Saat Pernikahan Tidak Berlandaskan Keimanan

"Pernikahan adalah ibadah terlama, bukan hanya perjalanan romansa. Tujuan utama pernikahan itu untuk beribadah, bukan hanya menuruti nafsu belaka. Menikah memang mudah, namun tanggung jawab setelahnya jangan diremehkan."

Oleh. Dila Retta

NarasiPost.Com-وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Pernikahan. Bagi kebanyakan orang, menikah adalah langkah awal menuju bahagia. Beberapa diantara mereka beranggapan jika dengan menikah, maka akan mendapat limpahan kasih sayang dari pasangan, kehidupan mereka akan senantiasa merasakan kebahagiaan karena dibersamai orang terkasih sehidup semati. Begitulah kiranya.

Padahal jika sudah menjalaninya, kehidupan rumah tangga tidaklah mudah. Masalah akan tetap ada. Seperti halnya yang akhir-akhir ini terjadi. Banyak sekali berita mengenai ibu muda yang nekat bunuh diri dengan mengajak anak-anaknya karena merasa depresi. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya saat hal itu terjadi. Mungkin dengan dalih tidak tega membiarkan anak-anaknya hidup susah atau mungkin tidak tega melihat anak-anaknya hidup tanpa seorang ibu (jika ia ingin mengakhiri hidupnya seorang diri). Memang, kasih sayang seorang ibu terhadap anak-anaknya sudah tidak perlu diragukan lagi. Seorang ibu pasti rela mengorbankan nyawa sekalipun demi buah hati yang telah dikandung dan dilahirkannya.

Namun berbeda dengan kasus seperti ini. Nekat mengakhiri diri bersama sang Buah Hati bukanlah perwujudan kasih sayang, melainkan hasutan setan. Jika kita mau berpikir kritis mengenai penyebab mengapa hal-hal seperti ini bisa terjadi, maka akan kita dapatkan satu jawaban yang sama, yakni karena tidak adanya kesiapan sebelum memulai pernikahan.

Telah disebutkan dalam sebuah riwayat hadis, bahwasanya Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia saum (puasa), karena saum itu dapat membentengi dirinya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya)

Islam dengan sangat tegas menjelaskan bahwa menikah itu butuh kesiapan. Bukan hanya siap secara fisik, namun juga mental dan finansial. Karena bagaimanapun juga, saat sudah menjalani kehidupan rumah tangga, suami dan istri harus bisa memenuhi setiap hak dan kewajibannya. Berusaha menjalankan tugas masing-masing dengan landasan ketakwaan untuk meraih rida Allah Swt.

Sejauh pengamatan dalam lingkungan sekitar, saya merasa cukup prihatin dengan pemikiran kebanyakan pemuda saat ini. Hasrat mereka untuk menikah sangat tinggi, namun saat sebuah pertanyaan dilontarkan mengenai pandangannya tentang sebuah pernikahan dan kesiapan yang dibutuhkan, jawabannya sungguh mengecewakan.

Bagi mereka, pernikahan hanya sebatas menghalalkan orang yang dicintai. Baginya, segala hal akan menjadi indah jika senantiasa bersama orang yang dicintai. Katanya, tak masalah jika harus hidup susah, sama-sama berjuang mulai dari nol, asal bersama kekasih tercinta.

Saya teringat sebuah pitaruah minang yang menyebutkan, “Katonyo, resep mujarab perkawinan indak lain adalah cinto, padahal indak. Sebab hakikat cinto hanyolah khayal. Dia indah buat dikenang, tapi bukan untuk dipakai. Sebuah bandiang jo bantahan, tabuhua dirangkai kato ‘kalau anda ingin mengabadikan suatu cinta, jangan akhiri dia dengan perkawinan’.”

Jika diartikan, maknanya kurang lebih dapat disimpulkan, bahwasanya hakikat sebuah cinta hanyalah khayal. Pasti indah sebelum dimiliki, dan akan berubah jika sudah dihadapkan dalam pernikahan karena telah terikat dengan tanggung jawab.

Mungkin akan sedikit ‘gila’ juga, jika dalam tulisan ini saya mengutip kalimat dalam sebuah buku yang berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Dalam buku ini, terdapat kutipan yang menyebutkan, "Seks, gairah, dan keterpesonaan itu lama-lama akan menjadi suatu fenomena dan seperti sebuah grafik yang mendatar lalu memuncak dan kembali mendatar. Itulah cinta. Seks itu puncak cinta."

Tanpa buru-buru menjustifikasi kutipan tersebut, mari kita renungkan terlebih dahulu maknanya. Bukankah benar adanya jika fase jatuh cinta pada sosok yang belum halal untuk kita, hanya didasarkan pada gairah semata? Kemudian, jika dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini, maka fenomena ‘grafik gairah’ seperti yang disebutkan dalam buku tersebut pun dapat dibenarkan.

Saya tidak berusaha membawa arah tulisan ini kepada hal-hal yang melanggar syariat. Justru melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca berpikir dari banyak perspektif tentang pemikiran kebanyakan orang saat ini, fakta-fakta yang ada, dan ajaran agama yang semakin lama semakin diacuhkan karena pengaruh paham liberal.

Adalah sebuah fakta yang tidak bisa ditolak, bahwa kebanyakan dari generasi muda saat ini menganggap cinta sebagai landasan utama yang dibutuhkan agar dapat menjalani kehidupan rumah tangga bahagia. Baik, katakanlah saat ini kita menyepakati sudut pandang mereka, dengan meletakkan cinta sebagai fondasi utamanya. Sekarang, mari kita uji apa yang mereka pikirkan dengan pertanyaan. Apa jadinya cinta tanpa dibekali keimanan? Apa jadinya cinta tanpa usaha dalam pertanggungjawaban? Padahal kita sama-sama tahu, jika hidup adalah perihal tanggung jawab.

Memang benar, tanpa cinta kita tidak mungkin ‘betah’ beribadah kepada-Nya. Namun, bukankah cinta itu wujud dari manisnya iman? Dan mengenai kehidupan berumah tangga, bukankah Islam telah menjelaskan konsep segitiga cinta? Di mana puncak tertingginya haruslah tertuju kepada Allah Swt.

Jika memang cinta adalah landasan utama sebuah pernikahan, mengapa masih banyak kasus perceraian terjadi meski telah menikah dengan orang yang dicintai? Jika memang cinta adalah hal yang paling utama, mengapa dalam tafsir Imam Ibn Katsir mengatakan, “Siapa pun yang mencintai sesuatu dan lebih dia dahulukan dibandingkan ketaatan kepada Allah Ta’ala, maka niscaya dia akan disiksa dengan sebab cintanya kepada sesuatu tersebut"?

Sebenarnya, wajar saja mengapa pemikiran kebanyakan pemuda saat ini seperti itu. Budaya Barat dan paham-paham liberal yang semakin merajalela telah menjarah pemikiran mereka. Maka, sudah menjadi tugas kita semua untuk bergerak mengatasinya. Dengan memberikan pemahaman-pemahaman yang benar mengenai ajaran Islam, yang sebenarnya mengatur segala urusan termasuk pula kehidupan pernikahan. Dengan senantiasa membantu mereka untuk memperkuat fondasi keimanan, agar tidak mudah terombang-ambing dalam pengaruh paham-paham liberal.

Untuk meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam sebuah pernikahan terjadi, berikan penjelasan kepada mereka tentang bagaimana Islam mengaturnya. Bagi siapa saja yang memang sudah memiliki kesiapan untuk menikah, maka menikahlah. Namun, bagi siapa saja yang masih belum siap, maka hendaklah mereka berpuasa agar kesuciannya tetap terjaga. Karena pernikahan adalah ibadah terlama, bukan hanya perjalanan romansa. Tujuan utama pernikahan itu untuk beribadah, bukan hanya menuruti nafsu belaka. Menikah memang mudah, namun tanggung jawab setelahnya jangan diremehkan.

Islam memandang pernikahan sebagai kemuliaan yang sangat tinggi derajatnya. Allah menyebut ikatan pernikahan sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang sangat berat) dengan disaksikan oleh para malaikat. Dalam Islam, pernikahan adalah jalan penyempurnaan separuh agama. Sebagaimana yang pernah disebutkan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dalam sabdanya, "Apabila seorang hamba telah berkeluarga, berarti dia telah menyempurnakan separuh dari agamanya. Maka takutlah kepada Allah terhadap separuh yang lainnya.” (HR. At-Thabrani)

Mengenai tujuan pernikahan sendiri, melalui firman-Nya dalam QS. Ar-Rum ayat 21, kita dapat memahami jika tujuan dari sebuah pernikahan adalah agar kita merasakan ketenteraman (sakinah), limpahan perasaan cinta (mawadah), dan rasa kasih sayang (rahmah) untuk mendapatkan rida Allah Swt. Dan hal seperti ini tidak mungkin bisa kita dapatkan dengan begitu saja tanpa keilmuan di dalamnya. Keilmuan mengenai pemahaman konsep kesalingan dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Keilmuan mengenai pemahaman hak dan kewajiban masing-masing pasangan yang harus dilakukan, untuk mewujudkan visi dan misi awal yang telah ditetapkan.

Wallahu’alam bishawab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Dila Retta Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Bedah Naskah (Rubrik Family Part 2)
Next
Jembatan Sosrodilogo dan Kisah Heroik dalam Namanya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram