Rakyat Bukan Sekadar Butuh THR, tetapi Butuh Sejahtera

"Tugas pemerintah itu jauh lebih luas dari sekadar pemberi ketegasan agar THR sebagai hak buruh dan kewajiban pengusaha bisa terlaksana dengan lancar. Tugas pemerintah adalah mengurusi urusan rakyat, salah satunya menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan. Perlu diingat juga bahwa rakyat itu bukan para buruh saja, namun semua warga negara. Bagaimana bisa dikatakan sejahtera jika banyak di antara warga khususnya para laki-laki dewasa yang kesulitan bahkan tak memiliki pekerjaan."

Oleh Yuliyati Sambas
(Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)

NarasiPost.Com-"THR, polemik di masa pandemi virus Corona: 'hilangnya makna lebaran' bagi pekerja dan 'sulitnya bertahan hidup' bagi pengusaha. (bbc.com, 12/4/2021)

Tagline tersebut memang benar adanya, THR di masa pandemi itu ibarat polemik bagi kedua pihak, buruh maupun pengusaha. Adapun pemerintah menyolusikannya selama dua tahun ke belakang adalah dengan apa yang mereka pandang sebagai win-win solution, yakni berupa pencairan oleh perusahaan dengan jalan diturunkan besarannya, dicicil, ditunda, hingga ditiadakan. Maka, ketika masuk tahun ketiga pandemi, pemerintah mengeluarkan surat edaran yang membuat dada para buruh lebih mengembang di tengah terimpitnya kehidupan akhir-akhir ini. Dimana kebijakan itu diambil setelah geliat kehidupan, termasuk ekonomi, mulai tampak dikarenakan laporan kasus terpaparnya virus sudah berkurang.

Negara Tegas pada Pengusaha Nakal

Dilansir oleh tirto.id (3/4/2022) bahwa pemerintah resmi mengumumkan surat edaran yang mewajibkan semua perusahaan membayarkan THR keagamaan karyawannya tanpa adanya relaksasi, pemotongan atau penyicilan. Pembayaran harus diselesaikan maksimal H minus 7 sebelum lebaran Idulfitri tahun 1443 H. Kemenaker pun menekankan jika terdapat pengusaha yang nakal tidak mengikuti arahan tersebut, bersiaplah dengan sanksi administratif, mulai dari peneguran, pembatasan, penghentian hingga pembekuan aktivitas perusahaan. Sudah Cukupkah?

Apa yang dilakukan pemerintah memang sudah semestinya. Itu dikarenakan THR adalah bagian dari akad perusahaan dengan para buruhnya. Pemerintah sebagai pihak pembuat regulasi tentu sudah sepatutnya menertibkan dan memberi tindakan tegas bagi pihak mana pun yang melenceng dari akad, baik pekerja maupun pemberi kerja. Dalam hal ini persoalan THR telah termuat pada PP No. 36/2021 terkait Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Namun, tugas pemerintah itu jauh lebih luas dari sekadar pemberi ketegasan agar THR sebagai hak buruh dan kewajiban pengusaha bisa terlaksana dengan lancar. Tugas pemerintah adalah mengurusi urusan rakyat, salah satunya menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan. Perlu diingat juga bahwa rakyat itu bukan para buruh saja, namun semua warga negara. Bagaimana bisa dikatakan sejahtera jika banyak di antara warga khususnya para laki-laki dewasa yang kesulitan bahkan tak memiliki pekerjaan. Padahal itu adalah prasyarat tercukupinya nafkah atas kebutuhan anak, istri dan anggota keluarganya sebagai komunitas masyarakat terkecil dalam sebuah institusi negara. Bagaimana bisa disebut sejahtera jika banyak dari para ibu justru terpaksa menerjunkan diri ke dunia kerja dan kehilangan demikian banyak momen untuk mengasuh dan mendidik putra-putrinya di rumah. Semua dilakukan demi ngebul nya dapur dan membantu ekonomi keluarga yang kini makin morat-marit.
Terlebih dalam tataran fakta bahwa kehidupan saat ini semakin berat. Harga-harga kebutuhan pokok kian merangkak naik tak terbeli, kisruh minyak goreng sebagai bukti betapa negeri penghasil minyak mentah terbesar sedunia tak mampu mengendalikan ketersediaan dan harga yang terjangkau bagi rakyatnya. Demikian pula dengan BBM yang dewasa ini sudah menjadi hajat vital, dipermainkan dari sisi pengadaan dan harganya. Ditambah solusi andalan pemerintah ketika didapati dana negara cekak adalah menaikkan pajak atau memperluas cakupan sasaran pajaknya, semakin mengimpit kehidupan rakyat yang sebelumnya memang sudah sempit.

Di tengah kondisi sulit tersebut tanpa malu penguasa justru banyak mengeluarkan kebijakan yang tidak prorakyat atau sekadar demi menaikkan prestise semu. Semisal menggelontorkan dana negara miliaran rupiah untuk perhelatan balap motor internasional, juga meneruskan pembangunan IKN yang tentu menyedot biaya fantastis hingga banyak mendapat penentangan dari beragam kalangan.

Jika demikian, maka tentu sesuatu yang berlebihan ketika pemerintah merasa jumawa karena sudah menerbitkan surat edaran terkait aturan pemberian THR. Rakyat dalam hal ini bukan hanya butuh THR, tapi memerlukan pemberian dukungan kesejahteraan juga.

Buah Paragdigma Kapitalisme

Paradigma kapitalisme memang demikian adanya. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan turunan kaptalisme mengamanatkan bahwa negara itu posisinya sekadar membuat regulasi dan mengawasi agar regulasi yang dikeluarkan bisa terselenggara. Adapun pengurusan terkait kebutuhan vital rakyat diserahkan pada swasta dalam pengadaannya. Rakyat dipersilakan untuk membelinya jika hendak mendapatkannya. Tak heran permainan kotor kartel dari pengusaha-pengusaha kelas kakap mampu menyetir keberadaan dan harga dari suatu komoditas. Polemik minyak goreng, contohnya.
Sifat lainnya dari sistem ini adalah mengedepankan prinsip kebebasan berekonomi, termasuk dalam perkara mengalirnya arus barang, jasa hingga tenaga kerja.

Kapitalisme dalam hal ini menjadikan konsep pasar bebas sebagai metodenya. Maka, Indonesia sebagai bagian dari negara penganut ideologi kapitalisme terikat dengan akad dan prinsip pasar bebas, dimana jual beli barang, jasa hingga tenaga kerja wajib berjalan secara fair dan bebas. Tak boleh ada intervensi negara untuk melindungi setiap komoditas vital sekalipun. Kapitalisme pula yang menjadikan negara manut pada pemikiran sesat Barat berupa liberalisasi kepemilikan harta. Hingga kekayaan alam yang semestinya dikelola oleh negara karena merupakan milik sah rakyat dengan suka rela dibagi-bagikan pada tangan-tangan swasta pemilik kapital raksasa.

Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa ketika kapitalisme dipeluk, jangan harap kesejahteraan bisa diraih oleh semua rakyat secara adil. Alih-alih demikian, pada kenyataannya sejahtera hanya milik mereka para pemilik korporat, baik lokal, asing maupun aseng. Merekalah the real crazy rich yang di genggamannya terdekap semua hajat hidup masyarakat. Lantas bagaimana nasib rakyat? Mereka hanya dipersilakan berjuang memperebutkan remah-remah harta yang jauh dari kata cukup untuk menutupi kebutuhan mereka.

Pandangan Syariat terkait THR dan Kesejahteraan Rakyat

Sebagai agama yang paripurna Islam memiliki akidah dan tata aturan kehidupan yang khas. Keparipurnaan Islam menjadikannya layak disebut sebagai ideologi, sebagaimana kapitalisme dan sosialisme komunis. Namun, terdapat perbedaan diametral antara ketiga ideologi tersebut.

Kapitalisme dan sosialisme komunis adalah dua ideologi buah pikir akal manusia yang terbatas. Sementara ideologi Islam berasal dari Al-Khaliq Al-Mudabbir, Zat yang Maha Mengetahui hakikat kebaikan dan keburukan bagi semua makhluk-Nya. Sistem sosialisme komunis, dengan banyaknya aturan-aturan dan pandangan-pandangan hidup yang jauh dari fitrah manusia, maka kini tak banyak dari negara-negara yang mengadopsinya. Tersisa beberapa negara saja yang masih menganutnya, seperti RRT (Cina), Laos, Vietnam, Korea Utara, Kuba dan Transnitria. Itu pun dalam pelaksanannya sudah tampak mengalami modifikasi dengan Kapitalisme. Sementara kapitalisme yang masih eksis hingga kini semakin tampak rapuh dan penuh borok. Ia gagal mempersembahkan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Maka, harapan tertumpu pada Islam, untuk wujudkan kesejahteraan hakiki yang berkeadilan. Islam memandang bahwa urusan antara pengusaha dan karyawan wajib diawali dengan adanya akad ijarah (perjanjian kerja/upah-mengupah). THR sendiri adalah satu akad yang diperkenankan dalam Islam, dimana include ke dalam akad, bisa secara lisan atau tulisan. Terkait besarannya maka dikembalikan pada kesepakatan dan keridaan dari kedua belah pihak. THR bahkan upah kerja tidak ditujukan untuk memberi kesejahteraan buruh, melainkan dihitung sebagai bentuk kompensasi dari jasa tenaga/pikiran/ide/keterampilan pekerja yang didapat perusahaan. Dengan ini, maka polemik THR di masa pandemi dalam sistem kapitalisme berupa 'hilangnya makna lebaran' bagi pekerja dan 'sulitnya bertahan hidup' bagi perusahaan tentu tak akan didapati dalam sistem Islam. Semua bisa disolusikan dengan jalan memperbaharui akad sesuai kesepakatan pihak pengusaha dan pekerja. Jika terjadi persengketaan antara pekerja dengan pengusaha maka negara dalam hal ini akan menjadi pihak yang menyelesaikannya dengan bersandar pada hukum syariat. Dimana negara dengan perangkat sistem sanksi yang dimiliki akan memaksa pihak manapun agar kembali terikat pada akad dan memberlakukan sanksi atasnya. Tentu menggunakan sistem sanksi berdasarkan syariat semata.

Adapun terkait kesejahteraan rakyat adalah tugas negara. Penguasa dalam hal ini bertindak sebagai pengurus/raain setiap urusan rakyat (HR Bukhari Muslim), termasuk di antaranya menjadikan semua rakyat mendapat haknya dari sisi kebutuhan individu seperti pangan, sandang, tempat tinggal. Juga kemampuan untuk meraih kebutuhan komunal semisal pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Dari sisi pemenuhan kebutuhan individu, negara akan menerapkan setiap kebijakan yang akan memberi kemudahan bagi semua penduduk laki-laki dewasa untuk bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Pemerintah akan membuka lebar lahan-lahan pekerjaan sekaligus memastikan iklim usaha di dalam negeri berjalan kondusif. Semua diberlakukan sesuai dengan hukum syariat demi kemaslahatan semua warga negara. Negara pun akan memberlakukan politik luar negeri yang khas, yakni dengan menutup semua celah aktivitas polugri yang akan menjerumuskan pada terkangkanginya negara oleh pihak asing.

Sistem kepemilikan berdasarkan syariat diberlakukan agar kekayaan diposisikan sebagaimana seharusnya. Ada harta individu/ al-milkiyah fardhiyah (rumah, kendaraan, perusahaan, dan lainnya); harta negara/ al-milkiyah daulah (aset-aset negara seperti fai, ghanimah, kharaj, harta individu yang tidak memiliki ahli waris, harta orang murtad dan lainnya); dan harta milik umum/almilkiyah amah (jalan, sungai, laut, hutan, gunung, kekayaan alam, dan lainnya). Dengan pengaturan ini tak akan terjadi tumpang tindih kepemilikan layaknya di sistem kapitalisme. Dimana harta kekayaan alam yang semestinya menjadi hak rakyat banyak justru diserahkan pada swasta. Dengannya pula maka negara akan memiliki stok harta melimpah untuk memberi pengurusan terbaik dalam menyejahterakan rakyat.

Maka, dalam bentang sejarah yang sangat panjang, belasan abad lamanya, didapati sistem pemerintahan Islam yang bernama Daulah Khilafah Islam mampu memberi kesejahteraan hakiki bagi semua individu rakyatnya. Sistem pemerintahan sebagai penerus dari apa yang cikal bakalnya dirintis oleh Rasulullah Muhammad saw. di Madinah untuk menjawab arahan wahyu dari langit dalam menjadikan aturan Allah Swt. merahmati semesta.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Yuliyati Sambas Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Bedah Naskah Opini Part 4
Next
UU TPKS Disahkan, Waspadai Regenerasi Feminisme!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram