-Nya yang artinya, “… Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.”
Khatimah
Bulan Ramadan adalah bulan puasa, menahan lapar, dan dahaga. Namun kehadirannya seperti oase bagi rakyat Indonesia, di tengah kering kerontang iman umat berbangsa yang semakin hari semakin jauh dari sikap iman dan takwa. Umat berharap, rasa dahaga akan iman itu bisa terobati dengan kehadiran bulan suci, momen untuk bermuhasabah atas kesalahan dan dosa. Semoga, muhasabah kali ini menjadi kontemplasi yang berbuah keimanan berjemaah. Membuka cakrawala berpikir umat, sekaligus mendobrak kejumudan berpikirnya, sehingga mau menerima dengan lapang dada perintah untuk berislam kaffah. Semoga![]